Tuesday, July 1, 2014

Perjalanan Baduy Dalam IV

Tiba di desa Cibeo, Baduy dalam sedikit membingungkan bagi saya. Dikarenakan berharap sunyi senyap, nyatanya menurut pengamatan tanggal 21 Juni malam tamu yang menginap di Baduy mencapai sekitar 300 orang termasuk kami! Ini artinya ada sekitar 270 orang lain yang entah mahasiswa, pengelana alam atau sekedar tour turut serta meramaikan acara tinggal di desa. Setelah pembagian kelompok, saya dan kawan - kawan membawa barang - barang kami ke rumah Pak Sardim, dimana saya bertemu dengan Ambu Sani dan mengagumi kecantikannya yang eksotis. Menurut pengamatan saya, para wanita Baduy tidak pernah keluar kampung. Bahkan yang nampak hanya wanita yang sudah menikah dan anak - anak lelaki kecil. Jika ditanya para pria Baduy mengatakan bahwa anak-anak perempuan dan anak gadis remaja mereka ada di ladang. Kami menduga, jika ada banyak tamu maka gadis-gadis dan anak perempuan disembunyikan entah menetap dimana. Pria Baduy menikah pada usia 20 tahunan dan pada gadis menikah pada usia 17 tahun. Rasanya tidak ada proses pacaran hanya perjodohan saja dan lamaran antar keluarga.

Rumah Baduy sederhana sekali, hanya satu rumah yang besar dengan satu ruangan dapur. Tidak ada sekat, jadi tamu atau siapapun juga tinggal di ruang depan tanpa sekat kamar. Kami tidur dilantai beralaskan anyaman bambu. Yup, keras! Setibanya di tempat penginapan kami duduk - duduk dan mengobrol serta berkenalan dengan tetua desa yang cukup memiliki peranan sebagai wakil tetua atau wakil Jero, panggilannya Ayah Mursid, karena anaknya bernama Mursid. Namun nama asli pria ini adalah Bapak Alim. Malam hari akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pancuran, menggosok gigi dan membersihkan diri. Tidak ada kamar mandi, yang ada hanyalah pancuran umum dengan dinding anyaman bambu secukupnya. Bak yang digunakan berupa lesung guna menampung air gunung yang terus mengalir tumpah. Iya, aliran air gunung yang bersih dan terus mengalir ini rasanya enak serta sejuk sekali untuk membasuh muka. Air semacam ini terasa segar hingga ke relung sukma, berbeda dengan air perkotaan yang acapkali tersaring kaporit. Jalan menuju ke pancuran dari rumah Pak Sardim rupanya juga cukup jauh, banyak batu, berlumut dan licin. Liwat jembatan bambu pula dan tempatnya gelap gulita. Cocok untuk uji nyali. Untung ada senter. Seperti 'sub' trekking dari perjalanan sebelumnya. Ha-ha!.. Pula kami merambat dalam gelap. Karena keringat yang menempel akibat perjalanan trekking yang jauh rasanya lengket jika tidak membasuh diri, setidaknya wajah. Malam itu saya sulit tidur dan membalikkan badan ke kanan dan ke kiri. Punggung terasa keras dan setiap kali ada tamu masuk ke rumah kami mendengar langkahnya di lantai yang berupa bambu tempat alas kami tidur. Penerangan rumah suram dengan lampu minyak, senthir. Ternyata begini rasanya tinggal didesa. 

Keesokan paginya saya mendengar suara ramai. Rupanya pengunjung yang datang dari semalam masih beredar di perumahan desa. Banyak orang berjalan-jalan, hilur mudik didepan penginapan kami. Seorang gadis menggunakan tank-top u can see, yang mengundang pandangan semua pemuda baik dari desa maupun kota. Mungkin ekspresi kebebasan diri yang tidak ingin dibatasi. He-he! Pokoknya saya malas keluar rumah karena desa jadi terasa kota dengan banyaknya pengunjung. Beruntung sekitar pukul sembilan dan sepuluh pagi orang-orang lainnya sudah meninggalkan desa. Kemungkinan mereka harus berjalan balik dari desa Cibeo menuju ke Ciboleger. Ini artinya 7 jam jalan kaki kembali ke tempat semua. Jadi hanya bolak - balik jalan  selama 14 jam untuk menginap semalam di desa. Kami sedikit berbeda, karena rencananya akan menginap dua malam. Sayangnya niat ini gagal, karena tetua desa mengatakan bahwa rombongan kami cukup besar yaitu 27 orang, terlalu menyolok jika menginap lebih dari semalam. Lagi pula kami semua sudah menghadap Puun dan minta doa pada pagi itu sehingga diartikan harus segera pulang karena telah berpamitan pada Puun. Tunggu dulu, Puun ini siapa?

Puun adalah pemimpin adat tertinggi di desa. Saya tidak tahu bahwa ritual bertemu Puun pun tidak sembarangan. Alias tidak mudah ketemu Puun, harus ada permintaan khusus dan niat khusus untuk menjumpainya. Sebagian teman mengatakan bahwa banyak yang meminta doa pada Puun lalu terkabul. Kebanyakan mengaku minta doa bagi teman dan sanak kerabat, jarang yang meminta doa bagi kepentingan sendiri. Ada pula teman yang mengaku meminta doa bagi kemajuan bisnisnya dan kesembuhan penyakit. Saya menghormati niat dan kebahagiaan yang dirasakan oleh kawan - kawan untuk berjumpa Puun. Namun karena niat saya lebih kepada wisata budaya akhirnya saya sedikit bingung dengan niatan kawan - kawan lain yang 'make a wish.' Alias meminta bantuan doa. Akhirnya saya turut serta dalam rombongan menghadap Puun namun tidak mengatakan apapun juga. Hanya menyebutkan nama dan tempat tinggal saya. Sementara dalam hati tidak minta apa-apa, hanya berdoa sendiri agar selalu sehat dan bahagia. Menurut saya doa sifatnya universal dan selalu baik, jika saya tidak memaksakan sesuatu maka saya juga tidak dapat dipaksa untuk larut pada sesuatu yang kurang saya pahami. Perjumpaan dengan Puun memang diliputi suasana magis, rumahnya gelap, orang - orang duduk berjajar, bersimpuh berurutan. Puun duduk didepan sebuah anglo berasap. Wajahnya tak nampak jelas karena ruangan yang gelap. Ada yang meminta doa khusus, ada pula yang hanya berdoa umum dan diam saja seperti saya. Saya percaya doa Puun baik, hanya saja saya tidak minta apa-apa dari beliau. Hanya mengikut arus kawan-kawan lainnya, mencari kebaikan dan kembali ke alam.

Desa akhirnya lengang karena pengunjung lain sudah menghilang. Disitu saya dan kawan - kawan mulai lebih mengeksplorasi desa. Mandi di pancuran dan berusaha melakukan aktivitas 'harian' di sungai. Nyatanya saya tidak bisa. Aneh! Artinya saya sungguh-sungguh manusia kota yang sudah sangat mengental untuk kembali ke kehidupan desa? Mungkin begitu? Pokoknya saya menikmati hidangan-hidangan makanan yang disajikan di desa namun sulit untuk melakukan kegiatan MCK sesuai budaya desa. Hidangan juga serba sederhana namun saya yakin bersih dan tidak tercemar bahan kimia apapun juga. Ibu Haslinda membawa beberapa lauk tambahan dari kota, sekedar untuk menambah variasi makanan kami. Makanan penduduk Baduy memang sangat sederhana. Ada sedikit tanya di hati, apakah mereka pernah merasakan makanan lain seperti Pizza? Pendek kata hidup di Baduy menjadi sebuah cermin refleksi untuk saya pribadi. Betapa banyaknya kenikmatan hidup yang sudah saya alami, namun diatas itu seringkali saya masih merasa kurang. Ingin terus merasakan hal yang lebih enak, lebih indah, lebih menarik dan tidak biasa. Manusia menjadi tamak, tidak pernah puas. Kehidupan di Baduy sebaliknya, culture yang terpelihara secara sederhana menjinakkan manusia untuk berpasrah dan terus bersyukur seadanya dengan apa yang disediakan Tuhan sepenuhnya melalui alam. Ini makanya mereka menolak modernisasi. Ini yang saya sebut sisi positif kultur Baduy. Apakah ada sisi negatifnya? Bagi penduduk kota seperti Anda dan saya mungkin sisi negatifnya adalah sebuah tanya, "Manusia sudah ada yang sampai di bulan, mengapa ada suku terasing yang masih hidup seperti ini?"... Tapi bagi suku Baduy, ini pun cukup! Karena mereka mencukupkan diri dengan amanah Tuhan untuk hidup sederhana dan menyatu dengan alam. Hormati pilihan Baduy. Seperti Baduy pun punya kekuatan lebih, mereka mampu bertahan dengan memilih untuk tidak hidup modern. Anda dan saya belum tentu bisa seperti mereka!

Siang hari tibalah pengumuman itu. Bahwa kami tidak bisa menginap dua malam di Baduy dalam. Hmmm,... ada sisi baiknya bagi saya. Karena saya tidak bisa tidur beralaskan bambu, so.. ? Rupanya kami akan melanjutkan perjalanan ke Ciboleger dan menginap di sana. Dekat dengan Baduy luar,... Tunggu kisah selanjutnya!

2 comments:

  1. Bbrp orang baduy dalam yg aku kenal waktu berkunjung datang ke rumah lho win. Tanpa alamat dan gps. Base on perbincangan selama perjalanan waktu itu aja. Selama bukan pantangan, mrk boleh makan yg kita makan. Mrk juga ada yg berkunjung ke apartemen kelapa gading dan makan di food court. Btw, aku jg gak bisa tdr waktu itu, kedinginan dr angin yg menelusup di antara celah bambu. Gak mau mandi juga, cuma cuci2 krn kaki penuh lumpur soalnya kami trekking sepanjang jalan gerimis. Sdh biasa nyaman sbg manusia modern xixixi

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya sama mbakku,..temen yg jadi guide itu...malah diajak nginep hotel para penduduk baduy relasi-nya, waktu itu beliau mantu hehehe..

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.