Friday, December 16, 2011

Jalan Setapak Tembus Hutan

Pagi ini saya terbangun dan entah mengapa langsung berkeinginan memutar lagu kesayangan masa remaja dulu, I love chopin. Anda tahu bukan, irama musik kadangkala seolah membawa kita ke suatu tempat yang belum pernah kita ketahui dan jelajahi sebelumnya. Irama semacam itu seolah membangunkan suatu kesadaran dalam diri, ada sebuah panggilan yang mengundang. Apa istilahnya ya? Drifting away? Senang rasanya perasaan kita terbang terbawa pada angan dan cita-cita, hal-hal yang selama ini belum kesampaian. Dan dengan alunan lagu piano itu imajinasi melayang....seandainya...Remember that piano, so delightful unusual. That classic sensation, sentimental confusion,...

Bertahun-tahun ini ada hal berat yang sangat mengganjal. Sepertinya saya tinggal di suatu 'negara' dalam 'negara'. Saya bekerja di sebuah institusi asing yang cukup ternama dan bonafide. Selama bekerja disitu disitu, pengalaman yang ada tidak banyak membantu saya untuk memperluas skills kerja tapi lebih kepada skills untuk managing people. Berkomunikasi dan berhubungan dengan berbagai jenis manusia. Menghadapi orang dari berbagai bangsa termasuk bangsa sendiri. Setiap hari selama belasan tahun, saya menghadapi orang Amerika, Eropah, Korea dan Jepang. Yang culture-nya berbeda dan mengedepankan sikap individualistis. Belum lagi harus bersosialisasi dengan rekan sekerja yang mayoritas adalah bangsa sendiri dengan trademark unggah-ungguh-nya yang tak boleh dilupakan. It's complicated!

Bekerja disitu adalah heaven bagi sebagian besar rekan kerja. Pagi-sore dijemput dengan mobil mazda atau kijang innova. Liburnya lama, bisa 18 hari setahun. Banyak acara semacam training/ pesta yang bagus-bagus hampir tiap tahunnya. Pokoknya membuat siapapun yang tidak waspada akan hanyut dalam kenikmatan menghamba nine to five. Hidup rutin yang diarahkan sesuai kehendak perusahaan. Karyawan tugasnya hanya bekerja sesuai perintah dan bersyukur. Apakah kami robot?

Jika saya bekerja di tempat lain mungkin akan lebih sengsara. Tapi lima belas tahun kemudian setidaknya saya tidak akan terus duduk di posisi yang sama. Seharusnya ada penilaian yang lebih layak untuk kinerja masing-masing karyawan. Jika baik ada reward, jika kurang harus ada kritik membangun untuk memperbaiki kinerja. Jika salah tentu juga harus ada punishment. Dalam perusahaan 'negara' dalam 'negara' semua orang disamakan prestasi kerjanya. Naik gaji sama rata, dapat roti juga dibagi sama rata.Utopia yang menjebak, serba nyaman dan damai. Macan kumbang dan kucing kampung semua memperoleh kaleng sarden yang sama.

Ujung kisah ini adalah 'keluar dari zona nyaman'. That's true. Dan saya berpikir untuk keluar dari paradise ini, dari surga ini. Saya berpikir untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan tidak biasa. Saya berpikir sebelum maut menjemput apakah saya hanya akan melakukan perihal itu-itu saja?? Rasanya saya bukan orang semacam itu. Jadi angan saya melayang jauh....dan teramat jauh. Bagaimana jika seandainya saya resign dan keluar dari utopia yang saya jalani selama belasan tahun ini? Banyak pengalaman lain yang ingin saya rasakan,...

Semua teman dekat mengomentari dengan sebutan nekad, gila, tidak berpikir panjang. Dengan keterbatasan usia mau melamar kerja dimana lagi? Lagipula saya sudah terlalu lama tinggal di tempat itu. Ya, tapi saya membiarkan imajinasi saya melayang jauh. Ada hal-hal yang menarik di tempat jauh jika kita lewat menembus hutan dan berjalan di jalan setapak. Ketimbang duduk manis dan selalu berdiam di tempat. Pernikahan saya dengan pekerjaan di kantor bahkan terasa lebih lama dibanding pernikahan dengan suami. Tetapi pekerjaan bukan manusia, pun sesuatu yang saya suka untuk melakukannya. Selalu ada suara dalam diri, go...and find your own way..! I think I will go on to follow that voice,...


Rainy days never say goodbye

To desire when we are together
Rainy days growing in your eyes
Tell me where's my way

Imagine your face 
In a sunshine reflection
A vision of blue skies
Forever distractions

Thursday, December 8, 2011

Keledai Terperosok Dua Kali

Saya sering bertanya-tanya. Yang benar itu memaafkan atau melupakan sih sejatinya? Miturut pendapat saya melupakan lebih mudah dan pengaruhnya pada sebuah hubungan lebih baik daripada sekedar memaafkan di bibir saja. Kalau judulnya memaafkan. Lalu diucapkan dengan sungguh-sungguh dan memasang raut muka terbaik serta menunjukkan ketulusan hati. Dapatkah kita percaya? Sebab dalamnya samudra dapat diduga, dalam hati siapa tahu??

Inginnya jadi orang yang pemaaf. Berusaha banget, sayangnya saya bukan jenis orang yang pelupa. Ingatan saya tajam dan kuat seperti gajah. Bahkan kejadian masa kecil. Kejadian masa lalu. Kejadian menyenangkan atau kejadian menyedihkan semuanya terekam dengan cukup baik. Namun harddisk saya lebih banyak menyimpan peristiwa yang memalukan atau menyedihkan. Entah mengapa? Bukan saya yang berkehendak membuat setelan semacam itu. Tapi memang dari pabrikannya demikian. He-he.. Makanya berusaha keras jadi manusia pemaaf.

Jika peristiwa itu baik, indah dan menyenangkan saya cenderung melupakan. Sensor diri akan berkata, "Kau sudah melakukan hal yang benar, jadi segala sesuatu berjalan lancar dan baik adanya! Tak ada yang perlu kau khawatirkan." Namun jika yang terjadi adalah hal yang salah, memalukan atau menyedihkan, sensor dalam diri akan menimpali, "Awas, kau sudah pernah mengalami hal ini. Jangan sampai berulang hingga kedua atau ketiga kalinya. Apakah kau tak kapok? Hanya keledai yang akan terperosok pada lubang yang sama hingga dua kali!"

Ajaran semua agama mengajarkan kita untuk memaafkan. Itu sudah pasti. Namun saya terus bertanya-tanya dalam hati. Setelah memaafkan, apakah lalu kita tidak memperbaiki? Menurut saya, proses memaafkan haruslah disertai adanya perbaikan. Sebab jika tidak akan berulang lagi peristiwa atau kejadian yang sama lalu berulang proses sakit hati yang sama, lalu berulang proses memaafkan yang sama. Terus seperti itu bak lingkaran setan. Namun sesungguhnya tidak ada yang beranjak dari situasi yang sama.

Akhir - akhir ini saya coba beranjak dari tempat yang itu-itu saja. Memaafkan sudah, memperbaiki sudah (dari pihak saya). Tapi jika dari pihak yang lain mengaku lebih memaafkan dari saya, lebih merasa suci, lebih berbuat baik daripada saya, sayangnya tidak meninggalkan sifat dan kebiasaan yang sama. Sifat dan kebiasaan yang menimbulkan benturan atau konflik. Buat saya itu sih sama saja, tak ada perubahan ke arah perbaikan. Berjalan di tempat yang sama. Menjalankan hubungan yang sama diatas treadmill. 


Menilik keadaan seperti ini saya lalu bersikap keras pada diri saya sendiri. MOVE ON! Next! Next! Go to the next chapter in your life! Saya berusaha memaafkan tapi saya juga berusaha menghindari lubang yang sama. Mengulangi siklus yang sama terus - menerus menjadi sangat membosankan, melelahkan dan sia-sia. Apalagi waktu di kehidupan ini terbatas. Karena bukan keledai, dan semoga dalam kehidupan selanjutnya saya tak ditakdirkan menjadi seekor keledai, saya ingin mentas. Keluar dari situasi yang sama dan menjebak. Tanpa mengurangi rasa hormat pada keledai,....

Sunday, December 4, 2011

Siklus Gila Ibu Dan Anak

Saya paling tidak tahan dengan segala sesuatu yang tidak rapi. Tak tahu mengapa, bahkan melihat seseorang mengenakan baju dengan beberapa helai benang menjuntai saja sudah membuat saya gelisah. Ingin menggunting benangnya yang mencuat tak karuan itu. Melihat seseorang mengenakan baju kusut tak disetrika akan membuat saya mengernyitkan mata. Sesuatu bangeeet,... He-he!

Di tempat kerja, lokasi meja saya kebetulan terletak di bagian depan meja tempat duduk tamu. Di meja itu banyak terdapat buku dan majalah yang tersedia untuk dibaca. Sementara itu banyak pula tamu datang dan pergi bergantian, tak semuanya meletakkan majalah dan bukunya dengan rapi ke tempat semula. Otomatis, saya merasa harus meletakkan semuanya kembali dengan rapi ke tempat semula. Sepet mata melihat buku, majalah dan segala brosur bertebaran diatas meja.

Akhir-akhir ini kegilaan saya terhadap kerapihan dan keteraturan benar-benar akut dan justru membuat stress. Akibatnya sering kelelahan karena terus-menerus merapikan dan mengatur segala sesuatu secara berurutan. Atau bahkan selalu mengembalikan barang-barang ke tempatnya semula. Atau melabel barang dengan judul-judul yang seharusnya. Bagaikan mesin organizer, semua harus masuk dus, kotak dan wadah yang seharusnya! Waduh,...

Hari ini untuk kesekian-ratus kalinya saya membereskan kamar putri saya. Stress-nya minta ampun! Anak perempuan, tetapi berantakan tak ketulungan. Koleksi bandana bertebaran, ikat rambut, boneka teletubbies empat buah, kartu remi hingga beberapa set, pinsil warna dan spidol. Beberapa dus, buku cerita juga bertebaran disana-sini. Kertas-kertas hasil gambarannya, buku pelajaran sekolah, buku latihan, satu dus permainan magic, berbagai jenis puzzle, aneka sticker, puluhan notes. Rasanya bisa gila untuk membereskan semuanya. Butuh waktu setidaknya 36 jam!

Kekacauan ini akan selalu berlangsung karena putri saya rajanya membuat kamar berantakan dan menyebar barang-barangnya sendiri. Saking kesalnya sering anak ini saya hardik dengan keras. Di sisi lain ia yakin sekali bahwa saya akan selalu membereskan barang-barangnya. Saya jengkel karena merasa sudah kelelahan dengan segala tetek-bengek kantor, masih di repotkan dengan kamarnya yang berantakan! Karena keyakinannya itu, putri saya justru rajin berulang kali membuat kamarnya berantakan. Sedangkan saya selalu kecanduan melihat segala sesuatu harus kembali pada tempatnya. Tak tahan jika tak merapikannya.

Kejadian semacam ini terus berulang bagai sebuah siklus gila ibu dan anak. Saya tahu orang lain akan berkomentar: "Udah biasa Jeng, namanya juga anak-anak pasti nggak bisa diem. Tidak usah dibereskan, nanti juga akan berantakan lagi. Bereskan saja seperlunya, tak usah terlalu rapi!” Tapi saya tidak bisa. Sumpek melihat sesuatu yang tidak teratur.

Tadi putri saya lagi-lagi kena hardik karena chaos di kamarnya tak ketulungan dan barang-barang menggunung setelah sekian minggu. Mulai berantakan dan kacau lagi. Ia bertanya, “Kalau Mami mau beres-beres kenapa aku yang selalu dibentakin sih?” Saya jawab ketus, “Habis udah puluhan hingga ratusan kali Mami beresin ini. Kamu buat berantakan lagi! Padahal sudah dikasih contoh cara merapikan dan memasukkan lagi ke tempatnya."

Putri saya hanya tersenyum simpul dan berlalu dari kamarnya. Memang ada yang namanya siklus tak berkesudahan. Ada yang menyesatkan, ada yang mengharukan. Ada siklus cinta yang bolak-balik melelahkan sambung putus bak ingus. Ada siklus memaafkan dan mengulangi yang sama, bolak-balik. Yang melihat atau mendengar kisahnya barangkali sudah lelah dan bosan. Namun yang menjalaninya tak henti dan tak kapok. Terus terjerat.
           

Lalu, apakah saya harus berhenti membereskan ruang kamar putri saya? Dan membiarkannya tidur diantara tumpukan mainan, dus-dus serta kertas sampul dan buku-buku yang bertebaran, seolah gelandangan??....Jika jawabannya :IYA. Saya hening sejenak dulu deh!....Hmmm,.. namun rasanya saya tetep harus membereskan. Pertama, alasannya putri saya masih relatif kecil dan muda usia, ..kedua ...  Seorang ibu tidak butuh alasan untuk selalu menolong anak-anaknya. Balik lagi deh, siklus gila ibu-anak! 

Thursday, December 1, 2011

Cinta Yang Mengejawantah

Dari banyaknya hobby, salah satu yang mendominasi adalah membaca quote atau pepatah. Ketika menemukan kata-kata atau kalimat yang menginspirasi dengan rakus saya akan membaca, menyerap, merenungkan dan bahkan menyimpan atau memajang kata-kata indah tersebut. Hobby yang sedikit aneh, tapi apa boleh buat memang menjadi kegemaran saya.

Banyak kata-kata inspiratif yang diciptakan oleh para tokoh, artis dan penyair terkenal. Banyak pula kata-kata yang tidak saya pahami artinya. Tapi tak sedikit kata-kata yang benar-benar menginspirasi, membuka mata hati dan menyemangati diri. Tidak mudah mengerti perkataan orang lain, memahami apalagi melaksanakannya. Kita cenderung memiliki sikap ingin bertindak 'semau gue.' 

Penyair kondang yang sejak awal menempati urutan pertama kekaguman saya adalah Kahlil Gibran. Entah berapa banyak buku dan tulisan-tulisannya yang sudah saya koleksi. Bahkan sepertinya ada beberapa buku Kahlil yang saya beli hingga dua kali hanya karena saya lupa. Apakah saya sudah punya buku tersebut ataukah belum? Kutipan dan kata-kata bijaksana yang diciptakannya tentu saja tidak sedikit. Dari masalah cinta - religi - dan aneka nasihat-nasihat berharga lainnya.

Beberapa quote sangat berkesan bagi saya. Saking berkesannya saya terus mengingat beberapa kalimat nasihatnya itu. Satu quote yang paling saya ingat adalah tentang cinta! Uniknya quote ini bukan cinta dalam artian nafsu atau passion kepada manusia lain. Lebih kepada cinta dalam artian ketekunan dan dedikasi.

Menurut Gibran, "Kerja adalah cinta yang mengejawantah." Terjemahan yang indah. Hasil kerja atau melakukan kerja ternyata adalah cinta yang mewujud. Bukan sembarang saja bekerja. Pak Tani bekerja keras menanam padi dari sejak berwujud benih, menyiangi, memupuk, memanen, menumbuk dan menjualnya di pasar. Itu semua adalah cinta yang mewujud. Kerja keras dari seorang petani, keringatnya yang bercucuran adalah cinta yang menjelma dalam bentuk nasi yang kita makan. Tak heran ibu-ibu sering meminta anak-anaknya tidak membuang-buang makanan khususnya nasi.

Pertanyaan yang muncul. Seandainya saya ini petani apakah takdir saya memang menjadi petani? Akan bertahankah saya sebagai petani? Ikhlaskah saya bekerja sebagai petani? Mengapa saya tidak menjadi tukang insinyur atau photo model? Atau artis sinetron? Bagaimanapun juga seseorang memang harus menjadi petani. Jika tidak ada petani bagaimana kelak kita akan makan nasi? 

Kembali pada kata-kata, "Kerja adalah cinta yang mengejawantah." Menilik diri pribadi saya tidak sanggup jadi petani. Pertama, tenaga saya loyo, tidak akan kuat menarik kerbau dan membajak sawah. Kedua, saya tidak sanggup berpanas-panasan lama dibawah sinar matahari, bisa jadi pingsan. Ketiga, buat saya pribadi menanam benih dalam lajur dan kolom persawahan yang panjang dan teratur akan jadi hal yang membosankan. Jadi jika saya menjadi petani pastinya bukan cinta yang mengejawantah. Bisa jadi sumpah serapah yang tak terarah.

Berusaha keras mengejawantahkan cinta bukan hal yang mudah. Apalagi jika disandingan dengan tuntutan untuk mencari nafkah. Pekerjaan tidak lagi dapat menjadi pilihan, namun berebut. Sesiapa yang mendapat pekerjaan apapun juga asalkan mampu menghidupi keluarga. Sebuah keadaan yang dilematis. Namun saya percaya setiap pertandingan selalu ada pemenangnya dan sang pemenang adalah ia yang mampu memenuhi kebutuhan teratasnya. Mengejawantahkan cinta entah kepada keluarga ataupun pekerjaannya.