Wednesday, November 30, 2011

Benci Bola

Sore kemarin saya BBM-an seru dengan ex. teman-teman kuliah. Pembicaraan ngalor-ngidul hingga akhirnya mendarat pada kehadiran David Beckham di Indonesia dengan LA Galaxy-nya yang memeriahkan kebahagiaan para penggemar bola di tanah air.

Beberapa teman bersemangat mengamati dari layar kaca dan memberi komentar tentang pertandingan persahabatan ini. Saya sendiri sedikit tersendat dan ogah - ogahan mendengar pembahasan tentang bola tersebut, karena saya memang bukan perempuan penggemar bola. Seandainya pun saya adalah seorang laki-laki sepertinya saya tetap bukan penggemar bola. Saya akan setia pada kegemaran menonton dance championship dan ice skating! Ha-ha..

Alasan benci bola ternyata panjang dan historikal. Jika diusut dimulai sejak masa sekolah dasar. Dimana dalam permainan kasti (bola tangan) saya selalu menjadi target pelemparan bola. Sangat menyakitkan saat bola dilempar dengan sekuat tenaga oleh seorang kawan pria pada diri saya. Jika ada pertandingan kasti semua group menolak kehadiran saya di kelompok mereka. Alasannya saya pembawa sial. Membawa kekalahan! Maka sejak itu saya benci bola.

Memasuki masa sekolah menengah pertama. Pengenalan dunia olah raga bergeser dari bola tangan ke bola volley. Lagi-lagi saya kepayahan mengikuti alur permainan bola sekalipun kini adalah volley. Jangankan bermain, aturan mainnya saja saya tidak mengerti. Boro-boro bermain dengan gaya seksi seperti yang dilakukan oleh para gadis pemain volley pantai, melakukan service awal untuk memulai pertandingan saja saya tidak bisa! Tidak ada tenaga untuk memukul bola. Jika harus memantulkan bola dengan kepalan tangan, kedua belah sisi tangan saya akan kemerahan, memar dan sakit. Sungguh olah tubuh yang menyiksa bagi saya. Bisa jadi saya keturunan woro sembodro, ha-ha!

Setelah dewasa, saya bertemu suami yang sangat 'gila bola'. Pernah kami janjian untuk pergi bersama dan saya menunggu dirinya lamaaaa... tak kunjung tiba. Khawatir akan sesuatu yang terjadi menimpa. Eh, tidak tahunya ia berhenti di sebuah lapangan dekat situ karena ada pertandingan bola antar RT. Dan tanpa sadar ia keasyikan sendiri menonton bola hingga lupa waktu lalu terlambat datang ke pertemuan kami.

Berusaha mendampingi suami, setengah terpaksa kadangkala saya coba menemaninya menonton bola di televisi. Baru dua menit saya sudah merasa gerah dan tidak betah. Tidak mengerti, mengapa dua puluh dua pria sibuk sendiri saling berteriak, saling memaki dan berlarian kesana-kemari sekuat tenaga demi sebuah bola yang menggelinding. Saya 'benci bola' dan memiliki suami 'gila bola'. Untungnya sejauh ini tidak berdampak dan menjadi permasalahan dalam pernikahan kami. Fiuhhhhhhhhhhhh!...

Tuesday, November 29, 2011

Simbah Maha Tahu

Saya memiliki koleksi scarf. Itu loh aneka selendang, syal kecil untuk dililitkan pada leher. Menurut saya mengenakan scarf itu praktis, hemat dan terlihat chic. Entah mengapa saya suka beli scarf dan sering mendapat hadiah/oleh-oleh berupa selendang-selendang semacam ini. Mungkin karena pekerjaan saya yang sekretaris. Jadi image sekretaris kompeten bisa muncul dengan mengenakan scarf? Entahlah,....

Awalnya saya kenakan biasa saja dengan cara dililitkan di leher. Lama-kelamaan rasanya kok membosankan sekali mengenakan scarf dengan cara yang sama. Saya ingin mengenakan scarf dengan cara yang berbeda-beda dan unik. Apalagi scarf saya banyak - bermacam corak - size dan model. Masakan hanya dikenakan dengan cara yang itu-itu saja? Kreatif sedikit dong!

Beberapa waktu yang lalu saya pernah melihat buku tentang aneka scarf dan cara mengenakannya. Sempat tertarik dan ingin memiliki buku semacam itu. Namun karena pertimbangan biaya dan banyaknya barang yang memenuhi rumah, saya pikir belum terlalu perlu untuk membelinya saat itu. Nah, sekarang tentu saja buku tersebut sudah habis terjual dan hilang dari peredaran (dan lagi saya masih tetap bokek serta malas mengeluarkan uang untuk berbelanja barang yang tidak mendesak. Ingat prinsip ekonomi!). He-he,..

Mendadak saya teringat tentang keajaiban dunia maya. Tentang Mbah Google yang dipuja-puji sebagai dewa maha tahu. Iseng, saya browsing tentang scarf dan cara mengenakannya.... and...voila! Serta-merta muncul sebuah website lengkap tentang scarf. Dari produk yang dijual, bahan-model-ukuran dan tentu saja cara mengenakannya. Lengkap dengan masing-masing sub judul gaya scarf serta video model yang memperagakan cara membuat simpul/ menata scarf! Wouw! Bayangkan,..

Tidak heran, sekarang kecenderungannya semua orang akan menanyakan segala perihal pada Mbah Google. Lha wong, memang serba tahu! Terpikir oleh saya, bagaimana jika lama kelamaan lalu kita mulai menggeser posisi Yang Maha Mengetahui dengan Simbah yang serba tahu itu? Lalu berdoa pada Mbah Google? Nah lho!

Monday, November 28, 2011

Tepis Harap Dan Kecewa

Expectation is the root of all heartache.
William Shakespeare

Itu nasihat bijak dari Shakespeare. Namun bagaimana? Namanya manusia pasti memiliki harapan. Terkadang tidak hanya satu, harapan berderet sangat banyak. Berharap punya banyak keberuntungan dan kenikmatan. Mana mungkin hidup tanpa harapan? Kehidupan macam apa yang tidak lagi menyenandungkan harap?

Awalnya, saya tidak mengerti nasihat Shakespeare diatas. Apa maksud nasihat dan kata-kata itu? Tentu saja saya berharap banyak dalam kehidupan ini. Tidak satu tapi seribu harapan yang tersemai di hati. Berharap suami adalah pengusaha sukses. Berharap putri saya berprestasi baik di sekolah. Berharap boss bermurah hati dan sungguh mengapresiasi saya tidak hanya sekedar dengan kata-kata. Paling tidak saya berharap agar sahabat-sahabat saya adalah teman sejati, yang mau mendengar kesedihan dan membantu ketika saya sedang dilanda kemalangan.


Nyatanya? He-he... Semua orang pasti pernah mengalami kekecewaan. Ada yang meneriakkan kekecewaannya keras-keras pada seluruh dunia. Ada yang menyangkal dan seakan tak pernah gagal ataupun kecewa. Tak sedikit yang mengarang cerita bohong hanya agar terlihat tegar dan selalu bahagia. Bermacam cara tersedia untuk mengingkari kekecewaan. Tidak ada orang yang ingin kecewa!

Saya ingin sekali memiliki cara jitu mencegah kekecewaan. Apa sih obatnya? Ternyata tidak ada! Semua orang di dunia ini pasti akan mengalami kekecewaan. Kecewa pada pasangan hidup, kecewa pada sahabat, kecewa pada anak dan kecewa pada orang tua. Bahkan bisa jadi ada yang merasa kecewa pada Tuhan.

Salah satu cara untuk mengurangi dampak kecewa ternyata adalah mengurangi ketergantungan, mengurangi harapan, mengurangi kelekatan pada apapun atau siapapun. Tidak tergantung (non dependable) ternyata adalah kunci untuk mengurangi rasa kecewa.

Berulang kali saya merasa kecewa pada kawan-kawan dan sahabat dekat. Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam gulungan masa yang berlalu. Entah terjadi di masa kecil, di masa remaja, atau kecewa pada rekan sekerja bahkan hingga merasa kecewa pada sahabat dunia maya. Seseorang yang tadinya asyik, cool, gaul, pintar, menyenangkan tiba-tiba menjadi seseorang yang mengecewakan. Tanpa alasan yang jelas. Ini adalah bentuk ketergantungan saya kepada teman atau orang lain. Buahnya, kecewa.

Pada masa kecil ketika saya diperlakukan seperti itu rasanya sedih. Dicuekkin, dibuang, tidak dianggap menjadi bagian dari komunitas. Saya jadi tertekan, melodramatis, ingin menangis, putus asa dan bertanya-tanya 'Mengapa orang lain berbuat jahat dan mengecewakan saya?' Rupanya itu terjadi karena dunia kita masih sangat kecil, muda dan sempit adanya.

Menjelang kedewasaan, saya mengalami puluhan hingga barangkali ratusan ulah teman atau sahabat yang sangat mengecewakan. Yang ingkar janji, yang mencari saya hanya jika sedang butuh, yang numpang nangis di pundak saya, yang butuh curhat rumah tangga dst. Namun disaat saya membutuhkan mereka. Banyak yang kabur, pura-pura sibuk, pura-pura tuli atau menjawab secara singkat keresahan hati yang saya yang tuliskan panjang dan berseri.

Tentu saja saya kecewa. Tetapi sekarang saya mampu berpikir,'Oh barangkali ia memang benar-benar sedang sibuk'. Atau barangkali ada sesuatu yang tengah terjadi pada dirinya dan ia memilih untuk menarik diri sejenak dari pertemanan kami. Saya coba berikan ruang -- berikan waktu -- berikan kesempatan pada orang lain (dan saya sendiri) untuk bertenang, samadi. Saya kurangi ketergantungan pada mereka, pada orang lain.

Jika sesuatu atau seseorang berharga dan Tuhan mengijinkan ia kembali dalam kehidupan kita, maka ia akan kembali. Jika tidak, move on. Kita harus berpindah dan melangkah ke bagian kehidupan selanjutnya. Manusia di dunia ini milyaran jumlahnya. Mengapa harus kecewa oleh satu atau beberapa orang? Akan selalu ada orang lain yang tersedia di kehidupan untuk menjadi orang-orang yang pantas kita sayangi dan kasihi. 


Never regret. If it's good, it's wonderful. If it's bad, it's experience.
Victoria Holt


Dari Pulau Ke Pulau

Hari ini adalah hari pernikahan Ezza, salah satu dari sekian banyak teman lama semasa kuliah di Yogya. Setelah sekian lama teman-teman terus wondering siapakah wanita yang beruntung itu? Yang akan menjadi pendamping Ezza? Ternyata pada akhirnya Ezza memutuskan untuk mengikat janji dengan wanita pujaannya.

Ezza ini dahulu 'hampir jadian' dengan sahabat wanita terdekat semasa kuliah juga, Melly. Saya dan Melly, kemana-mana selalu berdua. Ibarat teko dengan tutupnya. Melly adalah kawan wanita yang sangat baik hati, nyaris tak bercela. Andaikata ia hanya memiliki sepotong tempe pasti akan dibagi dua dan dibagikannya kepada saya. Orangnya murah hati. Saya dan Melly sekampus, sedangkan Ezza kuliah di kampus yang berbeda.

Entah bagaimana asal-muasalnya, Melly berkenalan dengan Ezza. Saya turut serta berkenalan dan pada akhirnya berteman baik dengan Ezza serta kawan-kawan sekost-nya. Kita suka keluyuran bersama dengan kelompok mereka. Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun keemasan masa kuliah yang menyenangkan bagi saya. Banyak teman-teman yang siap sedia mengantarkan dan berpesiar dengan saya dan Melly. Kapan aja dan kemana aja,... Beramai-ramai kita ke Sendang Sono, Parang Tritis, Pangandaran, Memancing, dst. Wah, tidak ingat semuanya satu-persatu, namun sungguh suatu masa yang tak saya sesali.

Salah satu buku Agatha Christie yang sangat berkesan bagi saya adalah buku 'Pria Bersetelan Coklat' (Man in brown suit). Mengapa buku ini menjadi favorit saya? Karena ada sepenggal kalimat yang hingga kini selalu terngiang dalam benak. Semua buku Agatha rata-rata kisahnya detektif serta pemecahan misteri/ kasus kriminal. Buku ini satu-satunya yang dibumbui kisah cinta dalam pengungkapan misteri. Sejak duduk di sekolah dasar, saya penyuka buku-buku semacam ini.

Kalimat kesukaan saya di buku itu adalah kalimat pembuka yang berbunyi "HIDUP INI ADALAH PERPINDAHAN DARI SATU PULAU KE PULAU YANG LAIN". Ketika saya duduk di bangku sekolah dasar bahkan menginjak masa remaja, saya tidak paham apa maksud kata-kata itu? Siapa yang pindah ke pulau? Setelah dewasa, mata hati saya terbuka dan mulai menyelami arti kata-kata itu. Melihat dari kacamata seseorang yang telah mengarungi arus kehidupan.

Melly, sekarang berdomisili di kota Semarang. Menikah bahagia, dengan seorang pria yang memiliki pekerjaan baik di perusahaan penyulingan air terbesar Jawa Tengah. Memiliki seorang anak lelaki yang tampan, sopan dan menyenangkan. Sementara Ezza setelah sekian lama berkelana di rimba metropolitan, baru hari ini memutuskan untuk berjanji sehidup semati dengan seseorang lain. Wanita yang berbeda, bukan Melly! Wanita yang ditemuinya dalam suatu perjalanan di pulau berikut dalam kehidupannya. Saya sendiri sejak lulus kuliah belum pernah sekalipun bertemu Ezza lagi, sekitar lima-belas tahun lamanya.

Hari ini saya akan bertemu Ezza kembali. Perahu-perahu kami akan tertambat di satu pulau kecil yaitu acara pernikahannya. Untuk sekian detik dalam masa kehidupan dan setelah sekian lama masing-masing berlayar di pulau-pulau yang berbeda. Melly sudah menetap di satu pulau sudut lain samudra. Hanya dapat mengirim salam bahagia melalui angin. Padahal dulu kami semua menetap di pulau yang sama, kehidupan masa kuliah kota Yogyakarta. Indeed, hidup ini adalah sebuah perjalanan dari satu pulau ke pulau yang lain! Anda sudah tiba di pulau mana?

Sunday, November 27, 2011

Kumat Fiksi Cengeng (KFC)

Suka baca? Mudah-mudahan suka. Sama seperti saya. Buku adalah jendela dunia. Kadang jika sedang menganggur di ruang tunggu dokter atau dimana aja, saya mengais-ngais bahan bacaan. Apa sajalah, majalah tua, selebaran promosi ini itu atau bahkan potongan koran. Pokoknya jika bengong sambil menunggu sesuatu lalu menemukan secarik kertas bacaan apapun itu, kekosongan jadi terisi dengan kegiatan membaca.

Beberapa kawan yang 'tukang baca' sering memberi saran agar membaca buku ini dan itu. Buku-buku yang agak berat dan menarik. Kadang saya coba ikuti. Kadang saya tidak sanggup dan hanya mampu menyelesaikan 1/2 atau 1/3 bacaan saja. Beberapa buku berupa terjemahan bahasa asing sesungguhnya menarik. Namun karena merupakan hasil terjemahan jadi 'hambar' rasanya, sedikit membingungkan karena ada perbedaan dalam konteks bahasa. Hal ini terkadang membuat saya lelah mengikuti dan malas membaca.

Menurut saya, bacaan bagaikan 'air sejuk' pembasuh jiwa manusia. Lebih banyak membaca maka akan lebih memuaskan dahaga kita. Tidak semua orang senang membaca, tapi saya mewajibkan diri membaca dalam jangka waktu tertentu. Saya butuh sesuatu untuk dikunyah dan diproses oleh otak. Buku tebal pertama yang saya baca adalah serial Lima Sekawan, 'Misteri logam ajaib'. Lucu, bagaimana saya masih ingat dengan jelas tentang buku itu, yang saya tuntaskan membaca ketika duduk di bangku kelas 3 SD. Sejak itu saya jadi penggemar Enid Blython.

Bacaan saya melompat-lompat. Dari novel misteri, kisah cinta, thriller, dst. Sewaktu saya duduk di bangku taman kanak-kanak, nenek sengaja berlangganan majalah Bobo untuk menyenangkan saya (miss you so much, nenek..!). Dalam keadaan belum bisa mengeja dan membaca, saya justru menambah kerjaan nenek. Memaksanya untuk membaca bagi saya tiap kali majalah Bobo datang. Paling disuka adalah kisah keluarga Bobo dan Bona gajah kecil berbelalai panjang. So sweet, hingga hari ini mungkin ribuan atau bahkan jutaan anak kecil masih sangat mencintai Bobo!

Kian dewasa tentu saja jenis buku yang saya lahap makin beragam. Tak dipungkiri, ada beberapa jenis buku yang sedikit lambat bagi saya dalam proses membaca dan mendalaminya. Novel-novel psikologis macam Dunia Sophie, kisah Sybill (The 16 Personalities of Sybill) juga membuat saya juga sedikit terlunta dalam membaca. Untuk buku misteri (semi roman), thriller macam Sydney Sheldon, John Grisham, Mary Higgins Clark, Sandra Brown, Dan Brown, adalah menu kesukaan yang cepat saya lahap.

Nah, acapkali diwaktu senggang rasanya iseng ingin makan 'snack' betul nggak? Diantara banyaknya koleksi bacaan tersebut, sesekali ingin juga membaca sesuatu yang ringan dan gampang dicerna. Jadilah saat ini saya sedang gemar-gemarnya KFC. Kumat Fiksi Cengeng. Membaca novel - novel roman yang super segar, gurih-renyah dan kriukss layaknya keripik. Aneka serial romantis dari Barbara Cartland, Nora Roberts, Rebecca Winters dll. Yup,.. siapa sih yang menolak terlibat kisah romantis dengan pengusaha triliuner seperti dalam novel roman 'Manhattan Transfer' -- sesekali KFC, asyik banget!

Apa Yang Salah Pada Gambar?

Saya memiliki seorang kawan yang saya idolakan dan hormati. Seorang senior. Segala hal tentang beliau boleh dikata adalah serba positif' - serba berorientasi pada kebaikan. Beliau selalu berusaha agar tak berkata buruk tentang orang lain ataupun membahas kejadian - kejadian buruk apapun juga. Selalu mencoba melihat pada sisi terangnya, the bright sight! Ujarnya.

Wah! Ini nih,... teman yang layak dijadikan panutan, suri tauladan dan patokan dalam disiplin laku diri. Yah, disiplin dalam berucap dan bertingkah laku. Bagaimana tidak salut? Jika seseorang berkisah tentang A yang malang, beliau akan menjawab 'Akh,..kalau A sih orangnya tegar. Dia bakal kuat menjalani ini semua... Sangguplah seorang seperti dia menjalani tragedi semacam itu!' Lalu jika kita berkomentar tentang kejadian B yang agaknya mengecewakan, beliau spontan menimpali, 'Kejadian B hanyalah bagian dari pelajaran kehidupan bagi kita. Dengan menjalani ini saya yakin kita semua justru akan kian dewasa dan lebih mumpuni.'

Begitu bijak, adem dan menentramkan hari. Semua indah dan nikmat adanya dalam naungan seorang sahabat macam beliau. Lalu sepuluh tahun berjalan, merambat lewati berbagai masa dan peristiwa yang membuat saya kian berbeda. Dan kawan ini masih mendengungkan hal-hal yang sama. Masih memberi nasihat yang sama, masih memberikan aura positif yang sama. Tapi ia masih pula duduk di kursi singgasana yang sama, posisi sama, jabatan sama, pekerjaan sama. Memiliki teman - teman yang sama dan suasana kehidupan yang kurang lebih sama pula. Terus-menerus sama, tidak ada perubahan.

Kelihatannya sih tidak ada yang salah! What is wrong in the picture? Saya! Saya yang mulai mempertanyakan label idola terhadap beliau. Saya mulai terhenyak pada kenyataan yang terlihat di kacamata minus saya. Rupanya lagu yang sama selalu disetel berulang - ulang dalam irama yang berbeda-beda oleh beliau ini. Kadang irama gambus, kadang irama seriosa di lain waktu irama dangdut. Tapi kata-kata yang sama, nasihat yang sama, angin surga yang sama. Jujur, saya mulai bosan! Kawan ini tampaknya memanipulasi kebaikan yang tidak membawa kebaikan. Bahkan kebaikannya tidak kemana-mana hanya jalan ditempat. Kebaikan yang hanya berguna bagi dirinya sendiri.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya berpikir tentang kawan yang mulai terlihat laksana robot hidup ini. Menyetel lagu yang sama, dari tempat yang sama. Hanya saja iramanya bervariasi tergantung siapa yang akan mendengar dan topik apa yang sedang in! Saya mulai traumatis pada kata-kata yang terlalu sering diucapkan. Jika ingin berlaku bijak belajarlah pada padi, jika ingin berlaku cerdik bertanyalah pada kancil dan jika ingin selalu berlaku positif jangan lupa follow Pak Mario Teguh. He-he

Menjadi manusia yang baik, bijak dan positif sungguh merupakan tujuan dalam mendewasakan diri. Namun jika semua itu hanyalah sekedar atribut agar eksis, sekedar omong kosong agar diterima, sekedar empati pura-pura agar dikagumi oleh orang lain, saya rasa itu adalah kebohongan. Tong kosong dan kacang goreng yang dijual dalam bungkus menarik. Banyak orang gemar menipu diri mereka sendiri. Sedemikian hebat mereka meyakini bahwa seperti itulah mereka (dan tidak bisa lebih baik lagi!). Orang-orang ini menyangkal pantulan dirinya dalam cermin. Menyangkal kerut yang mulai berganyut dirambati waktu tanpa adanya perubahan berarti. Lalu menyambut masa depan sambil bersantai makan kacang goreng. Hmmmph!....

Saya sendiri baru saja berkaca. Aih, ada jelaga di pipi saya! Jadi malu,.... Mengkritik orang lain boleh-boleh saja, namun yang pertama kritik diri sendiri terlebih dahulu.


Friday, November 25, 2011

Rite..! Write..!

Menulis, menulis dan menulis,....Itu yang didengungkan rekan-rekan sesama penulis ketika saya bertanya. Bagaimana sih caranya menghasilkan tulisan yang baik? Bagaimana cara agar selalu produktif dalam menulis? Menulis, menulis dan menulis,....

Rite! Mana mungkin menjadi penulis kalau jarang sekali menulis? Siapa yang baca, mengkritisi dan berusaha memahami tulisan kita kalau tak pernah menulis sama sekali? Jadi biasakanlah diri menulis-menulis dan menulis....

Ketika menulis menjadi terbiasa, hal lain muncul. Keterbatasan waktu dan perasaan hati. Kapan waktunya menulis kalau ada saja hal lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menulis? Ada setrikaan yang menumpuk, ada anak yang masih harus diasuh, ada suami yang harus diperhatikan. Belum lagi mood yang jelek. Apa yang harus ditulis ketika keadaan seperti ini?

Masakan menulis isinya hanya curhatan 'nyampah', segala tetek bengek dan keresahan jiwa ditampilkan? Menceritakan hal-hal yang bikin gondok dari A hingga Z. Atau menulis menceritakan kesuksesan diri sendiri berhasil meraih ini, itu dan seterusnya. Berhasil kesana kesitu dan sebagainya. Apa sih yang membuat kekuatan sebuah tulisan? Si penulis? Peristiwanya? Gaya tulisan?

Ternyata benar! Menulis itu kombinasi dari semua perasaan jiwa, bahkan dari perasaan tanpa rasa (nggak mood) seperti sekarang yang saya lakukan. Bisa saja menjadi sebuah tulisan. Menulis sama dengan ekspresi coretan kuas bagi pelukis, menulis sama dengan menghias gula pada kue tart bagi pembuat kue. Menulis adalah 'suara jiwa' dari si penulis. Dari situ tulisan akan layak baca dan bernyawa.

Sebenarnya dari tulisan dapat terlihat jiwa si penulis, karakter pribadi si penulis. Ada yang gaya bahasanya demikian 'anak muda'. Ada yang gaya bahasanya super jadoel. Ada yang suka memberi nasihat macam-macam. Ada yang kerjanya marah-marah melulu. Ada yang segala macam diceritakan dari cucian yang belum kering hingga sepatu yang hilang di gondol kucing (misalnya!). Menarik bukan..? 

Pembaca akan menilai sendiri mana penulis yang menarik minat mereka. Hasil tulisan dinilai dari opini para pembaca. Terkadang ada yang pro dan kontra, terkadang ada yang suka dan benci. Terkadang tulisan bahkan menjadi bahan perdebatan panjang karena sebagian pembaca tak setuju atau tersinggung dengan apa yang ditulis. Yang lainnya merasa sah-sah saja dan menerima tulisan tersebut. Opini terbanyak menentukan kelayakan sebuah tulisan.

Saya paling malas baca tulisan yang terlalu panjang dan bertele-tele. Apalagi jika banyak mengandung istilah yang hanya familier bagi si penulisnya sendiri. Yang kedua juga malas membaca perdebatan si A dan si B, yang merasa terhina satu dengan yang lainnya. Yang terakhir saya suka bingung dengan tulisan bergaya bahasa yang sedemikian agung hingga hanya beberapa orang yang mengerti dan memahami apa yang dituliskannya. Sepertinya saya butuh mediator untuk memahami makna tulisan tersebut.

Maka dari itu, saya selalu menulis sebagai diri sendiri. Menuliskan hal-hal yang simple, dipandang dari sudut pandang yang mudah dan berusaha mengedepankan kebaikan di dalam tulisan. Kita tak pernah tahu siapa pembaca kita. Bisa jadi seseorang yang sedang putus asa atau seorang kanak-kanak, remaja yang tak tahu apa-apa. Saya berharap bahwa tulisan saya tidak menyesatkan di rimba kehidupan yang hiruk-pikuk ini, sebaliknya mampu menjadi dian yang menyala.

Rite..! Write..!

Thursday, November 24, 2011

Seujung Kuku

Hari Rabu lalu ada kejadian kecil yang membuat saya berpikir besar. Kejadiannya konyol dan tak masuk akal. Siapapun yang mendengar akan berkomentar, "Bagaimana mungkin seseorang dapat masuk dalam situasi bodoh yang terkesan mengada-ada seperti itu!" Mungkin saya termasuk orang bodoh yang sering terlibat hal demikian.

Saat sedang berada di rumah saya berlaku ceroboh. Jemari tertusuk pecahan kayu dari pintu rumah secara tak sengaja. Ketika tergesa-gesa membuka pintu. Serpihan kayu yang kecil mungil dan tipis menusuk langsung ke dalam jempol tangan kanan. Terselip diantara kuku dan daging! Bayangkan perihnya seperti apa? Serpihan kayu itu sangat kecil namun ketajamannya mampu melukai daging. Terasa mengganggu.

Saya langsung berusaha menggunting kuku dan mencongkel-congkel serpihan itu sendiri. Berharap potongan kayu dapat segera keluar dari jemari tangan. Sayangnya serpihan itu tertanam cukup dalam dan membandel. Tidak dapat dicongkel keluar dengan cara apapun juga. Karena hari sudah larut malam, saya pikir sudahlah diamkan saja, tokh hanya sepotong serpihan kayu kecil. Besok pasti akan sembuh sendiri dan tidak terasa sakit. Jika ujung kuku sudah memanjang serpihan kayu pasti akan terdorong keluar dengan sendirinya.

Esok harinya ternyata jempol menjadi bengkak dan memerah. Terjadi infeksi! Akhirnya saya menuju ke rumah sakit. Sesungguhnya hanya kasus 'seujung kuku' namun kasus jemari saya dianggap sejenis kejadian emergency. Maka digiringlah saya ke dalam ruangan emergency. Dokter lalu mencoba mengeluarkan serpihan kayu itu dari kuku. 

Pertama kalinya saya tidak dibius sama sekali! Seorang dokter senior berkomentar, "Cuma masalah kecil, congkel saja langsung serpihan itu dengan pinset!" Kali ini bayangkanlah sakitnya kayak apa? Kuku dicongkel agar terbuka? Pernah menonton film tentang siksaan terhadap tawanan, terutama dalam film perang? Nah, yang saya rasakan kurang lebih adalah sama. Bagai pesakitan di kamp tahanan perang. Menangis dan menjerit. Akhirnya mereka menyuntik jemari saya hingga mati rasa dan mulai mencongkel kuku saya sedikit untuk mengambil serpihan kayu yang tertusuk di jemari sejak sepuluh jam sebelumnya. Setelahnya dokter bahkan menyuntik dengan anti tetanus dan memberikan antibiotik serta menyarankan saya minum panadol untuk mencegah jika terjadi demam.

Wow! Demikian besar efek karena seujung kuku yang terluka oleh serpihan kayu. Kejadian itu membuat saya tersadar. Membayangkan bagaimana penderitaan orang-orang yang menjadi tawanan perang? Bagaimana penderitaan orang-orang yang mengalami kecelakaan--tersesat dihutan--teraniaya-- dan sebagainya? Peristiwa 'seujung kuku' membuat saya bersyukur bahwa apa yang terjadi pada diri selalu merupakan hal-hal kecil yang konyol. Bersyukur atas kebaikan Tuhan dengan segala apa yang ditakdirkannya menimpa diri. Bisa saja saya mengalami hal yang lebih buruk. Kejadian ini membuat saya lebih menyadari arti empati dan simpati terhadap kesusahan atau penderitaan orang lain sekecil apapun itu. Bukankah sebaiknya begitu?

Change one thing, change everything - The Butterfly Effect