Friday, June 10, 2016

Drama 25 - Pasangan Gawat Darurat (Emergency Couple) ****

Drama yang sangat bagus bagi para mahasiswa kedokteran dan penggemar dunia medis. Sedikit subyektif karena saya memang bukan penggemar cerita rumah sakit/dokter. Mungkin jaman masih kecil dulu saya pernah nonton "General Hospital" -- Tapi sebangsa Greys Anatomy, House (TV series), dst saya tidak telaten menontonnya. Melihat satu atau dua episode saya lalu lebih memilih film Dexter (another TV series) yang berkisah tentang pembunuh psikopat. Entah mengapa ada penolakan yang kuat dalam diri saya untuk menonton serial medis/kedokteran. Gak doyan! Ditambah lagi pemeran utamanya adalah Choi Jin Hyuk, aktor yang saya juluki 'aktor sejuta umat.' Soalnya Jin Hyuk muncul hampir di semua drama yang saya tonton. Dan saya bukanlah penggemarnya. Tetapi karena saya menyukai tema 'pernikahan & perceraian' sekalipun film ini berlatar-belakang medis, saya tamatkan menontonnya. Chua (suka)! 

Awal film agak aneh, sepasang pengantin berlari di tengah keramaian dan nekad minta dinikahkan di gereja secara mendadak. Setahun kemudian pasangan sejoli ini bertengkar hebat hingga rumahnya hancur berantakan karena mereka saling lempar dan merusakkan barang-barang yang ada di rumah. Tentu saja dengan pertengkaran sedahsyat itu perceraian adalah jalan satu-satunya. Oh Chang Min (Choi Jin Hyuk) dan Oh Jin Hee (Song Ji Hyo) lalu memutuskan untuk saling menjauh dan menghilang dari kehidupan mereka masing-masing. Dalam hitungan enam tahun keduanya berjumpa lagi di sebuah rumah sakit, bukan sebagai pasien tapi sebagai dokter magang. Rupanya mereka masing-masing sudah lulus sekolah kedokteran sesuai dengan dambaan. Oh Chang Min memang ingin menjadi dokter sejak dulu dan Oh Jin Hee yang tadinya berprofesi ahli gizi juga ingin meningkatkan taraf kehidupannya (sekaligus membuktikan pada mantan dan ex ibu mertua bahwa ia cukup pandai) dengan alih profesi sebagai dokter. Kejamnya takdir menempatkan keduanya dalam satu team magang (semacam PTT) di divisi Emergency Room/ unit gawat darurat. Kebencian dan niat untuk berperang terpaksa diredam karena mereka berdua harus bekerja sama demi keselamatan pasien dan kelangsungan kinerja unit emergency room.

Drama ini seperti alur mundur sebuah kisah cinta. Dimana perceraian justru menjadi jalan untuk mengenali cinta sejati. Selain dari adegan-adegan ketrampilan para dokter yang sangat luar biasahhh dalam menolong para pasien, drama ini dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang hendak bercerai atau berpikir untuk bercerai. Walaupun pada kenyataannya keputusan untuk cerai itu biasanya sudah bulat-lat-lat-lat tak dapat diganggu gugat. Eh, siapa tahu ada orang-orang yang berpikir dua kali, tiga kali sebelum menyesal atau justru ingin segera keluar dari penyesalan. Entahlah! Yang pasti drama ini mengupas mengapa Oh Chang Min dan Oh Jin Hee bercerai. Ketika itu mereka masih sangat muda (kurang kesabaran) dan pola pikir mereka hanya melihat sebatas sejengkal di depan mata. Mereka tak dapat melihat keseluruhan gambar. Bahwa sang suami lelah karena harus mencari nafkah bahkan putus kuliah. Bahwa sang istri juga tertekan karena harus tinggal di rumah mengurus segala tetek-bengek rumah tangga dan sering dihujat oleh ibu mertua. Keduanya memendam rasa lelah dan jengkel sehingga ketika meletus berbuah jadi pertengkaran hebat dan perceraian.

Dari kerja sama di emergency room itu Chang Min dapat melihat betapa Jin Hee adalah wanita yang sangat baik, berbakti pada orang tua dan bahkan ibu mertua. Jin Hee juga melihat Chang Min sebagai lelaki yang pandai dan penolong. Banyak hal-hal yang terkuak setelah mereka bekerja sama di rumah sakit (hayyah, sebelumnya kemana ajaaa?). Adegan paling lucu bagi saya dalam drama ini adalah ketika ibunda Jin Hee yang sangat bangga karena putri sulungnya menjadi dokter mendadak saja 'jambak rambut' karena putri bungsunya yang kabur dari rumah menitipkan suami beserta bayinya di rumah sang ibu. Berbeda dengan rumah tangga Oh Chang Min dan Oh Jin Hee dulu yang sesungguhnya tercukupi secara materi dan bahkan tidak memiliki anak, sang adik Oh Jin Ae nekad saja menikah dengan seorang pria yang boleh di kata pekerjaannya serabutan sebagai penata musik. Bahkan Jin Ae langsung memiliki bayi dan tidak sungkan-sungkan membebani ibunya dengan urusan rumah tangganya. Betapa kontrasnya hasrat untuk menggapai bahagia dalam berumah-tangga. Ada yang nekad dan berhasil, ada yang diperhitungkan masak-masak namun gagal juga.

Oh Jin Hee dan Oh Chang Min pada akhirnya kembali menyusuri jalan cinta mereka sekalipun pada awalnya ditentang habis-habisan oleh ibunda Oh Chang Min yang sangat membenci bekas menantunya. Park Jun Keum memerankan Yoon Sung Sook alias ibunda Oh Chang Min. Seperti biasa aktingnya sangat mengesankan. Ms. Jun Keum ini sangat mahir berperan sebagai ibu-ibu kaya yang galak, gahar, nyinyir dan sadis terhadap anak/calon menantu. Terakhir saya menyaksikan aktingnya sebagai ibu tiri Lee Min Ho dalam drama The Heirs. Si tampan cute Lee Pil Mo berperan sebagai dokter pimpinan emergency room bernama dr. Kook Cheon Soo yang diam-diam jatuh hati pada Oh Jin Hee. Sedangkan si jelita yang kenes, Clara, berperan sebagai Han A-Reum yang adalah mahasiswi kedokteran magang, yang juga adalah anak mentri, yang jatuh cinta pada Oh Chang Min! Saya juga sangat menikmati akting Choi Yeo Jin yang berperan sebagai Profesor Sim Ji Hye, dokter spesialis sahabat slash TTM dari dr. Kook Cheon Soo. Dalam drama I Need Romance Yeo Jin berperan sebagai model/ playgirl. Disini ia berperan sebagai profesor ahli bedah dan dokter handal, sekaligus ibu satu anak. Sebuah lompatan prestasi yang patut diacungi jempol bagi akting dari wanita secantik dan seseksi Choi Yeo Jin.

Kerangka Berpikir Yang Tidak Benar

Tadi mendapat berita melalui media #WA, seorang mahasiswa bunuh diri karena nilai ujiannya jeblok dan skripsinya ditolak oleh dosen. Foto si pemuda terpampang jelas, muda dan tampan. Reaksi saya sangat kaget dan langsung memperlihatkan berita itu kepada putri saya sambil berkata, "Untung nilai-nilai kamu memang sering jeblok ya? Jadi kalau dihina-dina guru/ortu cuek saja dan pasang muka badak." Putri saya memasang wajah lucu yang berbunyi, "Mami slompretttt!" :D

It is sad, ketika masih sangat muda sudah terpikir untuk mengakhiri hidup. However, saya pernah muda (banget) dan pernah tahu rasanya skripsi ditolak oleh dosen. Saya pun tumbuh dengan nilai-nilai kompetitif yang ditanamkan dengan tidak benar. "Si A, anaknya ibu anu juara, ranking dan dapat beasiswa. Waduh ibunya bangga sekali, Mami pengen sekali punya anak seperti itu!" Itu adalah nilai-nilai yang ditanamkan pada saya sejak masih duduk di bangku SD. Apalagi saya tidak memiliki ayah, sehingga 'beban' ditambahkan sekitar 100kg, "Kamu kan tidak punya ayah! Jika kamu bodoh dan sekolah tidak selesai, mau jadi apa kamu? Mau jadi penjahat? (lalu saya membayangkan diri saya menjadi penjahat dengan brewok dan menyandang golok)". Hingga kini sisa-sisa semangat kompetisi itu yang disebut ambisi tidak sehat masih mengendus-endus dalam diri saya. Mengilik-ngilik benak saya untuk terus terpacu. Untungnya kini saya dapat memilah-milah, ambisi mana yang tepat bagi saya dan mana yang tidak tepat.

Saya juga menangis ketika pertama kali skripsi saya ditolak oleh dosen. Ketika menolak skripsi, dosen itu nyinyir sekali seolah-olah saya adalah manusia paling goblog di dunia. Saya tersinggung dan kaget! Tapi sikap buruk dosen itu hanya sebatas kotoran kuku dibandingkan kotoran gajah yang muncul dalam kehidupan saya berikutnya. Masalah yang berat dan pelik datang silih berganti dan menerpa. Sehingga apa yang dilakukan oleh dosen itu sesungguhnya adalah 'pengenalan' atau introduction, "Hey hidup ini berat man! Keep going on!" Kurang lebih itu yang dilakukan oleh dosen dengan bersikap ketus. Saya tidak pernah masuk TOP ranking tapi saya adalah student yang sangat patuh, rajin dan on time. Selalu naik kelas, ikut berbagai kursus (hingga masa kerja), menerima berbagai certificate. Jadi saya anggap kalau saya TIDAK LULUS KULIAH ON TIME = saya tidak naik kelas. Ini akan menjadi aib dan saya akan malu besar! Maka menangislah saya hanya karena skripsi ditolak. 

Bulan depannya, bulan depannya, saya goal. Tiga kali maju sidang dan saya menyelesaikan pendidikan saya dengan Index Prestasi yang lumayan (untuk bidang pendidikan yang saya tidak terlalu menyukai). Lalu setelah itu pengalaman hidup yang menghampiri bertubi-tubi. Keluar masuk kerja. Kerja di suatu tempat hingga lebih dari satu dekade dan merasa sangat kecewa. Menikah hingga hampir dua dekade dan pernah mengalami masa-masa pernikahan yang tidak mengenakkan. Punya anak yang kini hendak masuk SMA. Wow! Dalam sekejap mata semua peristiwa terjadi di hidup saya. Dan saya berterima-kasih pada dosen yang bersikap ketus serta nyinyir itu pada saya. Mungkin saya punya Princess Syndromme saat itu sehingga ketika saya berlaku manis dan sopan lalu nggak hujan-nggak angin si dosen menghunus saya dengan kata-kata sinis yang menghujam, sakitnya tuh disinih! Now, I know what life is dan yang dilakukan dosen saya? Itu hanya lelucon kecil! Kehidupan dapat menjadi malapetaka besar bagi orang-orang muda yang tak siap menghadapinya. Hidup ini tidak mudah kawan! Masalah akan selalu ada, be cool about it!

Ketika memutuskan untuk memiliki satu anak saja dan berkonsentrasi penuh padanya, saya menganggap putri saya harus dibekali dengan senjata yang sangat ampuh: CUEK! Apapun yang terjadi santai saja, jangan terbeban dan mudah depresi. Sejak kecil juga saya berusaha mengajarkan putri saya untuk bersikap mandiri. Sekitar usia 6/7 tahun ia harus ke cashier sendiri dan membayar pesanannya di MacD, kami mengawasi dari jauh. Ia sudah travelling sendiri;--mengikuti camp sejak usia sekitar 10 tahun dan perbekalan/tas ransel juga dipersiapkannya sendiri. Saya hanya berteriak: baju dua/legging satu/ kemeja/mantel/pakaian dalam secukupnya. Dan ia akan mengatur sendiri seluruh perbekalannya. Pernah sekali ia pergi camping dengan tidak membawa sikat gigi! Hanya ditertawakan oleh ayahnya, "Ih, jijay!" But that's life! Manusia selayaknya diterima sebagai manusia (Human Being) dan janganlah manusia diukur melalui kesuksesan/kemakmurannya (Human Doing).

Bagaimana orang tua mempersiapkan anaknya untuk menjadi tua juga (dewasa) itu lebih penting daripada mempersiapkan segala kebutuhannya secara materi (walaupun itu juga penting!). Menurut saya memberikan kerangka berpikir yang benar adalah harta paling berharga bagi anak-anak. Sehingga mereka menjadi orang-orang dewasa muda yang tangguh, perkasa dan bijaksana. Sering saya katakan pada putri saya, "Nona, banyak orang yang sudah tua tapi hanya umurnya saja. Sikapnya tidak bijaksana! Jadi kalau kamu ketemu orang yang tua tapi tidak bijaksana, kamulah yang harus bijaksana menyikapinya." Diberi nasihat seperti itu putri saya jadi mengerti tentang orang-orang yang bersikap menyebalkan, yang saat ini sesungguhnya hanya ada satu-dua orang saja di hidupnya. Mengenai Princess Syndromme, saya pikir saya masih merasakannya hingga hari ini. Bedanya jika dulu saya mudah menangis karena tidak dapat menerima sikap kasar orang lain sekarang kebalikannya. Saya jadi bebal. Anda bersikap apapun sebodoh saja! Saya akan tetap bersikap baik karena saya adalah seorang princess. Tringgg,.. (mengayunkan tongkat ajaib Sailor Moon). 

Sunday, June 5, 2016

Pengalaman Yang Menghidupkan

Putri saya sedang bepergian ke kota Yogyakarta dengan kawan-kawannya dalam acara perpisahan SMP. Merasa kesepian dan bosan, saya merengek pada suami, minta jalan-jalan ke pantai Carita. Permintaan ini hanya diacuhkan dan liwat bagaikan angin lalu sampai akhirnya putri saya kembali dari liburannya. Suami terus saja sibuk mengurus usaha kecil-kecilannya. Saya pikir, ya sudahlah tokh hal ini baik daripada dia sibuk mengurus bini mudanya? Benar tidak? 

Lalu saya 'mendarat' dengan sukses pada sebuah acara kebangunan rohani. Semacam workshop yang judulnya adalah "Pengalaman yang Menghidupkan" sesuai ajaran kitab suci. Saya mengeluh pada suami, "Ini bagaimana sih? Saya pengen liburan santai jalan-jalan ke pantai berdua denganmu, kok saya malah berakhir pada sebuah kegiatan rohani?? (atas ajakan teman pula)." Suami saya terkekeh geli. Karena sekalipun ia memiliki latar belakang sekolah menengah Katolik kental, semangatnya mengikuti kegiatan rohani ini itu sudah NOL BESAR, alias ogah! Malah saya yang kadang-kadang ingin tahu. Bukan karena gemar juga. Saya merasa kehidupan spiritual saya sedang dibangun oleh Tuhan sekalipun saya tidak minta. Tetapi Tuhan yang memberikan kesempatan jadi saya manut saja.

Jadilah saya batal aksi jalan-jalan ke pantai bercelana pendek, malahan duduk manis di weekend get away bersama teman-teman baru saya di acara kebangunan rohani tersebut. Di sebuah gereja nun jauh di perbatasan Bintaro sektor dua. Yang saya saja baru tahu, "Kok ada gereja di tempat plosok kayak gini? Gimana cara kesononya? Jalanan kecil, macet dan ditengah model-model perumahan developer kecil yang tata kotanya amburadul. Bikin jalan persis kayak jalanan tikus dan semut nyambung kesana kemari membuat mobil, motor seringkali terjebak macet total. Singkatnya "Madam Manja" terheran-heran. Tapi as always karena saya diajak teman, perjalanan kesana dan sepulangnya dari sana saya cukup duduk manis di mobil baru yang berAC gonjreng dan nebeng pasutri yang menjadi sahabat saya itu. Intuisi saya sebagai seseorang yang gemar menulis dan mengalami hal-hal baru membuat saya ingin tahu tentang workshop "Pengalaman yang menghidupkan."

Sebagai seseorang yang gemar membaca, memiliki banyak teman dan sesekali travelling kesana kemari, saya sedikit sinis menyikapi workshop kebangunan rohani ini. Saya merasa arogan. Halah, seminar atau workshop-workshop semacam ini sudah jamak. Banyak bingits kaleee,..  Dan jika semudah itu mengubah sikap atau sifat seseorang (hanya dengan mengikuti seminar/workshop) mudah sekali menghadirkan surga di dunia ini! Sejak jaman masih remaja saya sudah sering diracun dengan semangat MLM, yel-yel kelompok, team building di kantor, mencari jati diri dan sebagainya. Saya merasa lebih pintar dari Tuhan yang secara tidak langsung mengajak saya untuk datang ke acara semacam ini. Guarantee saya bakal garing dan terkantuk-kantuk lalu merutuk, "Kenapa saya bodoh sekali mau-maunya ikutan acara yang membosankan semacam ini?"

Memang hari pertama agak membosankan. Saya merasa 'lebih pintar' daripada fasilitator pembimbing saya. Namun kelompok sharing saya yang hanya berjumlah lima orang ternyata memiliki sifat/pribadi yang mirip satu sama lain. Empat adalah peserta dan satu orang fasilitator/pembimbing. Profesinya guru. Sementara keempat peserta juga memiliki profesi unik, pegawai kantor pemerintah, desainer pakaian, rohaniwan/pastor dan saya sendiri mantan sekretaris yang gemar menulis. Saya juga terkadang antara mau tak mau harus bercerita terbuka dengan orang-orang yang baru saya kenal dua hari. Tetapi ternyata perkenalan ini adalah buah dari perjalanan spiritual saya. Dua orang teman kelompok saya mengalami perceraian yang pahit. Yang seorang wanita kini menjadi single mom dan salah satu anaknya mengidap kelaian ADHD. Yang pria bercerai dengan istri pertama dan memiliki empat anak. Kini menikah lagi dengan istri kedua serta memiliki tiga anak. Sang rohaniwan ataupun pastor muda yang tergabung dalam kelompok kami juga menceritakan restu ayahnya yang membuat dirinya mampu menjalani pendidikan teologia hingga ke Chicago, Amerika. Ia pun belajar mati-matian untuk membuktikan bahwa ia pandai dan sanggup menyelesaikan jenjang pendidikan sesulit apapun.

Dihadapkan pada "PENGALAMAN YANG MENGHIDUPKAN", saya menjadi terdiam/ makjlebs. Ternyata dalam kelompok sharing kami, sungguh sayalah "Madam Manja" yang sangat dimanjakan oleh kehidupan! Saya merasa dimanjakan oleh suami, keluarga, sahabat-sahabat terbaik saya dan memiliki pengalaman hidup yang boleh di kata datar-datar saja semi membosankan. Konflik-konflik yang muncul dalam kehidupan biasanya berisikan keluhan, rengekan dan sifat manja saya yang secara tak langsung hanya merepotkan orang-orang terbaik yang ada disekitar saya. Sementara pengalaman hidup teman-teman kelompok sharing saya begitu luar biasa, full adrenaline, mengocok hidup keimanan mereka dan bahkan nyaris melumpuhkan. Mereka sering putus asa, luar biasa bersedih dan nyaris patah semangat dalam menjalani hidup. Workshop ini justru menunjukkan bahwa kita yang dimanjakan oleh kehidupan sejatinya harus selalu berterima-kasih pada sang Pemberi Hidup dan membagikan rahmat bahagia yang kita miliki pada sesama. Untung saja teman-teman saya berpendapat bahwa saya juga 'berguna' bagi mereka. Karena sifat saya yang lembut, hati-hati, pendengar dan memberikan kesan damai. Ahem! Mereka juga senang memiliki saya sebagai teman baru.

Saya bersahabat baik dengan Elvira, seorang wanita moslem asal Malang. Sudah bertahun-tahun kepadanya saya terbiasa bercerita tentang segala hal. Apapun dalam kehidupan ini saya merasa bebas berkisah dan ia pun menanggapinya dengan bijak. Dengan sikapnya yang berbunyi, "Gue tahu bener siapa elo! Jadi gue udah nggak heran dengan sikap loe,.." Ketika saya ceritakan tentang workshop "Pengalaman Yang Menghidupkan." Ia hanya tertawa saja, mentertawakan kekonyolan saya. Sikap saya yang berubah-ubah, yang tadinya skeptis pesimis menjadi aktif optimis. Sikap saya yang terbiasa menganggap enteng segala sesuatu pada mulanya lalu mendadak mudah terkagum-kagum pada segala sesuatu juga. Memiliki sahabat yang baik, keluarga yang baik, relasi-relasi yang stabil dan menumbuhkan itu ternyata harta yang luar biasa mahal dalam kehidupan ini. Dan banyak orang yang mencari harta tersebut!

Di akhir percakapan, sahabat saya yang menikah dengan pria India dan hidup di bagian timur laut India itu bercerita. "Win, tadi saya membeli suvenir untuk oleh-oleh. Suvenir tersebut adalah coaster (alas gelas), gambarnya sangat lucu dan berhiaskan tulisan Hindi (India). Lha kok ternyata sesampainya dirumah setelah dilihat lagi tulisan-tulisan itu isinya adalah pisuhan (makian). Tulisannya seperti DASAR ASU, KUCING GEMBEL." Saya menanggapi kisahnya dengan mati ketawa ala Madam Manja. Yah memang lucu banget! Terkadang hal-hal yang kita pikir nice and sweet dalam kehidupan ini ternyata adalah maki-makian/ pisuhan. Seperti kata salah satu teman baru saya dalam workshop yang berpisah dengan pasangannya itu, "Saya pikir pernikahan akan membuat hidup saya seperti Cinderella, ternyata..." Indeed, hidup ini tak dapat diramalkan. There's no such a thing like 'happily everafter.' Kita sendiri yang harus terus waspada, berdoa dan menciptakan surga dalam kehidupan kita, bukan orang lain. Hmm, saya akan minta suvenir coaster dari Elvira dengan judul DASAR ASU. Rasanya pas dengan suara jiwa saya. :)

Thursday, June 2, 2016

Tentang Alice Di Negeri Ajaib

Minggu lalu putri saya mengajak nonton "Alice Through The Looking Glass". Ketika kami tiba di Blitz Grand Indonesia, yang marak diputar adalah "X-Men Apocalypse". Putri saya menolak menonton X-men, "Aku nggak suka," ujarnya. Ia teringat pengalamannya memaksakan diri nonton Naruto dan Starwars yang berakhir dengan kata-kata, "Aku nggak ngerti ceritanya,.." Nyesek udah keluar duit and not so happy about the movie. Sesekali memang kami mengikuti tren, hanya ingin tahu, apa sih yang sedang berlangsung? Tapi kami tidak terlalu suka mengikuti 'gelombang besar' dan membeo dengan pendapat semua orang. Saya sendiri baru menonton AADC2 dan berpendapat, "Lho,..kok ngene?" Tetapi saya ambil positifnya saja dan menyukai semua acara wisata serta kuliner di Yogyakarta, kota tercinta tempat kampus kenangan. Hidup perfilman Indonesia!

Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ibu saya berjualan di pasar dan ia memiliki setumpuk buku/majalah tua yang bertimbun di kiosnya. Saya suka mengobrak-abrik kumpulan buku loakan tersebut walau sering dilarang oleh ibu karena berdebu. Jaman itu saya sering menemukan banyak 'harta' berupa buku-buku keren seperti serial Mahabarata bergambar (komik). Suatu kali saya menemukan buku yang sangat kuning dan buluk. Karena saya masih SD dan bukunya berbahasa Inggris, saya tidak tahu bahwa buku jadoel itu adalah buku "Alice in Wonderland." Saya hanya melihat gambar seorang gadis berambut sebahu yang bercakap-cakap dengan dua lelaki yang bentuknya seperti telur. Keduanya disebut Tweedledum and Tweedledee. Gambar itu saja sudah meninggalkan kesan ajaib bagi saya. Itulah perjumpaan pertama saya dengan Alice!

Alice In Wonderland adalah sastra klasik Inggris. Yang membuat saya terpesona dibaca pada masa lalu, dibaca pada hari ini atau dibaca pada masa yang akan datang, Alice In Wonderland selalu terasa sebagai kekinian. Abadi, bagi saya. Up-to-date terus melewati berbagai jaman. Bagaimana mungkin seseorang pada tahun 1865 mampu mengarang (berkhayal) dan menulis cerita yang ratusan tahun masih disukai dan selalu dibaca. Alice sejatinya adalah kisah kanak-kanak, buku cerita anak. Jika dibaca oleh anak-anak akan terasa bagai dongeng pengantar tidur yang imajinatif dan sangat menghibur. Tetapi jika dibaca oleh orang dewasa, kisah ini sarat pesan dan makna kehidupan. Kadang-kadang saya merinding membayangkan betapa cerdasnya Lewis Carroll alias Charles Dodgson. Charles adalah ahli matematika Inggris. Jadi saya simpulkan logika yang digunakan Charles dalam menulis sangatlah kuat. Tak terbantahkan hingga berbagai jaman. Sebab siapakah yang dapat membantah bahwa 2+1 tidaklah sama dengan 3 ?

Alice in Wonderland menceritakan tentang seorang gadis yang tertidur leyeh-leyeh dan bermimpi aneh di siang bolong. Mimpinya absurd tetapi kisahnya dapat diikuti dan dicerna sekalipun tak masuk di akal. Sebagai pembaca kita akan mendapat alasan kuat untuk kisah ajaib dalam buku tersebut, "Namanya juga orang tidur dan ngimpi, ceritanya bisa ngaco dan amburadul sesukanya. Nggak bisa diprotes!" Alice terjatuh dalam lubang gelap yang panjang karena terpesona pada seekor kelinci putih. Ia ingin tahu dan mengikuti gerak-gerik si kelinci putih yang pandai bicara itu. Jatuh ke dalam lubang tidak membuat Alice cidera atau gegar otak malahan ia menemukan makanan aneh dalam wadah yang bertuliskan "eat me" dan minuman aneh yang bertuliskan "drink me." Setelah makan dan minum, Alice berubah menjadi sebesar raksasa atau menciut sekecil semut. Dengan perbedaan drastis ukuran tubuh, Alice dapat mengatur dirinya masuk dalam lubang lain yang lebih kecil dan berpindah ke pengalaman lainnya.

Berikut beberapa petikan dari Alice In Wonderland:

“Who in the world am I? Ah, that’s the great puzzle.” -- Siapakah saya di dunia ini? Ah, ini adalah teka-teki besar. Kadang-kadang manusia hidup ala kadarnya. Tidak tahu tujuan, cita-cita atau kehendak terbaik sesuai ijin Tuhan. Siapa saya? Akan menjadi apa saya kelak?

“I can’t go back to yesterday because I was a different person then.” -- Saya tidak dapat kembali ke hari kemarin karena di masa lalu saya adalah orang yang berbeda. Seringkali manusia mengeluhkan masa lalu ini dan itu. Dulu gue begini, dulu gue begitu. Tentu saja tidak ada seorang pun yang dapat kembali ke masa lalu. Percuma dikeluhkan!

“If everybody minded their own business, the world would go around a great deal faster than it does.”-- Jika semua orang hanya mengurusi urusannya sendiri, dunia ini akan berputar jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam kehidupan akan selalu ada orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain, kepo, sok tahu dan sok ngatur. Itu sudah menjadi hukum alam di kehidupan dunia ini yang sehari berlangsung selama 24 jam.

“Where should I go?" -Alice. "That depends on where you want to end up." - The Cheshire Cat.”-- "Kemanakah saya harus pergi?" -- Tanya Alice. "Itu tergantung kemana tujuan akhirmu." Chesire Cat menjawab. -- Manusia sering membual. Saya ingin ini dan saya ingin itu. Tetapi segalanya hanya berhenti pada kata-kata tanpa upaya keras untuk mewujudkannya. Jika seseorang hendak pergi, yang pertama kali harus diketahuinya adalah tujuan. Tujuan setiap manusia berbeda masing-masing harus mampu mengukur dan mengendalikan ambisinya dengan baik.

“Have i gone mad? I'm afraid so, but let me tell you something, the best people usualy are.” -- Apakah saya sudah gila? Sepertinya iya, tetapi kuberitahukan sesuatu, orang-orang terbaik biasanya perilakunya memang gila. (Contoh : Einstein, Newton, da Vinci).