Tuesday, July 1, 2014

Perjalanan Baduy Dalam II

Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju kediaman suku Baduy. Jujur saya makin meragukan apakah saya akan menyukai perjalanan ini? Pasalnya kian mendekati tempat yang dituju, makin banyak pembahasan yang sepertinya mengarah pada kesalahan. Pemukiman ini bukan tempat yang tepat bagi saya menjelajah. Namun telanjur basah, mandi sekalian. Sudah menjadi peserta dalam acara ini dan berada dalam kelompok tentunya kepalang tanggung. Saya tak dapat pulang atau minta diturunkan di tengah jalan. Bagi saya pribadi perjalanan ini menjadi spiritual bukan karena saya mengharapkan doa atau sesuatu dari Puun (pemuka adat suku Baduy) namun karena saya menjadi lebih mahir mengatur emosi dihadapkan pada perjalanan penuh tantangan. Ada kesadaran bawah yang mengatakan kepada saya, "Jika engkau bisa melewati hal yang terburuk. Hal yang terbaik akan menjadi kebahagiaan yang tak berkesudahan." Apalagi ini bukan hal buruk sebenarnya. Ini hanyalah perjalanan wisata/ adventure yang sifatnya sama sekali tak ada sentuhan modernisasi. Sungguh-sungguh kembali ke alam! Back to nature. Nah, apakah masyarakat kota yang modern seperti saya sanggup melaksanakannya?

Jalan memasuki kampung Baduy ada dua. Yaitu melalui Ciboleger, bertemu dengan kampung Baduy luar lalu jalan kaki hingga tiba di perkampungan Baduy dalam. Lamanya perjalanan 5-7 jam. Tergantung kecepatan dan kekuatan masing-masing orang. Gila! Ya, gila. Bagi yang jarang trekking, lintas alam dan sebagainya, sebaiknya memang tidak usah mengikuti adventure ini. Kelompok kami memutuskan untuk masuk ke perkampungan Baduy dari arah yang berbeda yaitu dari desa Cikeusik. Dari desa ini menuju desa Cibeo Baduy dalam yang kami tuju, lamanya hanya 1-3 jam. Lagi - lagi tergantung stamina, kecepatan dan kekuatan peserta. Wow, sama - sama pilihan yang membuat gempor. Disayangkan tidak ada pemberitahuan mengenai persiapan kekuatan fisik. Bisa dipahami, jika belum apa-apa diberitahukan. Bisa jadi sudah tidak ada orang yang berminat pergi kesana. Jika bukan pencinta alam sejati yang terbiasa naik gunung dan menembus hutan. Perjalanan masuk desa Cikeusik juga tidak main-main. Medan yang ditempuh kendaraan sangatlah menantang. Bagaimana tidak, jalanan menuju kesitu belum diaspal. Semuanya hanya berupa batu-batu cadas kasar yang di pecah dan ditanam di jalanan membentuk setapak. Nah, ini misteri mengapa 'Hujan' menjadi problem besar dalam perjalanan menuju Baduy. Jalanan licin, landai dan berbahaya!

Benar, jalanan menuju desa Cikeusik menjadi uji nyali bagi para pengendara mobil. Medannya naik-turun dan berliku. Ketika hujan lumpur disela bebatuan setapak muncul liat, licin dan kecoklatan menambah garangnya medan jalan berkendara di Cikeusik. Jujur saya sempat berpikir ingin turun dari kendaraan dan berjalan kaki saja. Wait! Kenapa saya tidak boleh jalan kaki? Ternyata masuk menuju ke dalam perbatasan desa juga cukup jauh! Jalan kaki otomatis akan sangat menguras tenaga dan konyol untuk dilakukan sendirian. Mobil kami sempat menghantam batu, ditengarai shockbecker mungkin membuat body mobil terpental terlalu dalam, saking buruknya jalan itu. Naik Jeep menjadi pilihan terbaik melalui jalan ini. Sedan is no-no-no,...Dalam hati saya berdoa agar kelima kendaraan selamat, tidak ada yang slip dan tergelincir. Saya tidak mengerti, mengapa di pedesaan Jawa Barat yang berada di pulau Jawa masih ada jalanan setapak yang begitu tak tersentuh modernisasi? Inilah misteri Indonesia. Berjarak tiga jam dari Jakarta, masih ada saja tempat yang sungguh-sungguh 'ndeso.'

Akhirnya kami tiba di perbatasan desa dan siap menuju Baduy dalam. Wow, awalnya saya terpesona. Ada sekitar 20-30 orang penduduk Baduy menanti kami di tempat itu. Mereka semua mengenakan ikat kepala putih, busana tradisional Baduy, tua-muda dan... semuanya laki-laki. Tidak ada penduduk wanita yang menyambut kedatangan kami. Saya merasa bingung dan aneh. Mengapa sebanyak itu orang yang datang menjemput? Seharusnya 5-6 orang saja cukup untuk menjemput rombongan kami. Olala, rupanya banyak dari remaja dan anak-anak yang suka menyambut pengunjung. Para anak kecil bahkan berkilah ingin melihat mobil. Suku Baduy menerima pengunjung sebagai bagian dari ajang promosi wisata desa mereka. Yang membuat saya tak habis pikir, banyaknya interaksi dengan 'orang luar' tidak mudah membuat orang Baduy berpaling dan meninggalkan pola-pola tradisi lama yang mereka anut. Mereka tidak menggunakan listrik, tidak menggunakan sandal, baju hanya dua-tiga potong yang dimiliki, jelas tidak menggunakan TV dan HP, kulkas dst. Tidak punya kamar mandi. Tidak bersekolah dan mata pencaharian dari sawah serta ladang saja, serta membuat beberapa kerajinan. Ini artinya tidak ada yang bekerja menjadi tukang ledeng, servis, bangunan dst. Tidak ada keahlian lain. Aneh, tapi nyata. Masih ada masyarakat semacam ini diantara kita. Tapi saya yakin ada nilai positif dari culture unik bentuk kemasyarakatan semacam ini, yang diturunkan sejak jaman nenek moyang. Apa itu? Nanti saya bahas,..

Perjalanan berlanjut dengan jalan kaki menuju desa Cibeo, Baduy.

2 comments:

  1. Wow, puluhan orang baduy yang menyambut? Hehehe.... yg berpaling dan memilih mjd baduy luar ada juga sih win... aku mau coba ah dr cikeusik, kapok jalan kaki dr ciboleger....

    ReplyDelete
  2. iya cikeusik lebih deket tapi medannya juga gitu naik turun landaaaai...kudu sepatu gunung yg daya cengkramnya 'panther' bwahaha... mck yg gue bingung disitu haha..

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.