Dari banyaknya hobby, salah satu yang mendominasi adalah membaca quote atau pepatah.
Ketika menemukan kata-kata atau kalimat yang menginspirasi dengan rakus saya akan membaca, menyerap, merenungkan dan bahkan menyimpan atau memajang kata-kata indah tersebut. Hobby yang sedikit aneh, tapi apa boleh buat memang menjadi kegemaran saya.
Banyak kata-kata inspiratif yang diciptakan oleh para tokoh, artis dan penyair
terkenal. Banyak pula kata-kata yang tidak saya pahami artinya. Tapi tak sedikit
kata-kata yang benar-benar menginspirasi, membuka mata hati dan menyemangati diri. Tidak mudah mengerti perkataan orang lain, memahami apalagi melaksanakannya. Kita cenderung memiliki sikap ingin bertindak 'semau gue.'
Penyair kondang yang sejak awal menempati urutan pertama kekaguman saya
adalah Kahlil Gibran. Entah berapa banyak buku dan tulisan-tulisannya yang sudah saya
koleksi. Bahkan sepertinya ada beberapa buku Kahlil yang saya beli hingga dua kali
hanya karena saya lupa. Apakah saya sudah punya buku tersebut ataukah
belum? Kutipan dan kata-kata bijaksana yang diciptakannya tentu saja tidak sedikit. Dari masalah cinta - religi - dan aneka nasihat-nasihat berharga
lainnya.
Beberapa quote sangat berkesan bagi saya. Saking berkesannya saya terus mengingat beberapa kalimat nasihatnya itu. Satu quote yang paling saya ingat adalah tentang cinta! Uniknya quote ini bukan cinta dalam artian nafsu atau passion kepada manusia lain. Lebih kepada
cinta dalam artian ketekunan dan dedikasi.
Menurut Gibran, "Kerja
adalah cinta yang mengejawantah." Terjemahan
yang indah. Hasil kerja atau melakukan kerja ternyata adalah cinta
yang mewujud. Bukan sembarang saja bekerja. Pak Tani bekerja keras menanam padi dari sejak berwujud benih,
menyiangi, memupuk, memanen, menumbuk dan menjualnya di pasar. Itu semua adalah
cinta yang mewujud. Kerja keras dari seorang petani, keringatnya yang
bercucuran adalah cinta yang menjelma dalam bentuk nasi yang kita makan. Tak heran ibu-ibu sering meminta anak-anaknya tidak membuang-buang makanan khususnya nasi.
Pertanyaan yang muncul. Seandainya saya ini petani apakah takdir saya
memang menjadi petani? Akan bertahankah saya sebagai petani? Ikhlaskah saya
bekerja sebagai petani? Mengapa saya tidak menjadi tukang insinyur atau photo
model? Atau artis sinetron? Bagaimanapun juga seseorang memang harus menjadi petani. Jika tidak ada petani bagaimana kelak kita akan makan nasi?
Kembali pada kata-kata, "Kerja adalah cinta yang
mengejawantah." Menilik diri pribadi saya tidak sanggup jadi petani. Pertama, tenaga saya loyo, tidak akan kuat
menarik kerbau dan membajak sawah. Kedua, saya tidak sanggup berpanas-panasan lama
dibawah sinar matahari, bisa jadi pingsan. Ketiga, buat saya pribadi menanam benih dalam lajur
dan kolom persawahan yang panjang dan teratur akan jadi hal yang membosankan.
Jadi jika saya menjadi petani pastinya bukan cinta yang mengejawantah. Bisa jadi sumpah serapah yang tak terarah.
Berusaha keras mengejawantahkan cinta bukan hal yang mudah. Apalagi jika disandingan dengan tuntutan untuk mencari nafkah. Pekerjaan tidak lagi dapat menjadi pilihan, namun berebut. Sesiapa yang mendapat pekerjaan apapun juga asalkan mampu menghidupi keluarga. Sebuah keadaan yang dilematis. Namun saya percaya setiap pertandingan selalu ada pemenangnya dan sang pemenang adalah ia yang mampu memenuhi kebutuhan teratasnya. Mengejawantahkan cinta entah kepada keluarga ataupun pekerjaannya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.