Monday, August 10, 2015

Resensi Buku : 9 Summers 10 Autumns

Tadinya saya masih kepengen curhat masalah 'les piano.' Tapi pagi ini saya baru menyelesaikan membaca bukunya IWAN SETYAWAN berjudul "9 Summers 10 Autumns" Dari Kota Apel ke The Big Apple. Entah kenapa saya selalu salah sebut Iwan Setyawan dengan Iwan Simatupang. Mungkin karena Iwan Simatupang adalah nama penulis yang lebih saya ingat. Bu, Iwan Simatupang sudah wafat sebelum Iwan Setyawan lahir. Jadi beda banget kali Bu?.. Ya whatever deh ya. Saya nggak konek aja kali dengan alam dunia baca dan penulisan (excuse lagiii....). Padahal semasa remaja dulu, semua buku saya 'lahap' dari Lucky Luke sampe Kisah Mahabarata. Sekarang? Maap dong, saya kan emak-emak. Waktunya itu lho, cuyMana sempaaaaat! Setelah anak beranjak remaja dan saya tidak berkantor lagi. Waktu saya lebih banyak. Yuk, kita baca lagi!

Sebenarnya baca buku ini nggak sengaja. Yang beli buku ini adalah putri saya. Alasannya 'tugas sekolah' dan diminta oleh guru untuk membeli dan membaca bukunya. Lalu mungkin berdiskusi dan mengupas masalah buku ini. Awalnya saya kesal, wah modus! Jangan-jangan dibisniskan nih! Curiga lagi....cape deh. Saya udah beberapa kali melihat buku ini terpajang di Gramedia. Tapi tidak berminat beli dengan alasan : covernya boring. Ya, ampun Tante... Gayanya masih abege labil sekali. Baca buku juga maunya yang cover cantik dengan lukisan atau gambar indah berbunga-bunga. Ya pokoknya gitu deh! Saya mikir ini kali semacam buku motivator bertetek-bengek dengan ancaman 'Anda harus sukses!' Seolah kalau dimaki demikian seseorang pasti langsung sukses. Which is jenis buku yang sering saya baca di masa awal saya bekerja dan kayaknya completely wrong. Yang namanya nasib ya nggak bisa didesain oleh manusia. Saya nggak suka! Dan nggak percaya pada buku-buku yang terlalu memotivasi. Atau mungkin saya udah es te we dan capek di perintah-perintah (bahkan oleh buku) saya nggak tahu juga.

Buku ini akhirnya 'menganggur' setelah tugas sekolah putri saya selesai. Ketika sedang bepergian mengantar suami, saya harus menunggu cukup lama di sebuah kantin yang sepi. Maka buku ini akhirnya saya keluarkan sebagai senjata andalan membunuh sepi dan kejenuhan. Masih dengan rasa enggan. Saya berdoa, semoga cara nulisnya enak dan nggak terlalu membosankan. Mungkin Tuhan mendengar doa saya. Mungkin karena Iwan dan saya kurang lebih sebaya, buku ini ternyata 'klik' banget bagi saya. I like it! Buku ini berkisah tentang kehidupan pribadi si penulis dan dinovelkan. Ditulis dengan gaya penulisan sastra yang ringan. Sastra ringan itu menurut saya, hal yang ditulis masih saya pahami. Sastra berat yang gimana Bu? Sastra berat itu mungkin nulis 'Batu hitam dan bekukan asa. Segelap malam tak berkarat.' Lalu artinya?....Nggak tahu! hi-hi-hi..

Bahasa Iwan mengalir lancar. Mudah dimengerti, yet tetap ada sentuhan-sentuhan luar negerinya. Karena memang beliau tinggal di New York selama sepuluh tahun. Ada gaya penceritaan yang nyastra, seperti percakapan Iwan dengan dirinya sendiri semasa kecil. Bagaimana ia begitu menyayangi dirinya sendiri ketika masih bocah. Dapat saya mengerti karena despite of hancur berantakan oleh keadaan keluarganya yang miskin dan bapaknya yang supir angkot serta ibunya yang mengurus lima anak, Iwan kecil 'mencicil keberanian dan masa depan' hingga akhirnya ia bisa sukses sebagai direktur pengolahan data statistik di kota New York. 

Cara Iwan menceritakan masa kecilnya indah dan mulia. Bagaimana kemiskinan dan keterbatasan dana tidak menjadi alasan orang untuk terus miskin dan terbelakang. Ada kekuatan jalinan orang-tua dan persaudaraan dengan para mbakyu dan adik-adiknya. Beban bertambah karena Iwan adalah satu-satunya anak lelaki dengan dua kakak dan dua adik perempuan. Ia merasa ia harus tangguh, kuat dan mampu menanggung beban kehidupan. Untuk membahagiakan orang-tua dan saudara-saudaranya. Kesadaran ini timbul karena ia sangat mencintai masa kecilnya di kota Batu Malang. Ada kesederhanaan yang selalu dirindukan dan ada sikap yang tertata dalam dirinya. Bahwa ketika kemewahan, kekayaan dan kesuksesan muncul, ia tidak dengan gampangnya mudah silau. Iwan selalu berpatokan pada masa kecilnya yang manis dan sederhana. Dia mengerti dan menikmati kemewahan tetapi dia tidak hanyut olehnya.

Setiap bab dalam buku ini sebenarnya lebih seperti 'garis besar' peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Tidak muncul dalam bentuk yang sangat detail lebih kepada gambaran tentang 'buah-buah kehidupan.' Bahwa hidup ini memang menyimpan kejutan-kejutannya sendiri. Iwan menerima semua kejutan kehidupan itu dengan damai. Tidak ada tuntutan dalam dirinya. Bahwa ia harus sukses. Ia harus kaya. Ia harus berduit. Tuntutan itu tidak ada. Dia hanya berpikir, "Saya harus bayar hutang pada ayah ibu. Saya harus bayar hutang pada Pak De (Lek Tukeri). Saya harus bayar hutang pada Mbakyu." Iwan cuma berpikir tentang kebaikan orang-orang terdekatnya dan merasa harus membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang sama besar. Kalau memungkinkan lebih besar dan lebih baik didalam membalas kebaikan mereka. Itu adalah hal yang diajarkan dalam buku ini. Iwan menggambarkan masa kecilnya yang tidak punya mainan apapun sehingga 'buku pelajaran' menjadi 'mainan'nya. Karena nggak punya apa-apa itu dia jadi hobby belajar, belajar dan belajar. Saya jadi tersadar. Pantas putri saya malas belajar dan susah disuruh apapun! Kerjanya maiiin terus : sepeda, nintendo DS, tab, komputer, Hape. Astagahhhh!

Tapi garis kehidupan as I said. can not be designed. Mau direncana gimanapun, Tuhan yang menentukan. Ketika saya mengatakan pada putri saya. "Ini bukunya bagus loh! Mom suka..." Dia menjawab acuh, "Baguslah kalau Mami suka." Mulailah saya acting ala emak-emak, "Makanya baca buku ini. Supaya kamu tahu bagaimana jalan menuju sukses itu tidak mudah. Bahkan banyak orang yang sengsara terlebih dahulu sebelum memperoleh kesuksesan!" Ia masih menjawab dingin dan acuh, "Lumayan sih bukunya." Olala, saya jadi sadar. Buku ini memotivasi orang/anak supaya rajin belajar dan tekun. Hal-hal monoton yang dibenci oleh putri saya, hi-hi..

Kisah kehidupan dalam buku ini sangat memotivasi (lho, akhirnya kok termotivasi sendiri Tan?), tetapi dengan cara yang lembut dan subtle (nyaris tak nampak). Ibaratnya kalau mau sukses ya harus tekun dan rajin belajar. Tapi memang tidak jaminan tekun dan rajin belajar pasti sukses, ada 'misteri' ketika kejutan kehidupan diberikan oleh Tuhan. Tidak ada yang bisa menduga, seperti jalan hidup Mas Iwan Setyawan. Satu hal yang saya bingungkan. Pada akhir cerita, penulis resign dari kantornya di New York dan kembali ke kota Batu, Malang. But why? Iwan relatif masih muda. Kenapa resign? Balik ke Batu dan ingin jadi pengusaha apel Malang gituh?....He-he-he...





2 comments:

  1. Saya juga baca buku ini. Waktu itu pertimbangannya hanya pasti ada "sesuatu" dari "Dari Kota Apel ke The Big Apple".. hehehe...

    kadang kalo ngeliat buku saya juga suka gitu Mbak, pertama liat buku, baru isinya.. :D Oh ya, tapi filmnya saya ndak nonton, kaya'nya lebih greget bukunya daripada filmnya.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku suka gaya nulisnya Iwan..ringan dan mengalir ..

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.