Friday, January 15, 2016

Hidup Dalam Genggaman Jemari

Tidak dipungkiri, kehidupan ini misteri. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Roda berputar. Sebentar dibawah, sebentar diatas. Hari Kamis kemarin, suami mengajak jalan ke Tanah Abang untuk ketemu dengan teman usahanya. Hanya usaha kecil-kecilan, yang penting jujur dan gembira melakukannya. Kadang saya menemani, karena perjalanan jauh dari Serpong ke Tanah Abang. Kasihan kalau sendirian. Seringkali macet. Herannya kemarin perjalanan lancar sekali. Sejak dari Serpong hingga tiba di tujuan sekitar jam 10.20 sembari menghindari waktu 3in1. 

Foto : Tribun
Setelah makan pagi jelang siang sekitar pukul sebelas liwat, saya berpisah dengan suami. Dia pergi menemui temannya dan saya pergi ke sebuah pusat grosir ketrampilan. Saya menikmati berjalan-jalan di pasar kain dan pusat benda-benda kerajinan, karena saya memang penggemar. Masalah ketrampilan, kadang-kadang saya 'serakah'. Ingin punya keahlian membuat patchwork. Ingin rajin menjahit cross stitch. Ingin pandai merajut. Pokoknya macam-macam! Dan suami sudah sebal karena peralatan ketrampilan saya kebanyakan teronggok tak berguna dengan alasan, 'ternyata saya tidak sempat mengerjakannya' sambil pasang wajah tak berdosa karena sudah melakukan pemborosan nasional dalam rumah tangga. Siang itu saya memutuskan bahwa saya ingin: belajar membuat asesoris. Bisa kalung, bisa gelang. He-he,..

Dengan khidmad saya masuk ke sebuah pusat ketrampilan yang sangat besar. Ribuan jenis manik-manik dan segala benda supply untuk ketrampilan ada disitu. Saya asyik meneliti satu demi satu manik-manik yang dijual. Saya sempat pula melihat aneka plier (tang) yang merupakan alat khusus untuk membuat asesoris dan sedang berpikir betapa mahalnya harga satu set plier yang mencapai jutaan. Mungkin barang impor? Tapi ada pula yang dijual satuan dengan harga puluhan ribu. Saya berpikir lagi. Beli atau enggak ya? Tapi kan saya belum belajar cara membuat kalung dan gelang? Masih bingung pula bahan manik-manik yang harus saya beli. Yang mana? Berapa banyak? Sementara itu rupanya tak jauh dari tempat saya termangu-mangu berpikir untuk membeli tang satuan atau satu set, banyak orang sedang heboh berkerumun. Puluhan terluka. Beberapa tewas di tempat. Dan saya masih terus berpikir. Mungkin saya beli paket kerajinan cross stitch dulu saja? Hidup terus berjalan bagi masing-masing orang,....

foto:okezone
Karena takut disemprot suami lagi untuk 'pembelanjaan yang belum perlu,' saya memutuskan untuk meredam gairah belanja dengan berjalan-jalan keluar dari tempat itu. Melihat-lihat toko lain dan kreasi aneka asesoris yang sudah jadi dan dipasarkan. Ketika tiba-tiba saja saya berpapasan dengan pria muda berbaju batik yang menelpon keras-keras, "Betul Pak. Gara-gara bom kita jadi saling menilpon,... Silaturahmi lagi. Benar, untuk proyek tersebut, nanti ada yang mengantar Bapak untuk melihat-lihat lokasi." Telinga saya berdiri, seperti kucing yang ragu-ragu, nyolong ikan atau enggak ya? Bom kapan? Bukannya udah jadoel ituh urusan Bom?...

Kesempatan berikutnya saya berjumpa dengan perempuan berkacamata yang menenangkan kawan-kawannya, "Bukan disini. Ini mah pasar! Yang diserang tempat-tempat seperti Starbuck...Pokoknya segala macem Starbuck!" Lagi-lagi telinga kucing saya berdiri dan terheran-heran. Lalu saya baca notification status seorang teman di FB, feeling worried. Kebetulan Mamanya sedang kurang sehat. Saya pikir, apakah dia sedang mengkhawatirkan kondisi mamanya? Sayang koneksi internet saya di pasar kain itu begitu buruk sehingga saya tidak berhasil membuka halaman facebook. Tapi keadaan semakin aneh ketika semua, semua,.... Semua orang yang saya jumpai berikutnya. Semuanya asyik dengan telepon genggam masing-masing. Aya naon? Mosok mendadak semua orang kompak mainan hape? Saya baru menyadari betapa besarnya kecintaan publik Indonesia pada benda yang bernama HaPe! Jemari mereka asyik memencet tombol-tombol. Gairah kehidupan memancar dari ketekunan meneliti HaPe. 

Foto: Path
Ketika akhirnya ketemu suami dan temannya saya langsung bertanya ragu-ragu, "Memangnya ada bom lagi?" Andra adalah teman usaha suami saya. Usianya mungkin di awal dua puluh tahun, atau akhir belasan. Ia menjawab santai, "Ada. Memang ada bom,..." Terus saya bertanya dengan santai lagi, "Nggak ada yang meninggal kan?"... Seorang bapak-bapak bertubuh gemuk yang ada di dekat Andra menjawab spontan, "Ada polisi yang meninggal." Saya terbelalak kaget. Bapak itu menambahkan, "Hingga sekarang ada tiga orang yang mati." Saya makin terbelalak antara percaya tak percaya. Saya pikir tahun ini sudah mencapai target, Indonesia damai, loh jinawi. Kok seperti ini terjadi lagi? Andra dengan gaya belianya asal ceplas-ceplos, "Kalau saya santai. Kalau sudah ajalnya ya sudah. Kita terima. Lalu polisi memang harus siaga. Daripada selalu menghabiskan waktu hanya dengan ngopi-ngopi saja di pos?" Gyaaaaah! Ini saatnya saya minjem gaya orang Korea menjerit. Dasar Andra, anak muda, suka asal bicara!

Lalu setelah itu rentetan kisah dan foto bom Sarinah mulai merasuki hidup saya. Postingan tentang Bom Sarinah tersebar dimana-mana. Di Facebook dan dalam group sosial media. Foto seorang polisi terluka yang hanya mengenakan celana dalam. Kerumunan massa yang menonton di perempatan Sarinah dan Djakarta Theatre. Terakhir foto tukang sate yang semangat dagang tetap membara walaupun lima orang baru saja meninggal di TKP dan puluhan lainnya luka-luka. Kemudian foto polisi-polisi ganteng yang muncul beraksi bagaikan Will Smith dan Martin Lawrence dalam Bad Boys. 

Berikutnya sahabat saya mengirim pesan dari luar negeri, "Win.... kamu dimana? Cepat pulang!" Saya menjawab santai, "Tunggu bentar tanggung, masih ada urusan belanja." Orang-orang mulai panik dan banyak yang kabur pulang dari pasar kain/kerajinan. Tapi saya masih tetap dirayu oleh pikiran, jadi beli tang plier aseoris atau enggak ya? Kapan hendak dibeli? Gyaaaaah! Hidup memang terpapar dalam genggaman jemari. Semua kabar tersiar cepat dalam satu postingan di sosial media. Begitu cepatnya, viral, apapun yang terjadi sebarkan. Mungkin yang kurang kita sadari adalah hidup ini sesungguhnya dalam genggaman jemari tangan Tuhan. Satu jentikan jemari dan Dia akan menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati. Turut berduka untuk semua korban luka dan tewas dalam kejadian bom Sarinah -14/01/2016. Namun #kami tidak takut!

Foto : Humas Kemenpar

5 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.