Wednesday, July 30, 2014

Travelling Menambah Teman Baru

Sering travelling, otomatis akan menambah teman juga. Karena tidak mungkin teman yang sama akan selalu menemani destinasi kita berikutnya. Bisa jadi mereka sudah pernah bepergian kesitu atau bisa juga mereka sedang tidak ingin bepergian ke tujuan yang kita kehendaki. Bertemu orang baru janganlah dijadikan keengganan, sedapat mungkin justru dijadikan kegembiraan. Menambah teman otomatis akan menambah wawasan dan dunia baru. Sikap, sifat, profesi, latar-belakang, usia dan seterusnya akan membuat mereka memiliki hal-hal menarik yang pastinya akan memperkaya pengalaman kita dalam berinteraksi.

Teman-teman pergaulan saya berjalan maju-mundur sejak masa lulus sekolah. Maju artinya saya kadang berteman dengan orang-orang yang jarak usianya jauh diatas saya. Demikian pun mundur saya juga berteman dengan orang-orang yang jarak usianya jauh dibawah usia saya. Keduanya membawa hasrat kegembiraan yang sama. Yang lebih tua mencontohkan kira-kira akan seperti apa di masa depan dan yang lebih muda menunjukkan seperti apa kiranya gelora semangat yang seolah waktu takkan habis tersita usia.

Minggu pertama bulan Agustus, saya pergi dengan sebuah kelompok perjalanan. Tujuan Bandung. Sebenarnya sudah agak bosan travelling ke Bandung. Tetapi ada beberapa obyek yang menarik minat yaitu floating market atau pasar apung yang merupakan obyek wisata baru di wilayah Lembang. Lalu pergi berendam ke Sari Ater Hot Water Spring. Yang pertama merasa bersemangat dengan obyek wisatanya dan yang kedua senang akan punya teman-teman baru.

Datang pagi-pagi, pukul lima liwat saya sudah tiba ditempat, karena menurut pengumuman jam enam akan segera berangkat. Dengan proses tunggu-menunggu hingga semua orang lengkap, ternyata keberangkatan baru dimulai pada pukul tujuh pagi. Tak apa, yang penting kami segera berangkat. Ketika pintu ditutup, ternyata mobil terasa sangat pengap. Rupanya AC pendingin tidak berjalan dengan baik. Problem kedua? Tapi kami bawa dalam suasana hepi saja, niatnya hepi kenapa menjadi tidak hepi jika hanya ada sekedar kerikil kecil di perjalanan?

Dalam proses tunggu-menunggu kedua, terkait masalah tehnisi AC dan mendatangkan kompressor. Menunggu tidak sejam dua jam, tetapi kira-kira tiga-empat jam! Jadi keberangkatan yang dipatok pada pukul enam pagi mundur hingga kira-kira pukul 10.30, kendaraan baru dapat melaju ke arah Bandung. 

Sembari menunggu, kami semua saling mengakrabkan diri. Bahkan waktu diisi dengan acara makan kuliner disekitar markas/pool mobil sewaan. Ada bakso atom raksasa yang enak 'maknyus' banget. Sayang lokasinya nggak kira-kira jauhnya, di dekat Taman Mini, jalan menuju Lubang Buaya. Peserta cowok hanya ada dua orang. Yusuf-Ucup (salah satu pengurus kelompok trip) dan kekasih Nay (namanya lupa?). Sisanya peserta wanita. Kami membuat foto lucu, seolah kami adalah TKW yang sedang terdampar kena razia. Tak henti-hentinya kami tertawa ketika membuat foto tersebut. Kemalangan dapat menjadi kegembiraan, jika kita memilih untuk gembira!

Setelah AC mobil berfungsi dengan baik, sisa hari itu berjalan lebih sempurna. Kami memulai petualangan kami. Pertama menuju ke Gedung Sate untuk sekedar berpose narsis. Berikutnya makan di Sego Bantjakan yang terletak di dekat gedung sate tersebut. Acara shopping ke FO terpaksa ditiadakan karena waktunya terpotong habis dengan kemunduran jam keberangkatan. Setelah makan siang kami langsung menuju ke floating market Lembang.

Tiba di floating market memang sungguh menggugah sensasi! Suasana sejuk, pemandangan indah, aneka wisata air, pertokoan dan penjaja makanan bertebaran diseluruh area. Belum lagi hasrat untuk narsis yang rasanya sulit terpuaskan disudut manapun juga, karena semua tempat sangat indah dan layak untuk ajang berfoto! Semua gangguan dan sedikit rasa kesal karena keberangkatan trip yang mundur hingga empat jam dari perjanjian semuala, terhapus hilang oleh rasa gembira melihat obyek wisata yang satu ini. Must see, people!

Ketika malam kian larut, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Sari Ater Hot Spring. Setibanya disana cukup kaget karena
pengunjungnya ternyata sangat banyak, membludaks bagaikan cendol. Ada kolam renang dan kamar berendam yang diminta untuk membayar lebih dari tarif masuk. Akhirnya kami memilih untuk berendam diluar yang gratis namun justru tidak sepadat yang didalam. Mandi dan bilas dilakukan di kamar mandi masjid. Benar-benar menyenangkan, malam-malam berendam dalam air belerang. Menghilangkan pegal-linu dan letih lesu. Sayang beberapa teman (khususnya yang mengenakan kerudung) memutuskan untuk tidak ikut berendam. Karena memang kolamnya tercampur antara pria-wanita, anak-anak dan dewasa.

Malam itu kira-kira jam sepuluh kami melaju pulang kembali dengan kendaraan yang sama. Kembali ke Jakarta melalui Purwakarta langsung dari Ciater, tanpa kembali melewati Bandung. Perjalanan makan waktu sekitar dua jam lebih. Sekitar pukul dua belas liwat atau jam satu malam baru akhirnya saya tiba kembali dirumah. Hebatnya, esok pagi jam 8.30 saya sudah harus naik kereta api dari stasiun Senen. Pulang menuju kampung halaman di Jawa Tengah. Tetapi penat itu rasanya tidak pernah ada ketika kehidupan hanya menyisakan kenangan manis, pertemuan menggembirakan dan rasa segar dalam jiwa karena melihat banyak hal baru. 

Saya rasa, saya membenci rutinitas!

Mempersiapkan Pelayan Cilik

Kebetulan rumah kami tidak jauh dari gereja. Banyak kegiatan rohani yang dapat dilakukan. Putri kami entah mengapa memilih menjadi pelayan altar atau putri sakristi. Padahal kami berpikir lebih baik ia menjadi organis gereja yang dapat mengiringi paduan suara. Kemampuan yang lebih bermanfaat untuk unjuk bakat dan mengais rejeki ketimbang menjadi 'pelayan'.

Tetapi panggilan memang sesuatu yang tidak dapat dipaksakan apalagi jika itu adalah 'panggilan Tuhan.' Dimana putri kami sangat gembira, aktif dan tulus dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan altar. Bahkan jika ada yang berhalangan hadir atau tidak dapat melaksanakan tugasnya, putri kami bersemangat menggantikan orang tersebut. Ia berharap terpilih menjadi 'ketua pelayan'.

Bagi putri kami menjadi 'pelayan' dengan busana khusus, bekerja dengan keanggunan dan keluwesan tersendiri serta bergerak didepan altar atau mimbar yang menjadi pusat perhatian segenap umat sangatlah membanggakan. Menurutnya itu membuat ia merasa under the spotlight, dibawah lampu sorot. Ia bangga menjadi pusat perhatian sekalipun dirinya hanyalah seorang pelayan.

Contoh yang diteladankan oleh putri kami membuat saya berpikir betapa semua orang hanya mencari kesuksesan dan uang melalui prestasi maksimal di dunia. Jarang sekali ada yang tekun bekerja dengan gembira, melayani orang lain dengan senang hati. Dengan upah yang secukupnya. 

Walaupun posisi pekerjaan putri sakristi hanyalah sebagai pelayan, namun sesungguhnya ia berada dibawah lampu sorot. Karena Tuhan sendiri yang memperhatikannya dengan seksama. Menjadi pelayan Tuhan tidak akan menyedihkan hati, tetapi menjadi budak keduniawian itu yang akan menyeret manusia pada kesengsaraan. Terima-kasih Putriku!... You're doing a great job and give us best example for life!

Galatia 5:13
Pada kalian yang menikmati kebebasan, wahai saudaraku. Janganlah gunakan kebebasan itu sebagai kesempatan untuk memuaskan kedagingan, tetapi melalui kasih layanilah satu dengan yang lain.

Mengapa Tuhan menciptakan bayi?

Mengapa Tuhan menciptakan bayi? 

Supaya manusia tahu kebesaranNya, mukjijatNya dan kreativitasNya dalam penciptaan. Bayi-bayi tumbuh menjadi besar, cantik dan tampan. Untuk selalu disayang dan diberi kehidupan yang pantas dijalani. 

Karena pada masa berikutnya mereka juga akan mengerti mengapa Tuhan menciptakan bayi. Dan ketika masa itu tiba, kita mungkin sudah tiada. 

Tetapi pesan yang disampaikan akan terus berlanjut, Tuhan menciptakan bayi agar manusia tahu kebesaranNya, mukjijatNya dan kreativitasNya dalam penciptaan. 

Mereka yang mencampakkan bayi dan anak-anak? Akan terus dirajam hatinya dalam penyesalan hingga mereka tiada dan tak berbekas.



Pemberi Tanpa Pamrih

Memberikan barang tentunya akan mudah jika diberikan atas dasar kesukaan dan pengetahuan yang memadai. Namun bagaimana jika memberi dalam kebutaan? Hanya berdasarkan cinta dan tanpa pengertian tentang barang yang hendak diberikan? Memberi karena naluri dalam hatinya ingin selalu memberi dan berbagi bagi orang yang memiliki hasrat berbeda dengan dirinya.

Adalah seseorang yang telah sangat lama saya kenal. Ia tahu saya penggila asesoris dan segala pernak-pernik yang unik. Entah gelang, kalung ataupun anting. Setiap kali hari jadi, ia memastikan saya mendapat satu barang unik yang menarik. Padahal ia sama sekali bukan seorang penggemar asesoris. Satu karet gelang pun jarang menghias tangannya. Yang saya ingat hingga kini ia sudah memberikan dua gelang dan terakhir sebuah kalung cantik. Dan entah berapa puluh pemberian lain yang tak saya ingat.

Kebaikan akan selalu dikenang demikian pun si pelaku kebaikan tersebut. Seperti saya selalu tekenang pada seseorang yang selalu menyayangi saya ini. Dalam segala hal dan peristiwa, ia memperlakukan saya seolah saudara perempuan yang tak pernah dimilikinya karena semua saudaranya adalah lelaki. Saya menerima kemanjaan sebagai orang yang selalu diperhatikan, dalam bilangan tahun. Dalam perjuangan bersamanya dalam suka dan duka meraih cita.

Ia berpikir bahwa saya pantas mengenakan barang-barang yang bagus dan cantik melebihi dirinya. Karena ia sendiri bukan jenis orang yang suka mengenakan banyak barang-barang indah. Bahkan tidak ada asesoris apapun di tubuhnya terkecuali jepit kerudung. Kadang Tuhan memang menciptakan saudara atau saudari di kehidupan tanpa perlu terlahir dari rahim yang sama. Terima kasih Tuhan untuk banyak persaudaraan yang kadang tak pantas saya terima. Terima kasih Lis saudariku, untuk selalu mencintaiku!

Monday, July 28, 2014

Masih Ada Kado di Usia Sekian

Bye-bye masa remaja! Seperti perahu nelayan yang perlahan menjauh dari garis pantai. Melaut untuk memperjuangkan nafkahnya, seperti itu pula usia perlahan meninggalkan pelabuhan yang sebelumnya tenang. Masa muda, masa remaja dan masa berhura-hura. Bukan berarti saya penggemar gaya hura-hura dan serba dugem. Tetapi tentu pernah muda dan sesekali ikut acara yang jika dipikir sebenarnya tiada banyak guna.

Acara seperti janjian dengan teman, lalu pergi menghabiskan waktu untuk bermain ke rumahnya. Menonton televisi dan film silat. Atau sekedar bersepeda entah kemana. Ketika remaja naik pangkat, pergi bersama kawan-kawan naik sepeda motor keliling kota. Sekedar jajan dan makan-makan. Lalu menonton film. Terkadang film yang ditonton dibioskop juga sangat jelek dan tidak jelas jalan ceritanya. Hanya ingin menghabiskan masa remaja bersama kawan-kawan saja, waktu dan uang dihamburkan.

Menginjak usia kuliah dan pekerja muda. Kawan makin bertambah dan pergaulan merambah ke kota-kota yang lebih besar. Gengsi meningkat, acara ultah lebih seru dan gaul. Bisa di resto, bisa juga di cafe. Percakapan juga lebih seru meningkat ke masa depan, masa selanjutnya yang hendak dibangun. Ada mimpi-mimpi yang lebih besar dan harapan yang lebih muluk. Tidak ada yang melarang. Semua orang ketika muda pasti punya ambisi lebih menantang ketimbang mereka yang masih kanak-kanak atau jelang usia senja. Lalu hidup terasa sangat bergairah.

Waktu berlalu tidak lagi dewasa muda tetapi mulai masuk pada usia matang. Harapan satu-persatu tumbang berhadapan dengan kenyataan. Terbangun dari mimpi dan tidur panjang. Ada yang mengetahui realita namun terus bergulat melawannya. Yang lain pasrah, apa yang ada diujung jalan akan diterima. Yang tidak terima lainnya larut dalam kekecewaan dan merusakkan marwah dirinya sendiri. Lupa Tuhan. Mimpi-mimpi mulai pupus seperti film kartun yang tidak akan pernah menjadi film sungguhan. Tetapi tidak boleh putus-asa, karena hidup ini anugerah. Ketika suatu nyawa ditiupkan dalam satu raga, siapa yang tahu jika ada jutaan atau mungkin trilyunan nyawa lain merasa cemburu karena mereka tidak pernah hidup?

Di usia yang seharusnya sudah sangat matang dan bersikap dewasa, masih saja ada yang berlaku kebocahan dan sesukanya. Masih ada yang berpikir bahwa hidup akan berjalan seribu tahun lagi. Tetapi bagi yang menyadari, biduk perlahan dan lambat merambat terus ke tengah lautan misteri. Harus waspada. Apapun bisa terjadi ditengah sana. Antara kabut, hujan dan badai. Diantara terik, panas dan keringat. Bersiaplah!

Seorang sahabat masih teringat, khusus mengirimkan hadiah ulang-tahun dari sisi lain dunia, dari negara yang berbeda. Masih ada kado di usia sekian, pelipur lara dan pendorong semangat untuk terus berkarya. Buku cantik, handmade yang dipesannya khusus untuk saya. Untuk mengingatkan siapa saya dan marwah diri. Menunjukkan bahwa ia menyisihkan waktu untuk sekedar memperhatikan dan menyayangi seorang kawan di perjalanan kehidupan. Haru, padahal saya sendiri sibuk dengan pergulatan.

Terima kasih Elvira Threeyama! Semoga dalam perjalanan hidup ini saya tidak akan mengecewakanmu dan justru terus membuatmu bangga. Terima kasih, untuk mengerti bahwa aku tak bisa pergi dari dunia menulis dan menggores kata. Terima-kasih karena mendukungku untuk terus menjadi gila dan mencari inspirasi didalamnya. Maafkan untuk cita-cita dan hasrat kehidupan lainnya yang belum terpenuhi. Satu-persatu kucoba raih mimpiku walau sebagian mulai kabur menghilang... Happy Birthday to me? Dengan nada sumbang...

Saturday, July 26, 2014

Eran

Eran,

kau menjebak kesendirian 

di ruang dan lorong

telisik cari jejak sunyi

berisik ganggu naluri

sosokmu ganggu hari-hari selanjutnya

seperti yang lain yakinku

dalam hitungan minggu kau akan pudar

lenyap tak berbekas

tak pernah tinggal sang fatamorgana

hanya realita yang menampar

Eran,

kumencintaimu dalam satu detik keabadian

saja... 

beruntung kau, buntungku selalu

Pulang

pulang katamu, dirimu harus pulang

perbekalan, rantang dan sisa - sisa kenangan

ingin pulang katamu kau sudah cukup kaya

semua yang kau mau sudah kau korek

dari luka-luka dan bilur lelahku

katamu pulang akan membuangku makin jauh

lenyap seperti kutu di ufuk terjauh

harus pulang laknat sepertimu, kataku

kau hanya hisap darah manusia...

takkan pernah ada setitik rinduku untuk rompak sepertimu

(insipired by: leaving on a jet plane)



Langit Merah Pertanda Marah

Ssshhh, langit merah pertanda marah...

Terang yang benderang tak meredam dendam

Padamu aku teringat, masa kita telah lalu lewat

Seperti episode dua yang sangat terlambat

Dari jauh kutiupkan harapan dan kerinduan


Ssshhh, langit merah pertanda marah...

Karena aku yang mengganggu eksistensimu

Barangkali kamu yang sama sekali tak pernah tahu

Tetapi aku selalu meniupkan angan diantara awan-awan

Dirimu pada suatu masa adalah panglima hatiku




Tidak ada Cinta Yang Tersia-sia

Ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan kantor tempat saya bekerja selama belasan tahun, rasanya memang tidak mudah. Tetapi harus! Saya tidak tahu apakah saya termasuk orang yang beruntung untuk urusan cinta. Tapi selama ini tidak ada masalah yang cukup berarti bagi saya untuk terlalu lama bermuram durja karena cinta. Mungkin juga saya cukup beruntung tentang hal itu. Mungkin! Buat saya cinta terkadang bias dengan hasrat semata. Ketika saya sangat tidak tahan dengan pekerjaan dan memutuskan pergi meninggalkan tempat itu, saya merasa sangat lega, damai dan bahagia. Jujur, bahkan terpikir bagai keluar dari neraka!

Saya jadi berpikir tentang cinta. Dalam arti cinta yang salah arah. Dalam pekerjaan saja ketika seseorang merasa sangat tidak bahagia, rasanya sangat berat. Dibayar berapapun tidak akan mampu menghilangkan kepenatan yang ada. Tidak mampu melipur duka lara. Ini bagi saya yang pada akhirnya tersadar, uang bukan segalanya. Memang tipis batasnya antara menyadari uang sungguh dibutuhkan dan uang bukanlah segalanya. Seperti batas nalar orang waras dan orang gila. Tetapi saya lalu membayangkan seseorang yang memaksakan diri mencintai orang yang sesungguhnya tidak pernah ia cintai sama sekali. Pertalian kasih yang berdasarkan kalkulasi untung-rugi. Bagaimana pada akhirnya? Mungkinkah bahagia mampir?

Mengorbankan perasaan cinta sama saja dengan menjadi zombie di dunia ini. Hidup, bernafas dan bergerak, tetapi tanpa jiwa. Itu yang saya rasakan ketika bekerja dengan gaji yang terbilang cukup setiap bulannya, tetapi saya tak tahu apa yang saya lakukan. Saya tidak merasa bangga dan tidak mendapat apresiasi yang saya harapkan. Hati saya terus berteriak, "Saya tidak bisa hidup terus seperti ini, bisa gila!" Mungkin itu perasaan seseorang yang tak tahan lagi berpasangan dengan pribadi yang dipandangnya tak cocok. Yang membuat saya sedikit rancu, manusia kadang jatuh cinta atau memilih seseorang atas dasar pilihannya sendiri. Atas kesadaran sendiri, sedangkan mencari kerja kadangkala hanya berdasarkan 'peruntungan'. Cocoknya bekerja dimana. Bagaimana kedua hal ini dapat disamakan?

Tapi saya coba tarik garis. Pernikahan memang harus sangat berhati-hati, walau sedikit setidaknya harus ada rasa cinta. Dan itu adalah hal yang utama untuk mempertahankan pernikahan. Cinta yang hanya setitik sesungguhnya tidak akan tersia-siakan jika dapat menjadi modal guna mempertahankan pernikahan hingga akhir. Tetapi tanpa cinta sama sekali? Sungguh berjudi! Saya tidak yakin, apakah ada orang yang akan mampu bertahan? Mungkin bertahan, namun semacam sandiwara saja layaknya. Saya bukan sejenis pribadi manusia yang sanggup bersandiwara. Dapat dipastikan sandiwara itu akan langsung gagal.

Itu yang saya rasakan sekian lamanya saya bekerja dalam sebuah pekerjaan yang sia-sia. Dalam sebentuk instansi yang tidak jelas, acuh dan asal-asalan. Sama sekali tidak mendengar suara dari karyawannya. Perusahaan hanya menjalankan sistem monolog, percakapan satu arah. Apa yang diinginkan, maka mereka akan memaksakan pada pekerjanya. Hmmm! Sekian tahun bekerja, saya kian tersadar bahwa penjajahan masih ada banyak disekitar kita dalam wujud selubung kasat mata. Sebuah pernikahan seharusnya juga berlandaskan dialog. Komunikasi terus-menerus antara dua orang. 

Jika hanya ada satu orang yang menurut maka akan membawa penderitaan bagi yang satunya. Suatu saat akan terjadi ledakan kebencian dan pemutusan hubungan. Untungnya, saya memutuskan untuk 'bercerai' dengan pekerjaan saya dan bukannya pasangan hidup. Tidak ada cinta yang tersia-siakan jika cinta itu diberikan pada orang yang tepat. Sesungguhnya cinta akan selalu membawa manfaat dalam kehidupan. Cinta kepada pasangan, orang-tua, anak, sahabat dan bahkan pekerjaan. Terpenting adalah jujur pada diri sendiri, sungguhkah cinta? Cinta yang tidak memperbaharui diri akan menjadi sebuah perbudakan (Kahlil Gibran). 

Senja Di Batas Kota

Pada usia 20-30an, saya terbiasa menyelenggarakan acara ulang tahun. Sejak remaja, saya suka mengadakan perayaan ulang-tahun. Biasanya mengundang teman-teman dan mentraktir makan di restaurant atau pergi menonton bioskop. Masih terbayang dalam benak saya ketika merayakan ulang-tahun yang ke tiga puluh. Rasanya sungguh menyenangkan. Kami pesan acara di sebuah rumah makan di bilangan SCBD Sudirman. Suasana acara persis seperti yang saya idamkan. Restauran rumah makan Manado dengan desain yang unik dan etnik.

Lalu saya mengundang beberapa teman yang saya rasa dekat dan akrab, kami mengadakan acara disitu. Semua serba heboh dan menyenangkan. Makanan dihidangkan dan dikelilingi oleh kawan-kawan terbaik. Awesome! Usia itu seolah usia emas yang saya rasakan. Ketika itu putri saya juga masih balita dan digendong dengan satu lengan. Lucu, sangat mungil dan kecil. Sekarang putri saya sudah bertumbuh besar dan bahkan lebih jangkung daripada saya. Menguak ingatan dan menyibak masa lalu sungguh mengharukan. Aroma usia keemasan rasanya masih baru kemarin. Padahal sekarang waktu sudah melaju kencang. Lebih dari satu dasawarsa sejak peristiwa itu.

Saya ingat ketika itu ada serombongan penyanyi yang berkeliling dari satu meja ke meja berikutnya. Menanyakan kepada para pengunjung lagu apa yang sekiranya hendak dinyanyikan. Aneh, untuk jaman itupun saya meminta lagu yang jadul. Judulnya sudah sangat jadul, "Senja di Batas Kota." Saya tak tahu mengapa ketika ulang-tahun itu, yang ingin saya dengar adalah dengung lagu itu. Lagu kesukaan ibu ketika saya remaja. Lagu yang kadang didendangkannya sambil tersenyum. Menurutnya lagu itu sangat enak didengar. Ketika saya berulang-tahun itu, ibu masih sangat muda dan sehat. Dari kota kelahiran kami, ibu hanya berkirim salam dan mendoakan agar saya bahagia dan sukses, meraih apa yang diimpikan.

Tak terbayang dalam benak saya bahwa pada suatu hari ibu akan sakit keras dan meninggal dunia. Meninggalkan kenangan yang menyakitkan dan sedikit persoalan keluarga. Tapi kini makin jelas, yang menyakitkan bagi saya bukanlah segala permasalahan yang ada. Tetapi kehampaan karena ibu telah tiada. Sudah setahun berlalu sejak ibu pergi, namun kesedihan dan patah hati itu selalu ada. Tidak tahu mengapa, mungkin karena sungguh banyak dosa saya kepada ibu. Apapun yang saya lakukan selalu salah dan jauh dari sempurna. Kadang saya tak mengerti apa sebenarnya kehendak ibu. Tetapi ketika ibu tiada kesedihan itu seperti samudra tanpa batas. Memang jika sedang dikelilingi oleh banyak teman dan keluarga, saya melupakan kesedihan tentang ibu. Tetapi ketika menyendiri seperti saat ini, kenangan tentang ibu begitu kuat tergambar.

Pada ulang tahun saya yang gemilang itu, saya meminta sang penyanyi menyanyikan lagu ibu. Tanpa sadar. Mungkin karena saya dibesarkan dengan dendangan lagu itu, yang disukai ibu. Mungkin karena saya suka nadanya. Mungkin karena saya suka syairnya. Entahlah, saat itu rasanya sudah begitu lama. Seolah terjadi di jaman purba. Dan kini saya justru lebih mengerti arti dari tajuk 'Senja di Batas Kota.' Bahwa memang benar semua kehidupan pada akhirnya akan tiba pada sebuah senja. Kemeriahan hidup yang tadinya laksana berada di tengah kota, perlahan akan bergeser menuju ke tepian kota. Dan seperti itu rasanya sekarang mengenang ulang - tahun yang ke-30. Optimis selalu ada, tetapi harus seiring dengan kesadaran bahwa senja akan segera datang menjelang. Sekarang, saya kehilangan selera untuk berulang-tahun. Setiap tahun yang datang dan pergi. Sama saja!

Senja di batas kota
Slalu teringat padamu
Saat kita kan berpisah
Entah untuk berapa lama

Walau senja tlah berganti
Wajahmu slalu terbayang
Waktu engkau kulepaskan
Berdebar hati di dada

Tiada dapat kulupakan
Peristiwa kisah ini
Engkau di seberang sana
Menunaikan tugasmu

Senja di batas kota
Terlukis di dalam kalbu
Hanya bila kau kembali
Hidupku akan bahagia

Selamat jalan ibu, tugasmu mendoakanku.

Pekerjaan Rumah Yang Selalu Ada

Menulis itu seperti PR yang terus ada. Jika tidak menulis lalu beberapa gagasan hilang dan menguap begitu saja. Jika diikuti untuk menuliskan segalanya, rasanya pekerjaan yang lain terbengkalai. Menulis memang cocok untuk orang yang tinggal menyendiri di villa yang indah dengan segudang ransum makanan. Sehingga yang dilakukan totally hanya, makan, tidur dan menulis. Idealnya demikian, sayang tidak mudah terlaksana.

Banyak tulisan yang awalnya saya mulai dengan semangat '45 lalu menjadi terbengkalai tak karuan. Karena tiba ditengah kehilangan semangat atau kehilangan ide. Buat saya pribadi 'mood' adalah sesuatu yang sangat penting dalam menulis. Ada beberapa orang yang sanggup memaksa diri untuk menulis dengan tenggat waktu dan disiplin tinggi. Saya menulis ketika ada waktu dan sedang tidak malas. Mungkin itu bedanya penulis produktif dan orang yang hanya bicara 'ingin jadi penulis' namun tidak pernah menuliskan apa-apa.

Saya memyukai menulis semua. Ya, semua. Kalau bisa menulis fiksi, report, travelling, blogging. Apapun itu. Menurut saya akan menyenangkan kalau kita mampu menulis dengan segala cara. Tentu ada bidang-bidang yang mampu kita tuliskan dengan lebih tajam dan menarik sesuai dengan kemampuan kita. Tidak menampik dalam beberapa bidang mungkin tulisan kita kurang baik, karena kurang menguasai. Disitu ada celah untuk terus memupuk diri dan menambah ilmu dalam bidang penulisan.

Dihitung-hitung, sejak mulai belajar menulis di tahun 2009, saya sudah mengumpulkan empat naskah buku. Satu novel, dua kumpulan cerpen dan satu naskah feature. Yang satu kini sudah 'deal' dalam proses penerbitan. Dan yang tiga sedang 'dijajakan'. Tanggapan penerbit juga berbeda-beda. Penerbit besar menolak dengan sopan dan bahasa yang tidak menyinggung. Sadar dan mengerti bahwa menulis beratus halaman bukan hal yang mudah. Kisah didepannya ingat, ditengah lupa bisa jadi endingnya berbeda. Kadang awal menulis sangat mengalir, tiba di tengah macet dan bingung mau kemana tulisan ini akan dibawa? Lalu pada bagian akhir mengambang dan terasa janggal.

Beberapa penerbit yang kurang profesional, menerima naskah lalu mendiamkan selama berbulan. Ketika ditanyakan justru menghina dengan bahasa yang kasar dan menyengat. Kata - kata seperti, 'Tulisan Anda bikin editor menyerah, sama saja ditulis ulang!" Atau kata-kata lain seperti, "Silahkan Anda belajar dari novel-novel lain yang sudah ada sebelumnya, supaya bisa menulis alur yang lebih baik. Belajar lagi ya!" Ya, kalau usia belasan tahun dinasihati demikian masih manut. Kalau sudah nenek-nenek, wah...lumayan makan hati! Hehe,...Tapi ingat, belajar tidak ada batasan usia. Maka sebenarnya siapa yang ingin maju, berkembang dan lebih baik lagi harus terus berusaha. Saya masih terus berusaha, meraih mimpi.

Saya merasa sudah menyia-nyiakan separuh hidup saya demi menyenangkan orang lain. Separuh perjalanan berikutnya lebih baik menyenangkan diri sendiri. Membahagiakan orang lain memang mendapat pahala, tapi mengingkari diri sendiri akan sangat menyakitkan. Disini memang muncul pergumulan. Pilihan antara enak dan tidak enak. Happy dan tidak happy. Untung dan buntung. Tetapi ketika kesadaran diri muncul dan meletakkan segala percaya kepada Tuhan, melakukan sesuatu terasa lebih mudah. Saya menyenangkan diri dengan menulis, namun juga tetap menyenangkan orang lain dengan terus berusaha maksimal untuk membantu. Akhirnya saya belajar menyenangkan orang lain boleh, tapi tidak lalu mengingkari diri sendiri. 

Menulis menjadi pekerjaan rumah yang sangat saya sukai. Disela menyapu, disela membersihkan rumah. Disela menyetrika dan memasukkan pakaian ke dalam lemari. Bahkan disela menonton televisi dan sebagainya menulis menjadi hal yang dirindukan. Perhentian untuk selalu menggoreskan kata-kata dan berbagi cerita. Bagi saya menulis mengasyikan sekaligus rekreasi. Suara-suara yang penuh bisikan di kepala saya akhirnya muncul dan berkata - kata dengan sendirinya melalui tulisan. Herannya, baru beberapa tahun ini saya menyadari. Atau dulu juga menyadari namun mengingkari?

Friday, July 25, 2014

Adakah Hari Esok?

Di sebuah pusat perbelanjaan seorang ibu berkata, "Mama mau mampir dulu ke toko situ, mau beli roti buat sarapan besok." Saya yang sedang melintas dan berpapasan dengan keluarga tersebut mendengarnya lalu terdiam. Kalimat itu seolah menyentak kesadaran terdalam saya tentang hari esok. Bagaimana hari esok itu akan tiba? Yakin bahwa hari esok masih akan ada? 

Kebanyakan manusia akan sangat gembira membicarakan hari esok. Ada yang merasa cita-citanya akan segera terpenuhi. Harapannya akan terkabul. Keinginannya untuk menjadi seseorang atau memiliki sesuatu seolah membius, bahwa hari esok akan tiba dan lebih baik. Jarang ada yang ragu, apakah hari esok masih akan ada? Padahal banyak drama dan tragedi kehidupan yang tidak pernah dapat diramalkan oleh siapapun. Ada yang mendadak mengalami nasib naas adapula yang mengalami mujur. Fifty-fifty.

Namun pada dasarnya manusia hanya berharap yang terbaik untuk hari esok. Besok matahari masih akan terbit dari timur. Besok masih bisa makan enak. Besok masih bisa ke mall. Besok masih bisa nonton ke stuido Blitz atau Cinema 21. Banyak hal dalam hidup ini, manusia hanya membuat angan tentang hal yang baik saja. Sehingga hidup disedot dan dimaksimalkan sedapat mungkin untuk meraih bahagia. Ini yang kerap menimbulkan sikap - sikap egosentris. Mementingkan diri sendiri. Kebahagiaan diri sendiri dan orang-orang terdekatnya.

Tadi kami pergi makan ke sebuah restaurant. Kami melihat seorang lelaki yang mengambil salad sangat banyak, menggunung tinggi di mangkuknya. Bahkan hingga tumpah ke bawah dan dialasi dengan sebuah piring. Saya memperhatikan karena jatah makanan prasmanan buffet yang diambilnya itu menyolok sekali. Rupanya pria itu mengambil satu mangkuk salad dan disajikan sebagai hidangan bersama untuk keenam anggota keluarganya. Saya berusaha tidak menghakimi, tetapi pikiran ini selalu bergoyang dihembus oleh kesadaran yang membisikkan suatu hal, "Wah, ogah rugi banget nih orang!"

Hari esok memang harus kita lihat dalam perspektif optimis, berharap yang terbaik dan maksimal. Tetapi saya kurang setuju jika semua daya dan upaya hanya dikerahkan oleh diri sendiri. Ada unsur alpha dan omega. Awal dan akhir. Siapa yang memberi awalan dan akhiran dari kehidupan kita? Ada yang mengatur di alam ini. Kasat mata. Bagi yang beragama akan menyebutnya Tuhan, bagi yang tidak akan menyebutnya alam. Ini hal yang saya dan banyak orang yakini. Saya tidak dapat berargumen dengan orang yang tidak mengakui Tuhan dan sifat universal yang mengalir. Karena logika saya justru tidak ada dalam kerangka itu. Maafkan kebodohan saya.

Dikarenakan yakin hari esok masih akan terus ada, manusia berpikir untuk beli roti. Manusia berpikir untuk mengambil jatah salad sebanyak-banyaknya dan ogah rugi. Dalam sekala besar manusia menipu, berbuat jahat, korupsi dan sebagainya. Merencanakan kenikmatan karena hari esok pasti masih akan ada. Dalam banyak hal seperti bencana, perang, kecelakaan, kematian karena sakit, pembunuhan dan sebagainya banyak yang tidak siap. Keluarga yang ada disekitarnya juga tak siap. Mereka meraung, menangis dan menjerit. Ketika ibu saya tiada, tanpa sadar saya berhenti meraung, menangis dan menjerit. Karena selama dua hingga tiga bulan menyaksikan ibu menderita sakit, saya sungguh tidak tahan. Tidak tega melihat penderitaannya. Bagi mereka yang menunggui keluarga sakit parah dan cukup lama, akan mengerti maksud ini.

Hari esok akan selalu ada, tetapi bersiaplah fifty-fifty. Untuk kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk. Selama Tuhan masih memberikan nafas yang mengalir, hal yang terburuk pun akan berlalu dan pada akhirnya menjadi baik. Kecelakaan akan pulih, setelah dibui akan bebas, sakit parah akhirnya sembuh, dan sebagainya. Tetapi ingatlah kemungkinan fifty-fifty tersebut. Manusia yang mampu melenturkan emosi dan ambisi dalam dirinya akan lebih fleksible menerima apapun yang nanti akan diberikan atau digariskan oleh Tuhan. Bisa baik dan bisa buruk. 

Maka ketika hal itu baik berterima-kasihlah dan ketika hal itu buruk tetap berterima kasih karena menjadi pelajaran berharga. Manusia yang memetik pelajaran dari hidupnya akan meraih predikat cum laude atau summa cum laude setelah menjalaninya. Sebaliknya manusia yang berpikir pendek tentang hari esok, hanya sebatas membeli roti untuk sarapan atau mengambil jatah salad sebanyak mungkin, semoga siap. Bahwa esok masih menyimpan misteri. Fifty-fifty. 

Wednesday, July 23, 2014

Dulu Martha, Sekarang Maria

Beberapa waktu lalu saya membaca kisah dari kitab suci. Mungkin ketika saya masih kecil, sering membaca cerita tersebut. Kisahnya mengenai Martha dan Maria. Maria disini bukanlah ibu Yesus tetapi Maria saudara dari Martha dan Lazarus. Sebagai anak kecil, mendengar atau membaca cerita dari kitab suci tentu membosankan dan membingungkan. Setelah dewasa pun harus benar-benar dipahami mengenai arti dari kisah - kisah tersebut.

Berawal dari kegiatan malam membaca kitab suci, saya jadi melihat sisi lebih dalam tentang kisah Maria dan Martha. Ada tiga bersaudara Maria, Martha dan Lazarus yang menjadi pengikut Yesus. Bahkan Lazarus dibangkitkan dari kematian oleh Yesus. Pada suatu ketika Maria dan Martha menerima kunjungan Yesus di kediaman mereka. Martha adalah wanita yang sangat aktif dan rajin bekerja. Kunjungan Yesus membuatnya sibuk dengan aneka kegiatan rumah-tangga. Ia merasa perlu menyediakan makanan, menyeduh minuman dan mungkin membereskan rumah untuk menyambut Yesus.

Maria berlaku sebaliknya, ia terkesan santai dan menikmati kunjungan Yesus. Dengan tenang ia duduk di kaki Yesus dan mendengarNya berbicara. Melihat hal tersebut Martha merasa sedikit kesal. Kesibukan yang menyita waktu dan tanggung-jawab sebagai tuan rumah namun tidak dibantu oleh Maria saudaranya, yang justru duduk bersantai, hanya mendengarkan perkataan - perkataan Yesus. Maka Martha berkata kepada Yesus agar menegur Maria, mengapa wanita itu tidak membantu Martha melakukan persiapan hidangan. Mengapa Maria justru duduk dengan manis dan relax, hanya mendengar segala ucapan Yesus?

Yesus kemudian balik menegur Martha. Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan Maria sudah benar. Yaitu duduk dan menyerahkan diri pada Tuhan. Maria melakukan hal yang memang diinginkan Yesus yaitu mendengarkan sabdaNya. Pada kenyataan ini saya sedikit terguncang oleh kenyataan hidup. Betapa sering dan betapa banyak orang yang hanya sibuk melakukan ini dan itu, namun jarang mendengar dan meresapi sungguh-sungguh ucapan Tuhan yang banyak ditulis di dalam kitab suci. Betapa banyak orang yang tenggelam dalam kesibukan duniawi namun tidak sadar bahwa Yesus ingin agar perkataanNya didengar. Yesus tidak minta teh atau hidangan lainnya. Tidak memerintahkan manusia untuk larut dalam kesibukan yang menggila demi Dia. Sederhana saja, yang diminta adalah diam, relax, berserah dan mendengar semua sabdaNya.

Saya mengibaratkan kehidupan yang saya alami bagaikan Martha dan Maria. Dulu saya bertingkah seperti Martha. Bukan dalam arti selalu sibuk membuat teh atau menyiapkan hidangan. Bukan kesibukan semacam itu. Tetapi saya sibuk bekerja, mencari nafkah dan terus mencari uang. Dengan alasan demi keluarga, demi rumah yang lebih bagus dan indah. Demi memiliki sesuatu untuk disumbangkan ke gereja atau ke acara apapun juga. Dalam banyak hal saya mengejar kesibukan yang saya anggap 'mandat' dari Tuhan. Mandat untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan menjadi penolong keluarga dengan bekerja giat. Namun hal itu tidak membuat saya bahagia. Yang ada saya justru merasa terbeban dan sangat lelah. Maka sekarang saya mengerti, mengapa menjadi Maria juga dibutuhkan dalam hidup ini. Sit back and relax! 

Saya mulai banyak membaca kitab dan mendengar dengan sungguh-sungguh perkataan Tuhan. Lalu percaya! Berikutnya selalu ada saja keajaiban dan keberuntungan yang saya terima. Yang terpenting saya belajar mengucap syukur dan terima kasih terus-menerus. Dengan kesadaran ke-Tuhanan yang meninggi, sebagai mahluk hidup kita harus sungguh sadar bahwa hidup ini anugerah. Bahwa segala harta adalah titipan, bahwa bahagia dan duka itupun sementara. Kehidupan yang penuh derita pada saatnya akan digantikan kehidupan yang banyak diisi dengan kegembiraan. Dan dalam kegembiraan juga harus waspada, sesekali akan muncul kesedihan atau malapetaka. Ketika meletakkan kesadaran bahwa itu adalah garisan Tuhan kita akan lebih sabar menjalani. Bahwa kita harus seperti Maria yang sit back and relax, mendengar sabda Tuhan. Kita akan lebih tenang menjalani hidup dan bukan beraktivitas dengan membabi-buta demi ambisi-ambisi pribadi. Namun menganggap hal itu sebagai 'mandat' Tuhan.

Lukas 10:39-42

Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu : Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

Pentingnya Sinyal Kuat

Saya bukan mau bicara tentang sinyal cinta atau sinyal mesra lainnya. Ingin bicara tentang sinyal sungguhan. Duh, pentingnya bagi penulis, penggemar artikel dan penggembira dunia blogging seperti saya untuk memiliki sinyal kuat. Tanpa sinyal, 'pettt...!' semua menjadi disconnected dan kembali ke jaman purbakala. Ya, bagaimana mau update? Jika semua yang ingin kita baca tidak dapat dibuka langsung melalui gadget? Berlangganan media massa? Bayar lebih mahal dan 'nyampah'. Setelah dibaca, majalah dan koran akan menyisakan sampah yang menggunung. Mau dibuang sayang, disimpan sudah tidak ada tempat. Penuh!


Belakangan ini saya sedikit kesal dengan provider penyelenggara sinyal internet dan TV kabel dirumah. Dimulai sejak awal juli yang mendadak saja program TV kabelnya hilang berantakan. Ternyata kontrak dengan penyelenggara TV kabel di indonesia tidak dapat diperpanjang. Gagal perpanjang kontrak. Lalu konsumen mendapat siaran TV yang sangat berbeda dengan perjanjian awal. Haduh, cape deh! Lalu ingin menggunakan jasa layanan internetnya saja juga kian buruk. Byar-pet seperti lampu yang menyala dan mati. Entah apakah penyebabnya modem murahan yang kami beli? Harga ratusan ribu tapi masih saja digunakan begini? Digolongkan murahan? Memang yang dulu digunakan model yang harga ratusan ribu juga, tapi merek lain yang dobel mahalnya. Haduh, cape lagi!


Tadi juga sedang asyik menulis di media netizen. Ealah, mendadak saja, website tersebut tidak dapat dibuka. Tidak dapat login dan logout. Lalu semua serba error. Harus bagaimana untuk edit tulisan? Bagaimana pula untuk men-tweet tulisan lagi? Menjengkelkan ketika sinyal atau sambungan apapun juga terganggu. Mau nonton televisi tidak bisa, mau update status tidak bisa, mau menulis tidak bisa. Saya kesulitan untuk menulis dengan media word ketika bermaksud blogging. Saya bisa menulis di word ketika itu adalah saatnya menulis fiksi. Sepertinya isi kepala dan jemari tangan saya memilih dengan sendirinya untuk lancar mengetik ketika berada di media yang tepat. Seperti menanam gandum di ladang. Menanam apel di kebun dan menanam singkong di dalam tanah. Aneh tapi nyata, namun demikian. Banyak penulis yang mungkin ide atau media penulisannya bisa memicu kelancaran dalam menulis atau inspirasi. Lebih bagus punya rumah sendiri di Bali dengan pemandangan lembah ke arah laut. Aheeemm...!(Batuk berdahak!).

Kegagalan menulis bagi saya, juga kerap disebabkan ketika sedang asyik menulis lalu lupa menekan tombol refresh. Atau mencoba memuat suatu halaman lagi. Ternyata gagal karena sinyal lemah atau disconnnected itu. Maka akhirnya menyebabkan banyak tulisan yang sudah diketikkan hilang lenyap atau amburadul menjadi tak karuan susunannya. Kadang hilang beberapa paragraf. Bahkan fungsi justify untuk meluruskan paragraf saja menjadi maha penting bagi saya. Tidak suka tulisan atau ketikan yang mencong sana, mencong sini. Alias tidak rapi dan tidak lurus dalam satu bagan paragraf. Banyak sekali ya rewelnya? Maka, bagi saya penting sekali adanya sinyal kuat dijaman sekarang ini. Lama-kelamaan kebutuhan fungsi sinyal internet sudah seperti fungsi telepon, listrik, air yang boleh dikata masuk dalam bujet tetap bulanan rumah tangga. Haduh, tambah lagi deh biaya hidup!

Thursday, July 17, 2014

Tukar Kata Sahabat Lama

Bertemu kita, setelah sehari sebelumnya saling berjanji jumpa. Setahun sekali biasanya kita tatap muka. Aku sudah pergi dari tempat awal pertemuan kita, kamu masih bercokol saja disitu. Hidup ini pilihan, buatmu tak ada pilihan selain menetap. Buatku tak ada pilihan selain pergi. Tetapi kita masih satu hati, sesekali bertukar cerita. Kebanyakan tentang masa lalu yang kita bagi bersama. Orang-orang yang kita kenal berdua.

Kamu bercerita tentang Lena yang kini terlena oleh cinta barunya. Meninggalkan suami dan anak-anaknya. Aku ternganga-nganga, terus bertanya-tanya, 'Kok bisa?' Hidup ini pilihan dan kadang memang rayuan untuk mengganti cerita. Bingung melihat yang dulu jadi idaman kini jadi celaan. Yang dulu jadi dambaan kini jadi cercaan. Aku ingin menutup telinga, tak mau dengar kabar-kabar yang tak sedap ditelinga. Tapi ini realita, sulit menghindarinya.

Sedih aku mendengar kabar semuanya porak-poranda. Tidak rasanya tidak ada yang bahagia. Semua berusaha mencari bahagia itu entah kemana dapatnya. Setiap sen menggantikan setiap detik dari kebahagiaan seolah hidup melulu diatur oleh materi dan harga. Aku tidak bisa bicara apa-apa ketika kamu bercerita ada yang mati binasa. Ada yang pergi begitu saja terlunta-lunta. Mungkin yang perduli hanya aku, itupun hanya hatiku yang pilu. Aku tidak bisa menjadi kegembiraan karena ruhku menjauh dari kepedihan. Aku tidak ingin lagi jadi bagian dari sesuatu yang sangat menyakitiku.

Aku senang perjumpaan kita begitu seru. Sesekali hanya sesekali dalam setiap tahunnya kita berjumpa. Wajahmu selalu bergembira melihatku ada. Aku malu karena dulu kadang aku acuh dan kurang baik terhadapmu. Kamu selalu baik dan tak henti menghargai serta mendukungku. Aku mulai mengerti persahabatan tipis jaraknya dari perjodohan. Ketika para sahabat berjumpa mereka akan selalu gembira dan setiap sen-nya akan dibuang untuk menggantikan setiap detik kebahagiaan.

Kamu terus bercerita tentang tragedi-tragedi manusia yang meliputimu. Kadang muram, kadang sendu. Tak jarang ada yang lucu lalu kamu tertawa, aku pun berlaku sama. Masa lalu kita begitu banyak yang bertautan, satu persatu cerita kita paparkan. Dan orang-orang yang sama masih berlaku sama. Orang-orang yang sedih mati merana dan orang-orang yang kecewa sepertimu telah pergi. Begitu katamu padaku. Aku mengangguk-angguk dalam sunyi di hatiku.

Pernah sahabatku pada satu masa aku mencintai tempat pertemuan kita, pertautan masa lalu kita. Suka dan duka yang kita bersama. Lalu pada satu titik aku jatuh dalam kecewa yang begitu dalam. Aku tidak lagi melihat kegembiraan dan kesukaan untuk berada disekitarnya. Aku pergi dari tempat penjumpaan kita. Tapi aku akan selalu ada dihatimu. Semangatku membuatku berlari menembus waktu. Sungguh aku tak bisa lagi kembali kemasa lalu yang begitu muram, begitu membuatku jenuh dan tak rela. Hidup ini hanya sekali sahabatku, pergunakan dengan bijaksana. Jika engkau harus selalu ke barat, aku harus ke selatan. Jika engkau berdalih hanya itu kesempatanmu. Aku bersikeras ada yang lain harapanku. 

Aku senang kita bertemu, dan beberapa kata tertukar. Untukmu sabar dan tawakal. Untukku semangat dan upaya. Selalu, pertalian kita akan terjalin erat, kini dan nanti. Ada hal-hal yang tak bisa dibeli dengan materi.

Bangi Kopitiam, 17 Juli
@Ramauli-S

Wednesday, July 16, 2014

Gambar Ibuku

aku menghindari membuka semua album warna biru
karena haru menyeruak kalbuku
aku menolak melihat lagi semua gambar ibuku
karena marah menggelegak

tidak, aku tidak bisa lagi
melihat gambar tentang ibuku
tentang orang yang melahirkanku
menyayangi dan membesarkanku sendiri

tidak, aku tidak bisa lagi
melihat gambar apapun juga tentang ibuku
karena yang ada hanya sakit didadaku
menyadari ia telah pergi
tersia-siakan waktu

ketika itu doaku siang dan malam harapkan mukjijat

bukan salahmu kata mereka
tapi hatiku terus bicara, ini salahku

tidak menjadi anak yang terbaik 
bagi ibuku,...


Rutinitas

terganggu aku dengan muatan-muatan rutinitasmu
sedangkan aku berproses kreativitas
lebih baik yang serba spontanitas

rutinitas menjerat erat
cekik leher laksana hewan

lemparkan sandal ke udara
lalu berlari dengan kaki telanjang di padang rumput
artinya kau bebas, lepas

artinya kau kembali jadi burung layang-layang di tapal batas cakrawala

rutinitas, akh,...
kok masih banyak yang suka?




Pada Adzan Subuh

pada adzan subuh manusia berseru,

Tuhanku selamatkan aku satu kali lagi
pada hari ini saja dari segenap dosa
dan jika sekiranya aku selamat
esok pagi aku akan berdoa lagi
agar Kauselamatkan aku pada hari berikutnya

lalu terus demikian 
hingga akhir jaman
tentu jamanku, karena jamanMu abadi

Allahu Akbar


The Omen

jelajah dan laku virtualku
tiba-tiba saja kunjung halaman,
angka berhenti pada 666
dan di pagi buta yang paling senyap
kutatap wajah hewan tergambar pada layar
bulu kudukku berdiri meremang


the omen,...
wujud nyata sekitar kita

Mungkinkah Asap Tanpa Api?

masih saja ada serombongan manusia naif
yang percaya adanya asap tanpa api
orang-orang yang buta tapi bersikeras menatap
tidak melihat namun mampu lukiskan indera
lalu tuduhan dilampiaskan
manusia diperbudak ganjaran
bisa baik benar bisa kaya miskin
mana yang sedang dipermainan dalam kotak takdir
fitnah katanya
akh, masa iya?


menampuk air terpercik muka sendiri
menipu takdir hanya dilakukan yang tak berzikir
fitnah pada wajah suci terpantul bening
fitnah pada kemunafikan jadi topeng wajah dewa
ney,...tiada asap tanpa api
yang menabur akan tuai semaiannya
jangan gegabah membela si jahat
artinya kita bersekongkol pada setan

mau?

Nostalgia

hari, bulan, tahun dan itu yang lalu
mundur, mundur dan mundur kebelakang
awas jatuh pada impian
awas tersandung pada kenangan
dia yang telah pergi, dia yang sudah mati

hari, bulan, tahun dan itu yang lalu
mundur, mundur dan mundur kebelakang
tercekat rongga mengingat dia, keberadaannya
mengalami peristiwa, suka dan dukanya
mundur, mundur dan mundur kebelakang
awas, artinya bisa jadi masa depan tinggal sejengkal

taubat,...mungkin kelak kau adalah juga kenangan



Langut Sepi

kadangkala aku hanya ingin sendiri dan diam dalam sunyi
sehingga sang Khalik menjadi satu-satunya suara yang kudengar

terlalu bising diluar sana dan terlalu banyak suara-suara
kesemuanya berlomba mengaku sebagai kebenaran

dalam diam aku cukup tersenyum sahaja
aneh, orang begitu mencintai suara-suara 

masing-masing berusaha jadi Tuhan dan ungguliNya
ngeri aku pada mereka,... kamu?





masihkah ingin bersuara?

Cinta Telah Mati

Seperti apa rasanya cinta yang telah mati? Katanya seseorang yang masih memiliki emosi atau memiliki kebencian, artinya masih memiliki rasa. Namun orang yang sungguh-sungguh sudah tak perduli, tidak akan merasakan apapun juga. Entah itu benci, entah itu sekedar baik berbasa-basi. Akan sangat sulit bagi seseorang seperti saya untuk berpolitik atau dipaksa masuk dalam dunia politik. Bagaimana mungkin jika saya serupa buku yang terbuka lebar? Benci katakan benci dan cinta katakan cinta, menurut saya.

Dalam jejaring sosial media ada beberapa kawan yang sudah lama berselang, sama sekali tak bertegur sapa dengan saya. Jika ia bukan kawan dekat tak mengapa, namun jika dulunya ia adalah sahabat mengapa sekarang menjadi musuh? Bukan musuh sebenarnya, hanya saja dunianya dan dunia saya sudah terpisah jauh. Tidak ada lagi jembatan atau jangkauan yang masih memampukan kami saling berdekatan. Ada satu - dua peristiwa yang saya rasa masih mampu saya tolelir. Namun jika seiring waktu bergulir terlalu banyak kecewa yang saya alami, lalu saya berhenti dalam sapa. Saya tidak ingin kejam apalagi mendiamkan kawan sendiri. Namun sungguh sulit ketika mencari satu alasan saja untuk bercakap kembali, tidak ada!

Saya cepat hafal dan bosan dengan segala perwatakan orang-orang yang mudah ditebak. Yang hanya ingin mencari, menggali, menghisap madu lalu membuangnya setelah tak dibutuhkan. Cinta yang telah mati, membuat orang tidak tahu lagi harus bagaimana menjalin komunikasi. Sedangkan mencari kesamaan topik percakapan saja sudah tak ada, lalu apa lagi yang harus dipaksakan? Ini bicara tentang komunikasi antar teman. Lalu bagaimana jika komunikasi dengan kekasih, suami, orang-tua, anak dan saudara? Jika cinta telah mati diantara mereka? Bagaimana jika belum membuka mulut saja, sudah tidak ingin tahu apapun perkataannya?

Bagaimana menumbuhkan cinta yang telah mati? Tentu saja dengan berpindah ladang mencari kawan baru, mencari sahabat baru dan mungkin mencari kekasih baru? Terdengar sebagai tindakan yang frontal dan langsung melepaskan diri dari masa lalu. Tetapi tidak salah juga, jika mengikatkan diri justru hanya akan menyakitkan salah satu atau kedua belah pihak. Tentu saja harus terus ditelaah dari masalah logika, alasan dan nurani. Jika semuanya sudah menolak untuk menumbuhkan cinta yang telah mati, apa boleh buat. Mungkin kita harus pindah ke lain hati? Kejam. Tapi dalam beberapa kasus hal semacam ini harus dilakukan tidak bisa tidak. Seseorang tidak dapat terus 'berkubang' dalam permasalahan yang sama.

Maka bagi seseorang hendaknya berhati-hati dalam bertingkah - laku hingga cinta yang ada di sekeliling Anda tidak meranggas lalu mati. Mengenai perilaku orang lain, itu tanggung jawab mereka untuk merubahnya. Tetapi mengenai perilaku diri sendiri, itu tanggung jawab kita untuk mengendalikannya. Tidak mungkin seseorang akan terus menerus bersabar untuk hal yang menghalangi mereka merasa bahagia. Dalam kewarasan pikir, tidak mungkin seseorang tidak ingin perubahan kearah yang lebih baik. Orang akan bosan diperlakukan dengan semana-mena, baik dengan perkataan apalagi dengan perbuatan. Saya lalu terkenang doa tobat yang kerap diucapkan dalam gereja Katholik. Confiteor dalam bahasa latin yang artinya adalah 'SAYA MENGAKU', "Kepada Allah yang maha kuasa dan kepada saudara sekalian. Bahwa saya telah berdosa. Dengan pikiran dan perkataan. Dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya sungguh berdosa,.."


Confiteor Deo omnipotenti,
beatæ Mariæ semper Virgini,
beato Michæli Archangelo,
beato Ioanni Baptistæ,
sanctis Apostolis Petro et Paulo,
omnibus Sanctis, et vobis, fratres (et tibi pater),
quia peccavi
nimis cogitatione, verbo et opere:
mea culpa,
mea culpa,
mea maxima culpa.
Ideo precor beatam Mariam
semper Virginem,
beatum Michælem Archangelum,
beatum Ioannem Baptistam,
sanctos Apostolos Petrum et Paulum,
omnes Sanctos, et vos, fratres (et te, pater),
orare pro me ad Dominum Deum nostrum.
Amen.

Tuesday, July 15, 2014

Kemarahan Pada Seorang Gadis

Membuka-buka halaman blog orang lain, lalu saya menemukan blog seorang gadis yang muda - belia. Jauh usianya dibawah saya. Pernah sekali saya berjumpa dengannya. Kala itu ia duduk manis dimuka mimbar, menjadi penulis pembicara yang terkemuka. Kagum saya terhadapnya, ia masih muda dan sudah meraih prestasi yang tiada tara. Dua kali menjadi juara dalam satu ajang terkemuka. Melibas yang lainnya, tanpa memberi kesempatan siapapun juga. Saya pikir gadis ini memang cukup punya gaya dan nuansa dalam merangkai kata. Lalu tanpa sengaja saya menemukan blog-nya. 

Tiba-tiba saja ada sebuah kemarahan menyeruak dalam diri saya. Ini adalah kesempatan saya yang dicuri oleh orang lain, oleh gadis yang masih muda-belia. Ini adalah ambisi dalam hidup saya yang ditarik oleh magnetnya. Semua hal menjadi berantakan dan saya marah tanpa alasan. Saya marah untuk tahun - tahun yang saya habiskan di masa lalu. Untuk bangku sekolah yang ilmunya tak secuilpun masuk dalam perasa. Untuk pekerjaan yang menguntungkan entah bagi siapa. Saya mendadak menjadi marah karena gadis ini punya segala yang saya inginkan. Benarkah?

Lalu saya disadarkankan lagi. Bahwa semasa bersekolah, saya berusaha berbakti kepada ibu saya. Menyelesaikan sekolah yang adalah keinginannya. Meraih nilai-nilai baik yang adalah kebanggaannya. Menjadi sarjana sesuai apa yang ia damba. Saya seperti wayang tanpa tali yang berjalan sendiri di titian kehidupan. Tapi tak mengapa demi ibu. Lalu episode selanjutnya dalam kehidupan tiba, menikah dan membina rumah-tangga. Saya lalu sibuk bekerja mencari nafkah, melahirkan dan membesarkan seorang anak. Membantu suami dan berjibaku dalam mengais rejeki. Tiba-tiba saja sebuah episode kehidupan berlalu, saya kian tertinggal jauh. Cemburu, dan bukan tentang lelaki!

Membuka blog gadis itu saya seolah merasakan kemarahan pada dirinya. Kemarahan yang bukan adalah kesalahannya. Kemarahan yang adalah takdir saya, mengapa belum sempat menuliskan apa-apa. Terlebih belum menjadi siapa-siapa. Hanya gemerisik suara angin yang bergesekan dengan padang ilalang. Itu adalah saya. Sendiri dibelakang dalam buaian malam kelam. Saya merasakan kemarahan yang menggunung pada gadis yang tidak bersalah. Pada perempuan yang mungkin tidak perlu berbakti pada ibunya seperti saya. Pada perempuan yang belum berumah-tangga dan mampu memfokuskan dirinya pada cita-cita. Ia sudah menjadi matahari dan saya masih serupa angin malam.

Saya merasa sangat jauh tertinggal dengan prestasinya. Semua lomba yang ingin saya ikuti dibatasi oleh usia. Seolah usia sekian itu 'jompo' adanya dan tak boleh berbuat apa-apa. Lalu dilarang bergerak menuliskan apapun yang disuka. Tidak suka batasan-batasan usia. Mengapa harus yua ataupun muda? Banyak orang-tua yang hanya menambahkan uban dikepalanya dan tak mengubah sikap-sikapnya. Banyak anak muda yang lebih dewasa dari beberapa orang yang seharusnya disebut tetua. Saya? Ingin selalu young at hearts! Makanya tak percaya ketika cita-cita dan hasrat saya dicuri gadis lainnya. Sungguh belia.

Kemarahan saya pada seorang gadis. Sesungguhnya bukanlah kemarahan pada individu, tetapi terlebih pada diri sendiri. Betapa saya dikalahkan oleh waktu dan masa lalu. Pernah ada masanya, yang saya tak tahu harus kemana atau berbuat apa. Ketika saya dikerangkeng dalam jeruji impian lain dan bukannya mimpi saya sendiri. Saya marah dan iri kepada gadis ini yang tanpa beban apapun juga, seperti menyenangkan ibu dan berumah tangga. Dia yang meraih semua yang diinginkannya. Apakah sekarang sudah terlambat? Saya menolak untuk mengatakan terlambat! Tidak ada kata terlambat bagi saya (dan ANDA), yang ada harus terus melangkah dan maju kedepan. Memperjuangkan hal terakhir yang dicita-citakan. Menulis dan terus menulis hingga yang terbaik,..

Teawalk Gunung Mas

Mendekatkan diri pada alam adalah hasrat pribadi saya pada akhir-akhir ini. Terkadang jenuh sekali merasakan rutinitas, melihat pola perilaku manusia dan hidup dikepung hutan beton. Rasanya sangat rindu melihat cerahnya langit dan hijau hutan, keinginan ini seolah menjadi suatu kehausan yang harus terpenuhi. Pada 12 Juli 2014, saya bersama dengan seorang kawan mengikuti acara teawalk ke kebun teh Gunung Mas, kawasan Puncak - Bogor.

Entah tahun berapa saya terakhir kali pergi ke Gunung Mas. Jika ke kawasan Puncak seringkali melewati tempat ini, namun jarang sekali mampir. Terakhir ke kawasan ini rasanya adalah acara piknik kantor, yang memorinya sama sekali telah lenyap menguap. Mungkin tahun 2004 atau 2005? Kami bersiap di bis sejak subuh, jam lima liwat. Sayangnya bis baru berjalan setelah jam enam. Jalanan menuju puncak relatif sepi. Mungkin dikarenakan bulan ramadhan, lalu-lintas cukup lancar. 

Sekitar pukul sembilan tiba di lokasi dan mulai berkenalan dengan kawan-kawan sekelompok yang kebetulan berasal dari gereja. Kami semua diminta membantuk group dan berjalan bersama - sama dalam rombongan. Acara menyenangkan dan orang-orang saling memperhatikan. Mungkin dikarenakan anggota kelompok banyak yang berusia lanjut. Orang - orang tua justru sangat bersemangat dalam acara ini. Saya juga cukup menikmati acara teawalk, yang medannya relatif 'ramah' dibandingkan medan ketika melakukan perjalanan ke Baduy Dalam tempo hati.

Kami berjalan menyusuri kebun teh untuk jarak sepanjang 1,5 Km, melewati perkampungan dan desa-desa. Wilayah wisata di Gunung Mas sayangnya terlihat sangat kuno, tidak ada peremajaan bangunan dan taman. Suasana tahun 70-an atau mungkin 80-an masih terasa di area tersebut. Baik dari bentuk taman bermain umum, cottages yang disediakan untuk menginap, maupun warung/ toilet yang merupakan swadaya diselenggarakan oleh penduduk setempat. Penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan adalah juga pegawai kebun teh. Sehingga mereka diperbolehkan membangun rumah-rumah sederhana untuk usaha dagang dan menyewakan toilet umum.

Perjalanan kebun teh terasa sangat cepat, dalam waktu singkat kami sudah kembali ditempat semula. Namun pemandangan di kanan kiri sangat menarik karena gunung-gunung nampak di kejauhan, para petani teh sibuk menyemprot tanaman dan beberapa wanita pemetik teh juga berkumpul untuk memetik teh. Jadi teringat lagu lama Nugie, Pembuat Teh. Bagi saya acaranya sedikit tergesa dan karena memang diorganisir oleh panitia dari gereja, saya tidak dapat berhenti lama untuk menikmati alam. 

Menurut kawan saya, kami beruntung mengunjungi kebuh teh Gunung Mas kala ramadhan, sehingga suasana tidak terlalu ramai. Di hari biasa kami akan kesulitan untuk mengadakan acara semacam itu karena pengunjung biasanya membludak, alias sangat banyak. Saya sedikit egois jika berpikir tentang alam. Jika terlalu banyak orang, apa bedanya suasana di gunung dengan suasana di pasar? Tentunya akan lebih menyenangkan menikmati alam jika suasana tidak terlalu padat.

Setelah kembali ke lokasi, kami lalu melanjutkan acara. Karena acara ini diorganisir oleh gereja dan dimaksudkan sebagai acara keluarga maka kami banyak melakukan permainan. Saya yang sejatinya kurang tertarik dalam acara permainan semacam itu terpaksa mengikuti. Bagaimanapun juga panitialah yang memiliki hajat melakukan permainan. Masakan saya membelot sendiri? He-he,...

Acara teawalk ini seru namun kurang berkesan bagi saya. Karena porsi untuk jalan di kebun teh-nya sangat singkat. Lebih banyak porsi kumpul-kumpul dan bermain dengan anggota keluarga. Sedangkan saya hanya datang dengan seorang kawan. But, hey...kesempatan mendekat pada alam akan selalu saya manfaatkan. Pssst, ..lagian modal lima puluh ribu rupiah saja! Asyik kan? Kapan lagi kalau tidak mulai dari sekarang mendekat pada alam?