Saya memiliki seorang kawan yang saya idolakan dan hormati. Seorang senior. Segala hal tentang beliau boleh dikata adalah serba positif' - serba
berorientasi pada kebaikan. Beliau selalu berusaha agar tak berkata buruk
tentang orang lain ataupun membahas kejadian - kejadian buruk apapun juga.
Selalu mencoba melihat pada sisi terangnya, the
bright sight! Ujarnya.
Wah! Ini nih,... teman yang layak dijadikan panutan, suri tauladan dan
patokan dalam disiplin laku diri. Yah, disiplin dalam berucap dan bertingkah
laku. Bagaimana tidak salut? Jika seseorang berkisah tentang A yang malang, beliau
akan menjawab 'Akh,..kalau A sih orangnya tegar. Dia bakal kuat menjalani ini
semua... Sangguplah seorang seperti dia menjalani tragedi semacam itu!' Lalu
jika kita berkomentar tentang kejadian B yang agaknya mengecewakan, beliau spontan
menimpali, 'Kejadian B hanyalah bagian dari pelajaran kehidupan bagi kita.
Dengan menjalani ini saya yakin kita semua justru akan kian dewasa dan lebih
mumpuni.'
Begitu bijak, adem dan menentramkan hari. Semua indah dan
nikmat adanya dalam naungan seorang sahabat macam beliau. Lalu sepuluh tahun
berjalan, merambat lewati berbagai masa dan peristiwa yang membuat saya kian
berbeda. Dan kawan ini masih mendengungkan hal-hal yang sama. Masih memberi
nasihat yang sama, masih memberikan aura positif yang sama. Tapi ia masih pula
duduk di kursi singgasana yang sama, posisi sama, jabatan sama, pekerjaan sama. Memiliki teman - teman yang sama
dan suasana kehidupan yang kurang lebih sama pula. Terus-menerus sama, tidak ada perubahan.
Kelihatannya sih tidak ada yang salah! What is wrong in the picture? Saya! Saya yang mulai mempertanyakan
label idola terhadap beliau. Saya mulai terhenyak pada kenyataan yang terlihat
di kacamata minus saya. Rupanya lagu yang sama
selalu disetel berulang - ulang dalam irama yang berbeda-beda oleh beliau ini.
Kadang irama gambus, kadang irama seriosa di lain waktu irama dangdut. Tapi
kata-kata yang sama, nasihat yang sama, angin surga yang sama. Jujur, saya
mulai bosan! Kawan ini tampaknya memanipulasi kebaikan yang tidak membawa kebaikan. Bahkan kebaikannya tidak kemana-mana hanya jalan ditempat. Kebaikan yang hanya berguna bagi dirinya sendiri.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya berpikir tentang kawan
yang mulai terlihat laksana robot hidup ini. Menyetel lagu yang sama, dari tempat
yang sama. Hanya saja iramanya bervariasi tergantung siapa yang akan mendengar
dan topik apa yang sedang in!
Saya mulai traumatis pada kata-kata yang terlalu sering diucapkan. Jika ingin berlaku bijak belajarlah pada padi, jika ingin berlaku cerdik
bertanyalah pada kancil dan jika ingin selalu berlaku positif jangan lupa follow Pak Mario Teguh. He-he
Menjadi manusia yang baik, bijak dan positif sungguh merupakan
tujuan dalam mendewasakan diri. Namun jika semua itu
hanyalah sekedar atribut agar eksis, sekedar omong kosong agar diterima,
sekedar empati pura-pura agar dikagumi oleh orang lain, saya rasa itu adalah
kebohongan. Tong kosong dan kacang goreng yang dijual dalam bungkus menarik. Banyak orang gemar menipu diri mereka sendiri. Sedemikian hebat
mereka meyakini bahwa seperti itulah mereka (dan tidak bisa lebih baik lagi!).
Orang-orang ini menyangkal pantulan dirinya dalam cermin. Menyangkal kerut yang mulai berganyut dirambati waktu tanpa adanya perubahan berarti. Lalu menyambut masa depan sambil bersantai makan kacang goreng. Hmmmph!....
Saya sendiri baru saja berkaca. Aih, ada jelaga di pipi
saya! Jadi malu,.... Mengkritik orang lain boleh-boleh saja, namun yang pertama kritik diri sendiri terlebih dahulu.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.