Friday, June 10, 2016

Kerangka Berpikir Yang Tidak Benar

Tadi mendapat berita melalui media #WA, seorang mahasiswa bunuh diri karena nilai ujiannya jeblok dan skripsinya ditolak oleh dosen. Foto si pemuda terpampang jelas, muda dan tampan. Reaksi saya sangat kaget dan langsung memperlihatkan berita itu kepada putri saya sambil berkata, "Untung nilai-nilai kamu memang sering jeblok ya? Jadi kalau dihina-dina guru/ortu cuek saja dan pasang muka badak." Putri saya memasang wajah lucu yang berbunyi, "Mami slompretttt!" :D

It is sad, ketika masih sangat muda sudah terpikir untuk mengakhiri hidup. However, saya pernah muda (banget) dan pernah tahu rasanya skripsi ditolak oleh dosen. Saya pun tumbuh dengan nilai-nilai kompetitif yang ditanamkan dengan tidak benar. "Si A, anaknya ibu anu juara, ranking dan dapat beasiswa. Waduh ibunya bangga sekali, Mami pengen sekali punya anak seperti itu!" Itu adalah nilai-nilai yang ditanamkan pada saya sejak masih duduk di bangku SD. Apalagi saya tidak memiliki ayah, sehingga 'beban' ditambahkan sekitar 100kg, "Kamu kan tidak punya ayah! Jika kamu bodoh dan sekolah tidak selesai, mau jadi apa kamu? Mau jadi penjahat? (lalu saya membayangkan diri saya menjadi penjahat dengan brewok dan menyandang golok)". Hingga kini sisa-sisa semangat kompetisi itu yang disebut ambisi tidak sehat masih mengendus-endus dalam diri saya. Mengilik-ngilik benak saya untuk terus terpacu. Untungnya kini saya dapat memilah-milah, ambisi mana yang tepat bagi saya dan mana yang tidak tepat.

Saya juga menangis ketika pertama kali skripsi saya ditolak oleh dosen. Ketika menolak skripsi, dosen itu nyinyir sekali seolah-olah saya adalah manusia paling goblog di dunia. Saya tersinggung dan kaget! Tapi sikap buruk dosen itu hanya sebatas kotoran kuku dibandingkan kotoran gajah yang muncul dalam kehidupan saya berikutnya. Masalah yang berat dan pelik datang silih berganti dan menerpa. Sehingga apa yang dilakukan oleh dosen itu sesungguhnya adalah 'pengenalan' atau introduction, "Hey hidup ini berat man! Keep going on!" Kurang lebih itu yang dilakukan oleh dosen dengan bersikap ketus. Saya tidak pernah masuk TOP ranking tapi saya adalah student yang sangat patuh, rajin dan on time. Selalu naik kelas, ikut berbagai kursus (hingga masa kerja), menerima berbagai certificate. Jadi saya anggap kalau saya TIDAK LULUS KULIAH ON TIME = saya tidak naik kelas. Ini akan menjadi aib dan saya akan malu besar! Maka menangislah saya hanya karena skripsi ditolak. 

Bulan depannya, bulan depannya, saya goal. Tiga kali maju sidang dan saya menyelesaikan pendidikan saya dengan Index Prestasi yang lumayan (untuk bidang pendidikan yang saya tidak terlalu menyukai). Lalu setelah itu pengalaman hidup yang menghampiri bertubi-tubi. Keluar masuk kerja. Kerja di suatu tempat hingga lebih dari satu dekade dan merasa sangat kecewa. Menikah hingga hampir dua dekade dan pernah mengalami masa-masa pernikahan yang tidak mengenakkan. Punya anak yang kini hendak masuk SMA. Wow! Dalam sekejap mata semua peristiwa terjadi di hidup saya. Dan saya berterima-kasih pada dosen yang bersikap ketus serta nyinyir itu pada saya. Mungkin saya punya Princess Syndromme saat itu sehingga ketika saya berlaku manis dan sopan lalu nggak hujan-nggak angin si dosen menghunus saya dengan kata-kata sinis yang menghujam, sakitnya tuh disinih! Now, I know what life is dan yang dilakukan dosen saya? Itu hanya lelucon kecil! Kehidupan dapat menjadi malapetaka besar bagi orang-orang muda yang tak siap menghadapinya. Hidup ini tidak mudah kawan! Masalah akan selalu ada, be cool about it!

Ketika memutuskan untuk memiliki satu anak saja dan berkonsentrasi penuh padanya, saya menganggap putri saya harus dibekali dengan senjata yang sangat ampuh: CUEK! Apapun yang terjadi santai saja, jangan terbeban dan mudah depresi. Sejak kecil juga saya berusaha mengajarkan putri saya untuk bersikap mandiri. Sekitar usia 6/7 tahun ia harus ke cashier sendiri dan membayar pesanannya di MacD, kami mengawasi dari jauh. Ia sudah travelling sendiri;--mengikuti camp sejak usia sekitar 10 tahun dan perbekalan/tas ransel juga dipersiapkannya sendiri. Saya hanya berteriak: baju dua/legging satu/ kemeja/mantel/pakaian dalam secukupnya. Dan ia akan mengatur sendiri seluruh perbekalannya. Pernah sekali ia pergi camping dengan tidak membawa sikat gigi! Hanya ditertawakan oleh ayahnya, "Ih, jijay!" But that's life! Manusia selayaknya diterima sebagai manusia (Human Being) dan janganlah manusia diukur melalui kesuksesan/kemakmurannya (Human Doing).

Bagaimana orang tua mempersiapkan anaknya untuk menjadi tua juga (dewasa) itu lebih penting daripada mempersiapkan segala kebutuhannya secara materi (walaupun itu juga penting!). Menurut saya memberikan kerangka berpikir yang benar adalah harta paling berharga bagi anak-anak. Sehingga mereka menjadi orang-orang dewasa muda yang tangguh, perkasa dan bijaksana. Sering saya katakan pada putri saya, "Nona, banyak orang yang sudah tua tapi hanya umurnya saja. Sikapnya tidak bijaksana! Jadi kalau kamu ketemu orang yang tua tapi tidak bijaksana, kamulah yang harus bijaksana menyikapinya." Diberi nasihat seperti itu putri saya jadi mengerti tentang orang-orang yang bersikap menyebalkan, yang saat ini sesungguhnya hanya ada satu-dua orang saja di hidupnya. Mengenai Princess Syndromme, saya pikir saya masih merasakannya hingga hari ini. Bedanya jika dulu saya mudah menangis karena tidak dapat menerima sikap kasar orang lain sekarang kebalikannya. Saya jadi bebal. Anda bersikap apapun sebodoh saja! Saya akan tetap bersikap baik karena saya adalah seorang princess. Tringgg,.. (mengayunkan tongkat ajaib Sailor Moon). 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.