Monday, June 30, 2014

Perjalanan Baduy Dalam I

Mendadak seorang kakak kelas mengirim pesan text, "Ingin ikut perjalanan ke Baduy atau tidak?" Baduy? Suku yang begitu tersohor dengan kesetiannya pada tradisi. Sudah lama saya mendengar tentang suku Baduy. Namun berkesempatan melihat dan mempelajari kehidupan mereka dari dekat rasanya seperti mendapat durian runtuh. Apalagi diajak oleh teman dari komunitas sekolah dulu. Entah mengapa, saya percaya ajakan dari teman adalah petunjuk Tuhan. Bahwa Ia meminta saya untuk melakukan sebuah perjalanan. Menemukan sesuatu di kehidupan. Maka setujulah saya turut serta.

Biaya relatif tidak mahal dan waktunya juga tidak lama, hanya sekitar dua hari, 21 - 23 Juni 2014. Ketika menyampaikan gagasan bepergian menengok suku Baduy dalam, seorang kawan sempat mengingatkan mengenai suasana mistis yang melingkupi perkampungan tersebut. Dengan maksud baik, ia mengingatkan saya agar waspada dan tidak berlaku sesukanya karena ada banyak pantangan yang dilarang di perkampungan suku Baduy.

Saya sedikit menentang gagasan tersebut karena yang saya harapkan dari perjalanan ini hanyalah wisata budaya dan bukan berpikir tentang tujuan spiritual yang sifatnya berlawanan dengan sifat Tuhan. Meskipun pada prakteknya saya amati beberapa kawan memang memiliki harapan spiritual khusus dengan berkunjung ke Baduy dalam. Namun saya tidak pernah menginginkan sesuatu secara khusus. Yang ada dalam hati hanya kehendak untuk melihat seperti apa mereka dan bagaimana kehidupannya. Wacana liburan dan pesiar mewah bagi saya lebih baik tergantikan dengan hasrat berpetualang di alam yang masih murni. Saya ingin tahu, maka saya akan pergi.

Pada hari yang ditentukan kami berkumpul dengan kelompok atau rombongan wisata Baduy di CITOS, Jaksel. Kelompok ini dipimpin oleh Ibu Haslinda dan Ibu Iyeng selaku pemandu wisata. Ketika membaca brosur, saya tidak menyangka bahwa Iyeng adalah nama seorang wanita. Saya pikir Iyeng adalah nama pria. Uniknya lagi Iyeng juga kakak kelas saya dengan jeda angkatan yang cukup jauh. Mengagumkan untuk diamati betapa kedua wanita ini begitu mencurahkan energinya untuk mencintai serta mempromosikan kelestarian budaya Baduy. Ibu Iyeng selaku dosen juga tengah menulis buku tentang suku Baduy.

Rombongan rupanya terbagi empat. Yaitu rombongan saya dan kedua kakak kelas wanita yang lain. Rombongan Ibu dari Bekasi. Pasangan suami istri dan rombongan mahasiswa S2 UNDIP jurusan Hukum. Mereka tengah mempelajari Sosiologi Hukum dan efeknya. Digawangi oleh dosen Ibu Professor Ismi. Total rombongan mahasiswa sekitar 17 orang dan rombongan non mahasiswa 11 orang. Sebelum berangkat Ibu Linda memberi wejangan khusus dan mewanti-wanti agar kami tidak berlaku sembarangan dan sesukanya saat tiba di Baduy nanti. Jujur dalam bayangan saya, sepertinya suasana Baduy sangat sakral dan sedikit menakutkan. Ada keraguan apakah saya akan menyukai perjalanan ini? Begitu banyak pantangannya. Ibu Iyeng lalu membagikan garam dalam sebuah wadah, lalu semua peserta diminta untuk mencomot dan mencicip garam. Ini adalah salah satu prasyarat sebelum berangkat. PNP, percaya tak percaya namun karena ini adalah permintaan pimpinan rombongan. Maka saya ikuti.

Perjalanan dimulai dengan iringan empat mobil. Satu mobil kami, dua mobil mahasiswa, kemudian satu mobil ibu-ibu dari wilayah Bekasi. Mobil kelima yang merupakan mobil dari pasutri Mas Janta dan Mbak Susan bergabung dengan kami di wilayah Serpong. Mas Janta juga kakak kelas saya, beda angkatan jauh. Dia lulus SMA, saya lulus SD. Haha! Kelima kendaraan kemudian berjalan berurutan menuju wilayah Serang. Perjalanan tidak mudah karena lima kendaraan harus saling memperhatikan. Mobil kami memimpin didepan sementara yang lain mengikut di belakang. Mendung mengganyut, Ibu Iyeng kemudian membuang sejumput rempah di jalanan. Menurutnya rempah itu akan membantu menahan turunnya hujan dalam perjalanan kami menuju Baduy. Awalnya saya tak mengerti mengapa hujan menjadi masalah besar dalam perjalanan menuju Baduy?

Pada jam makan siang kami tiba di warung seafood Bu Entien Serang. Hujan deras mengguyur. Kami semua berlarian menggunakan segala cara agar dapat segera terhindar dari hujan dan masuk ke rumah makan. Warung Bu Entien ini sederhana, biasa saja namun ramainya luar biasa. Hidangan yang disajikan berupa seafood. Sate cumi yang besar dan gemuk, lalu sate udang dengan ukuran yang sama montoknya, bakwan udang, ikan dan sayur trancam. Sebenarnya saya alergi berat terhadap seafood selalu gatal dan memerah jika mengkonsumsi seafood. Namun sulit menolak godaan ini hingga saya pun turut menikmati seafood menggiurkan itu. Menurut kabar harga makanan memang cukup mahal, namun rasa seafoodnya tidak mengecewakan. Yummy!

Setelah makan siang, perjalanan berlanjut menuju Baduy. 

2 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.