Sunday, August 31, 2014

Selamat Ulang Tahun Princicie

Putri semata wayang saya mendapatkan sejuta panggilan kecil. Entah mengapa, saya dan suami menjadi sangat kreatif memanggilnya dengan berbagai sebutan. Dengan melupakan kenyataan bahwa ia sesungguhnya adalah manusia baru yang muncul di dunia ini. Banyak nama yang kami ciptakan untuknya. Mungkin saking gemasnya, mungkin saking tidak ada anak lain yang dapat ditumpahi kasih-sayang karena anaknya hanya seorang. Seolah ia muncul dalam kehidupan kami yang tertata laksana subyek, predikat dan obyek. Kenyataannya adalah manusia, bekerja dan berkeluarga. Lalu anak menjadi obyek penderita. Dalam kasus kami, tentu saja ia menjadi obyek penderita limpahan kasih sayang.

Jika membaca berita tentang penganiayaan anak-anak rasanya kaget, tak percaya serta berpikir alangkah kejam dan teganya. Kenapa melahirkan anak-anak hanya jika untuk dianiaya dan membuat mereka menderita? Putri kami mendapat aneka julukan yang aneh-aneh saking begitu ajaib dirinya menurut kami. Dimasa usia tiga hingga lima tahun ia kami juluki 'kelinci'. Itu karena ia begitu kecil mungil, imut, putih dan belum pandai menjaga keseimbangan. Ia masih beguitu lugu.' Lucu jika dipikir bagaimana sikapnya yang polos kekanakan dan cara hidupnya yang masih sangat tergantung pada orang-tua. Persis seperti kelinci yang jinak dan hidup hanya untuk digendong dan dilimpahi kasih sayang.
Menjelang masa sekolah dasar hingga pra-remaja. Ia mulai belajar nakal dan bohong kecil-kecilan. Sulit mengajarkan padanya bahwa lebih baik jujur dan dihormati, daripada bohong namun menyimpan api dalam sekam. Karena otaknya yang lugu berpikir tidak boleh ada hal jelek tentang dirinya, nanti dimarah orang-tua. Belum buat PR mengaku sudah membuat. Nilainya enam mengaku dibulatkan oleh guru jadi tujuh dan masuk rata-rata kelas. Hal-hal kecil yang lincah, licik dan penuh strategi mulai digarap olehnya. Ini membuat kami julukinya si 'onyek' kependekan dari si monyet. Panggilan ini hasil kreasi papanya yang sering dibuat jengkel. Bukan karena ia sangat jelek, justru saking 'pandai' nya ia berkelit dan menipu serta menimbulkan perdebatan licik. Maka ia kami panggil si 'onyek.'

Yang ketiga, ia kami panggil si kucing. Panggilan ini adalah ciptaan saya. Ketika melihatnya bermalasan saja di sofa sambil makan cemilan dan menonton televisi. Lalu kadang sore atau pagi hari saat libur, ia aktif hanya bermain sepeda dengan teman-temannya. Dipesan pulang jam empat sore, terkadang badung. Pulang hingga jam lima atau jam enam sore. Gayanya yang sangat santai, meremehkan segala sesuatu dan banyak bermain saja membuat saya sebal. Maka saya gemar memanggilnya si kucing pemalas. 

Pada awal-awal ketika ia masih berada dalam peralihan dari masa kanak-kanak menjadi pra-remaja ia sangat kesal dan memprotes keras, "Mom,...aku bukan binatang!" I know, dia bukan hewan. Tetapi perilaku manusia baru terkadang lucu dan menggemaskan dan tak beda dengan hewan-hewan yang lucu serta menggemaskan. Ia masih begitu polos, tak tahu dunia dan berpikir dapat mengibuli kedua orang-tuanya. I know, kami tak seharusnya menyebut ia dengan panggilan seperti itu. It's just too cute, not to call her 'a name'.

Kini ia sudah berusia tiga belas tahun. Dalam masa empat tahun lagi ia sudah akan dapat mengendarai mobil jika memungkinkan. Dalam empat tahun ia akan menjadi remaja dewasa. Kini panggilannya berubah lagi. Sangat cepat pertumbuhan fisik dirinya yang bertambah tinggi, membuatnya menjadi sangat jangkung. Dengan kejam sekarang saya memanggilnya si jerapah alias si Jiraff (giraffe). Saking tinggi tubuhnya melebihi mamanya dan hampir setinggi papanya. Kadang ia tertidur di kasur dan saya ukur dari ujung kaki hingga ujung kepalanya terasa sangat panjang. Membuat saya makin yakin memanggilnya si Jiraff. Jika dulu ia komplen tentang panggilan hewan. Sekarang ia menyadari itu hanyalan karena kedua orang-tua sangat menyayangi dan terlalu penuh kreativitas untuk menciptakan panggilan sayang bagi dirinya. Dan barangkali ia juga sudah menyerah dan bosan dengan aneka julukan yang mampir padanya. Sepanjang cinta kami selalu ada untuknya.

Yang tak pernah hilang dari benak saya adalah panggilan 'Princicie' baginya. Maksudnya sih 'Princess.' Tapi sudah banyak juga panggilan princess atau princessa. Untuk menciptakan panggilan yang spesial, saya lalu teringat masa-masa ia baru saja dilahirkan. Masa ketika ia mendapat julukan si kelinci alias 'incie.' Maka untuk menciptakan panggilan yang lain daripada yang lain, saya kadang juga memanggilnya princicie. 

Bulan Agustus 2014 yang lalu adalah ulang-tahunnya yang ke 13. Dirayakan dengan berlibur sederhana ke Bandung bersama papa dan mamanya. Bermain ke trans studio dan menginap di Hotel Ibis Trans. Sebagian orang mungkin akan berkomentar 'pengalaman mewah' bagi seorang anak! Sementara bagi yang lainnya hanya sekedar lelucon ketinggalan jaman. Ke Trans Studio kok baru sekarang, hare geneee,..? Udah telat kali,...! Tak mengapa. Hidup adalah sebuah kesyukuran. Tergantung bagaimana yang memandangnya saja. Ada yang tak henti merasa iri, ada merasa pantas mengasihani. Tetapi pastinya tidak ada yang membayari, ha-ha,.... Jadi? Perduli apa dengan komentar orang?...

Toleransi

Kadang-kadang aku berpikir sangat keras
Rasanya otakku melepuh dan panas
Asap lalu mengepul di atas kepala 

Kadang-kadang aku ingin bekerja
Namun orang-orang tak dapat diajak bekerja-sama
Lalu pekerjaan terhambat dan berhenti begitu saja

Terus-terusan manusia berusaha
Tetapi memang Tuhan lah yang menentukan
Lalu haruskah berhenti berupaya?

Jangan, hidup hanya sekali

Tanpa usaha tak tahu apa yang dipertaruhkan
Hidup ini serangkaian toleransi
Yang jadi hambatan belokkan
Jadikan kesempatan berikutnya

Seorang bijak mengatakan
Keyakinan yang kuat
akan mampu memindahkan gunung

Orang yang (mungkin) lebih bijak akan mengatakan
Hidup ini harus disadari logikanya
Tak ada waktu untuk kemewahan berimajinasi

Hidup ini toleransi untuk yang santai menjalaninya
Tetapi hidup ini turbulensi untuk yang berambisi menguasainya
Andakah sang toleransi? Ataukah sang turbulensi?



Monday, August 25, 2014

Mi Familia Artinya Keluargaku

Putriku sibuk mematut diri sambut Natal
6 Desember 2013
Puluhan  atau ratusan kali orang bertanya, "Anaknya hanya satu?" Dan puluhan atau ratusan kali saya menjawab, "Iya,..." Kadang menjawab dengan enggan, "Belum diberi tambahan." Kadang menjawab dengan asal-asalan, "Ya, nanti lihat kedepannya." Padahal sejak dulu memang saya tidak yakin ingin punya anak atau ingin punya banyak anak. Ketika punya anak, masih tidak yakin ingin menambah anak. Terbukti insting psikologis saya tidak salah. Tinjauan masa lalu dan latar belakang saya serta suami tidak membuat kami yakin untuk memiliki anak atau bahkan beberapa anak.

Ketika akhirnya seorang anak dikirim Tuhan untuk kami. Awalnya ketakutan. Karena berharap hidup serba sempurna terlebih dahulu, barulah memiliki anak. Ternyata tidak demikian. Memiliki anak memanglah anugrah, hidup ini justru sempurna karena adanya anak. Banyak yang ingin punya anak namun sulit mendapatkannya. Ada yang tidak ingin punya anak, namun melahirkan anak. Bahkan lebih dari satu. Ada yang tega membuang anaknya atau menyerahkan pada pihak lain untuk alasan-alasan yang sifatnya sangat personal. Jujur, dulu saya kesal ketika ditanya, "Mengapa hanya punya satu anak." Terkadang ingin menjawab, "Apakah Anda akan menyantuni anak saya berikutnya?"

Aneka Pose Centil
2013-2014
Saya memiliki satu anak. Dengan pertimbangan maju-mundur. Apakah iya hanya akan memiliki satu anak? Apakah harus dua? Jika harus satu mengapa? Untuk hal ini saya bisa menjawab. Tetapi jika harus punya dua anak dan saya ditanya mengapa? Saya tidak bisa menjawabnya. Maka dengan berat hati dan seiring berlalunya waktu, akhirnya kami hanya memiliki satu anak. Tetapi boleh dikata semua orang bahagia dengan keadaan memiliki satu anak ini. Sang anak bahagia dan kedua orang-tua bahagia. Daripada kami memiliki dua anak atau lebih, lalu mulai saling menyalahkan dan meminta satu dengan yang lain untuk lebih bertanggung-jawab terhadap anak-anak. Anak-anak seperti malaikat terpilih yang dikirim dari surga untuk membahagiakan orang-orang dewasa. Akan menjadi kesedihan jika sang anak dikirim kedunia hanya untuk dibuat sengsara hidupnya. Anak-anak tentu punya perasaan! Anak bukan boneka.

Memang ada anak-anak yang menjadi kuat dan tangguh di masa dewasanya oleh karena tempaan masa kecil yang cukup keras. Tetapi saya lebih percaya, anak-anak yang bahagia sejak lahirnya akan menjadi pribadi yang tangguh dan stabil di masa kedewasaan kelak. Karena semua proses yang dialaminya hanyalah bahagia dan seperti itu pulalah ia akan merefleksikan pada lingkungan sekitarnya. Ia akan membagikan kebahagiaan kepada orang-orang lain dan bersikap sebagai sang pemberi suka-cita. Bukan menjadi seseorang yang bersikap keras dan banyak menuntut pada orang-orang disekitarnya, yang barangkali merupakan refleksi masa kecil yang juga keras dan banyak dituntut.

Dijemput dari Bandara
sepulang berlibur seminggu di Solo
25 November  2013
As for my husband, he'is somekind of angel that God has send to me, either. Benar-benar orang yang simple, sederhana, apa adanya dan tidak banyak menuntut. Treat his wife and daughter as queen and princess. Rasanya tidak dapat memberikan komplain lebih banyak tentang dirinya. Kalaupun ada cacat dan cela biarlah kami coba maafkan dan menyempurnakannya. Karena sebesar itu pula ia selalu mencintai kami, istri dan anaknya. 

Mengapa orang-orang gagal berkeluarga? Karena mereka tidak mengenakan kacamata kuda. Ketika kita memiliki keluarga yang membahagiakan, sekecil, sesederhana dan secuil apapun bentuknya, harus disyukuri dan dipertahankan. Karena tidak akan ada yang sempurna jika kita selalu melihat ke kanan-kiri, ke atas dan bawah. Keluarga adalah harta paling berharga yang diberikan Tuhan untuk Anda dan saya,... Biarlah takdirnya berjalan baik tanpa kita kacaukan sendiri. Takutnya nanti akan menjadi penyesalan berkepanjangan. 

Sunday, August 24, 2014

Nasi Bancakan Trunojoyo

Salah satu jadwal trip dengan kawan-kawan seperjalanan 'wisata bareng' beberapa waktu lalu adalah menikmati kuliner khas Bandung. Namanya adalah Rumah makan 'Nasi Bancakan'. Ketika saya lacak di detik.com traveller liputan mengenai tempat makan ini sudah ada sejak tahun 2012. Namun kapan tepatnya tempat makan ini berdiri saya kurang tahu. Tampaknya sudah cukup lama juga terbukti tempat ini populer di kalangan para penggemar kuliner dan acara jalan-jalan.


Setibanya di tekape, as always saya adalah jenis manusia yang malas ketika melihat segala sesuatu serba mengantre. Mosok mau beli makan siang saja harus mengantre sih, cyn...? Tapi katanya masakan di situ khas dan unik. Jadilah saya ikut mengantre walau perut sudah sangat lapar, kembung dan nyaris masuk angin. Demi kenikmatan kuliner yang berbeda dan baru sekali-kalinya berkunjung kesitu. Kesempatan mencicip tentu jangan dilewatkan. Masuklah saya dalam barisan panjang pasukan lapar siap serbu. Tidak ada pelayan yang khusus meladeni, ambil makanan serba swalayan. Ambil semua yang Anda inginkan lalu menghadap kasir dan bayar semua tagihannya. Yang serem tentu saja, tidak tahu harga makanan. Buta!

Untungnya harga-harga makanan di Nasi Bancakan sangat pro kantong alias tidak mahal. Pola penyajian yang swalayan begitu kadang membuat calon pembeli jadi kalap semua ingin dicoba dan dicicip. Maklum semuanya hidangan asli masakan Indonesia, Sundanesse taste! Macem-macem banget. Dari ikan, jeroan, ayam, pete, jengkol, lalap, aneka sayur, ikan asin, oncom, dll. Waduh pokoknya bisa histeris kalau melihat aneka hidangan tersebut. Terbukti saya dan kawan saya mengambil makanan yang sedikit kebanyakan, berakibat perut penuh dan bahkan tidak habis! Jyah, rakus yaaa...

Hal mengesankan dari Resto Nasi Bancakan adalah suasananya yang tidak formil, udah kaya dirumah sendiri. Maju aja ambil piring, ambil nasi dan semua makanan. Bahkan minuman tradisional juga sudah menanti minta diadopsi. Seperti es kelapa, es dawet, es cincau hijau dan sebagainya. Lihat, suka, ambil dan tentu saja jangan lupa bayar di kasir. Ada es potong juga!  Tempat duduk hanya berupa dipan-dipan, meja, bangku dan tempat lesehan sederhana. Tersedia teh panas gratis. Piring dan gelas yang digunakan terbuat dari kaleng. Serasa kembali ke masa jadoel, ketika kita menginap dan makan siang di rumah simbah. Cara makan juga sudah tidak malu-malu lagi. Gaya Indonesia banget, mau pake sendok, mau pake tangan, mau cuil-cuil dan colek sambel sana sini, semua dilakukan sepanjang terasa nikmat dalam bersantap.

Sejak dulu saya sangat menyukai hidangan semacam keong sawah. Ketika masih kecil di kampung halaman Jawa Tengah, saya sering menikmati hidangan keong tersebut. Nenek membeli untuk saya dari penjaja keliling. Kami menyebutnya 'kraca' (dengan penyebutan a = o gaya Jawa Tengah). Keong kecil-kecil yang dimasak gurih berkuah. Untuk menikmati, daging keong dicongkel dari cangkangnya menggunakan tusuk gigi. Rupanya penduduk Jawa Barat juga membuat hidangan yang sama dengan penyebutan yang berbeda, mereka menyebutnya 'tutut' (kok mirip nama putri pertama mendiang presiden Soeharto? He-he,..). Bisa jadi juga ini hidangan yang disebut oleh orang Perancis sebagai 'Escargot'? Ha-ha,... Pokoknya, this is one of my favorit menu. Kalau ada yang jual keong berkuah artinya saya pasti langsung ingin pesan.

Jujur rasa masakan menurut saya tidak terlalu menonjol karena semua sudah matang dan dipajang di aneka wadah. Sehingga hidangan juga terasa dingin, tidak dipanaskan lagi. Aneka minuman tradisional juga rasanya biasa saja, kurang maknyus. Saya agak kurang nyaman dengan piring dan gelas karena terkesan dicuci tergesa kemudian langsung digunakan lagi untuk pengunjung berikutnya. Gelas yang kami gunakan masih basah, tidak dikeringkan. Artinya baru saja digunakan oleh orang lain. Again, ini karena saya sedikit hypermaniac tentang kebersihan. Tetapi terlepas dari itu semua sih tetap lumayan enak dan mengenyangkan. Especially karena saya berjumpa dengan 'kraca/ tutut' yang selalu membuat saya ngiler,...

Alamat Selengkapnya : Jalan Trunojoyo No. 62 - Bandung

Floating Market Lembang

Udah agak lama sih mendengar tentang floating market di Lembang - Bandung. Tapi terakhir kali kami ke Bandung dan melewati papan petunjuk jalan bertajuk 'floating market' yang ada di benak kami adalah pasar dengan mbok-mbok yang jualan sayur kangkung, kacang panjang dan tauge diatas perahu-perahu kecil. Dalam pikiran kami pula, ngapain belanja sayuran aja kok harus repot di Lembang, Bandung? Demi ngeliat si mbok-nya dagang dari atas perahu? Ribet amat? Udah gitu apakah sayurannya nggak layu? Beli jauh-jauh lalu dibawa pulang ke Jakarta, sampe Jakarta itu sayur dan buah terancam letoy semua? Jadi kami tidak berminat mengunjungi obyek yang disebut 'floating market.'

Berikutnya seorang teman mengatakan bahwa ia dan suaminya sudah bepergian ke floating market dan komentarnya, 'sangat bagus'! Tentu saja kami penasaran, 'sangat bagus' seperti apa? Sebagus-bagusnya pasar terapung? Namanya pasar gitu lowh? Apa yang bagus dari terong, ketimun dan ubi jalar? Judulnya unik tetapi mengandung kata 'pasar' tetap saja membuat kami mencurigai bahwa itu adalah 'modus' agar pengunjung datang dan kemudian kecewa. Karena isinya tukang sayur sedesa pada dagang di atas perahu? Tetapi teman kami bersikukuh, "Ini beneran asyik tempatnya. Kita bisa jajan kuliner dari atas perahu kok! Beda dengan yang biasa. Bukan pasar sayuran. Coba kesana saja kalau sedang ke Bandung!"

Jaman dulu ke Bandung masih terasa asyik dan syahdu. Jaman sekarang, jujur aja capek dan pusing jika harus menyupir kendaraan sendiri. Kota cantik yang hawanya sejuk ini sudah meraih predikat pertama kota wisata idaman, namun macet dan berjubelan. Tiap weekend banyak sekali orang Jakarta hijrah kesana, sekedar menikmati suasana liburan terdekat. Iyalah ke Bali kan jauh? Apalagi ke Phukett? Apalagi ke California? Jauh bingiiits! Jadi buat yang simple, hemat, wants to have a happy weekend, pasti pilihannya Bandung. 

Entah mengapa ketika floating market digemborkan 'bagus' oleh teman saya. Jadi terbawa penasaran. 'Bak iklan manis yang mengendap di dasar hati. Saat ada trip yang menawarkan ke Bandung. Jadilah saya dan seorang kawan lain mendaftar ikut. Agak sore sekitar pukul empat kami tiba di floating market (belokannya setelah hotel Grand Lembang). Masuk area sudah tercengang. Parkirannya luas bingits, conblocks parkiran putih bersih, rapi-jali. Keseluruhan pembangunan infrastrukter tertata apik (siapa ya management and developer-nya?). Rasanya seperti di luar negeri saja (kayak yang sering ke luar negeri, padahal jarang! ha-ha).

Lobby Asri 


Di area parkiran ada mobil pedagang yang berjualan kincir angin kecil warna-warni mozaik. Anak-anak pasti akan langsung tergiur melihat kincir seperti itu. Masuk ke dalam lobby, kami disuguhi keindahan dan kenyaman ala rumah di pedesaan. Konstruksi, dekorasi dan segala yang ada di dalam lobby mengesankan suasana 'pulang kampung.' Bandung memang jagonya bikin suasana 'pulang kampung'. Seperti Resto yang keren 'Kampung Daun' dan 'Sapu Lidi.' Rupanya floating market juga wilayah yang sangat komersial dengan ujung tombak adalah tujuan perdagangan dan wisata.

aneka minuman gratis - tukar tiket  & kincir mosaik
Jangan lupa ticket masuk pasar apung Lembang (kalau tidak salah Rp. 25.000) dapat ditukar dengan segelas minuman hangat sesuai pilihan. Petugas juga akan membantu Anda dengan senang hati. Minumannya sih minuman seduh instant yang di pajang dalam jajaran mesin seduh otomatis. Ada lemon tea, choccocino, cappucino, dll. Lumayan, ketika udara dingin menyelimuti dan kita disambut oleh secangkir minuman hangat, sesuatuuuu...banget! Pintar juga nih, yang mengatur konsep? Oya, jangan lupa selama Senin hingga Kamis, floating market hanya buka dari pagi hingga pukul lima sore. Untuk hari Jumat hingga Minggu, floating dibuka dari pagi hingga pukul delapan malam. Mantabs!

Pertokoan Rumah Panggung


Sulit menceritakan sensasi pertokoan dengan wujud rumah panggung. Tapi ini benar, jadi sepanjang tepian danau ada pertokoan yang beroperasi dalam rumah-rumah panggung. Mayoritas bangunan yang berdiri di seputar wilayah floating market memang mengusung konsep desa yang sebenarnya. Bangunan rata-rata adalah rumah panggung model knock-down. Dengan oranamen kayu-kayu dan model atap joglo. Tata cahaya atau lighting di seputaran danau juga sangatlah ciamik. Lampu yang digunakan menyorot pada titik-titik keindahan alam atau keunikan bangunan sehingga kita seolah berada di desa tepian danau misterius yang damai serta asri.

Namun jangan lupakan pula kepiawaian management floating market dalam mengelola tujuan wisata yang satu ini. Pertokoan menjual aneka barang. Aneka means aneka, layaknya di kota besar. Ada pernak-pernik, permen, kue kering, pakaian, kaus dan seterusnya. Jujur lagi, saya berusaha melepas kebiasaan konsumtif dalam berbelanja barang. Jadi wilayah pertokoan itu sama sekali tak saya tengok. Kadang saya membongkar lemari pakaian dan menemukan beberapa baju yang baru saya pakai beberapa kali saja. Maka sekarang saya mengurangi pola konsumtif belanja. Lewatlah pertokoan itu hanya saya pandangi dari luar saja. Maaf ya!

Jembatan Gantung & Angsa


Obyek menarik lainnya adalah jalan setapak yang ada disekeliling danau. Jalan setapak ini akan membawa kita berjalan mengelilingi danau yang cukup luas itu. Namun karena jalanannya menyenangkan dan banyak yang dilihat, rasanya berjalan keliling danau sama sekali tak terasa melelahkan. Ketika berjalan ini kami menemukan jembatan gantung yang unik, banyak orang ingin berpose di jembatan ini. Entah bagaimana management tahu pasti bahwa jembatan gantung adalah hal yang menarik bagi manusia perkotaan. Maklum sudah tidak ada jembatan gantung di kota. Yang ada jembatan beton, itu juga kadang ambruk karena tidak dirawat.

Di area lain sejumlah angsa tanpak asyik berenang memamerkan kecantikan diri. Rupanya ada habitat angsa yang dipelihara di sekitar danau. Saya tidak tahu apakah angsanya pernah dilepas ke danau atau tidak? Tetapi ketika saya melihat angsa-angsa tersebut, rasanya kesemuanya dikandangkan di area tersendiri dengan fasilitas kolam kecil. Seorang gadis tampak menunggui para angsa. Ngapain? Tanya saya dalam hati? Astaga, ternyata ia menjual pakan angsa seharga lima atau sepuluh ribu rupiah. Jadi jika membeli 'ticket' berupa pakan angsa itu kita dapat masuk ke dalam area kolam dan berinteraksi lebih dekat dengan para angsa sambil melempar makanan. Jyaaaah!

Wisata Air


Nah, selepas jalan-jalan seputar area danau kita akan ketemu dengan wilayah yang menyediakan wisata air. Ada yang berupa perahu dayung atau sepeda air yang digenjot, tarif Rp.10.000 kalau tidak salah. Ada yang berupa rentetan perahu super mungil dengan motor, yang akan membawa pengunjung berkeliling danau. Saya memilih menggunakan perahu bermotor, tarif Rp. 20.000. Alasannya lebih enak dan cepat, kemudian lebih terarah untuk berputar melihat danau karena dikemudikan oleh petugas penyelenggara wisata air. Sedikit menyeramkan ketika kami harus meliwati lorong sempit yang diatasnya ada jembatan penyebrangan pejalan kaki. Di lorong itu sering terjadi gesekan/ tabrakan ringan dengan pengendara perahu wisata air lainnya. Kalau kecemplung gimana? Memang sih mengenakan life saving jacket tapi tetap saja ngeri!


Wisata Kuliner


Berkeliling danau, menikmati angin pegunungan, menatap senja dan melihat kesibukan banyak orang lainnya dari tengah danau. Tak lupa mengamati aneka bangunan yang ada ditepi danua, ternyata sesuatuuu bangets juga. Setelah itu mulai masuk dalam masterpiece-nya floating market. Yaitu berwisata kuliner dengan menikmati aneka penganan dan jajanan yang dapat dibeli di tepian danau. Rupanya banyak perahu kecil, ditambatkan di tepian danau, berjajar berurutan. Diisi oleh pedagang yang menjual aneka makanan, layaknya counter-counter makanan di foodcourt. 

Disisi luarnya disusun aneka bangku-bangku mungil sederhana yang nyaman untuk para pengunjung duduk dan bersantap. Dagangan makanan boleh dikata rupa-rupa namun tidak ada yang sama. Jadi membuat pengunjung bingung. Hendak membeli hidangan yang mana ya? Tetapi sebagai gambaran yang dijual ada sate lontong maranggi, empek-empek, aneka ubi & cemilan rebus lain, twister potatoes dan sebagainya. Itu karena keterbatasan waktu saya tidak melihat keseluruhan hidangan yang dijajakan. Apa saja selengkapnya?

Untuk membeli makanan, kita akan diminta menukarkan uang dengan coin. Dan harga makanan dipatok pada kisaran 10rb, 15rb kelipatan 5rb rupiah hingga makanan seharga 35rb. Sayangnya tidak ada refund! Jadi kita harus menetapkan ingin belanja makanan apa saja. Jika coin kurang harus membeli lagi. Jika coin lebih juga harus membeli lagi untuk dihabiskan belanja makanan. Karena jika tidak maka coin itu tidak akan dapat diuangkan lagi. Kabar baiknya, para penjaja makanan tersebut tampaknya sudah melalui proses seleksi yang baik dan cocok dengan selera publik. Hidangan yang disajikan serba enak dan tidak mengecewakan. Yummy! Atau mungkin karena hawa Lembang yang dingin-dingin sejuk menambah lahap selera makan saya? Bisa jadi!