Saya sering bertanya-tanya. Yang benar itu memaafkan atau
melupakan sih sejatinya? Miturut pendapat saya melupakan lebih mudah dan pengaruhnya pada sebuah hubungan lebih baik daripada sekedar memaafkan di bibir saja.
Kalau judulnya memaafkan. Lalu diucapkan dengan sungguh-sungguh dan memasang
raut muka terbaik serta menunjukkan ketulusan hati. Dapatkah kita percaya? Sebab
dalamnya samudra dapat diduga, dalam hati siapa tahu??
Inginnya jadi orang yang pemaaf. Berusaha banget,
sayangnya saya bukan jenis orang yang pelupa. Ingatan saya tajam dan kuat seperti gajah. Bahkan
kejadian masa kecil. Kejadian masa lalu. Kejadian menyenangkan atau kejadian
menyedihkan semuanya terekam dengan cukup baik. Namun harddisk saya lebih banyak menyimpan peristiwa
yang memalukan atau menyedihkan. Entah mengapa? Bukan saya yang berkehendak membuat setelan semacam itu. Tapi memang dari pabrikannya demikian. He-he.. Makanya berusaha keras jadi manusia pemaaf.
Jika peristiwa itu baik, indah dan menyenangkan saya
cenderung melupakan. Sensor diri akan berkata, "Kau sudah
melakukan hal yang benar, jadi segala sesuatu berjalan lancar dan baik adanya!
Tak ada yang perlu kau khawatirkan." Namun jika yang terjadi
adalah hal yang salah, memalukan atau menyedihkan, sensor dalam diri akan menimpali, "Awas, kau sudah pernah mengalami hal ini. Jangan sampai
berulang hingga kedua atau ketiga kalinya. Apakah kau tak kapok? Hanya keledai
yang akan terperosok pada lubang yang sama hingga dua kali!"
Ajaran semua agama mengajarkan kita untuk memaafkan. Itu
sudah pasti. Namun saya terus bertanya-tanya dalam hati. Setelah
memaafkan, apakah lalu kita tidak memperbaiki? Menurut saya, proses memaafkan haruslah disertai adanya perbaikan. Sebab jika tidak akan berulang lagi peristiwa
atau kejadian yang sama lalu berulang proses sakit hati yang sama, lalu
berulang proses memaafkan yang sama. Terus seperti itu bak lingkaran setan. Namun sesungguhnya tidak ada yang beranjak dari situasi yang sama.
Akhir - akhir ini saya coba beranjak dari tempat yang itu-itu
saja. Memaafkan sudah, memperbaiki sudah (dari pihak saya). Tapi jika dari pihak
yang lain mengaku lebih memaafkan dari saya, lebih merasa suci, lebih berbuat
baik daripada saya, sayangnya tidak meninggalkan sifat dan kebiasaan yang sama.
Sifat dan kebiasaan yang menimbulkan benturan atau konflik. Buat saya itu sih
sama saja, tak ada perubahan ke arah perbaikan. Berjalan di tempat yang sama.
Menjalankan hubungan yang sama diatas treadmill.
Menilik keadaan seperti ini saya lalu bersikap keras pada diri saya
sendiri. MOVE ON! Next! Next! Go to the next chapter in your life! Saya
berusaha memaafkan tapi saya juga berusaha menghindari lubang yang sama. Mengulangi siklus yang sama terus - menerus menjadi sangat membosankan, melelahkan dan sia-sia. Apalagi waktu di kehidupan ini terbatas. Karena bukan keledai, dan semoga dalam kehidupan selanjutnya saya tak ditakdirkan
menjadi seekor keledai, saya ingin mentas. Keluar dari situasi yang sama dan menjebak. Tanpa
mengurangi rasa hormat pada keledai,....
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.