Saturday, November 28, 2015

Rasionalitas Versus Kehendak Tuhan

BUKU ADALAH JENDELA DUNIA, katanya demikian. Buku membuka indera perasaan Anda bukan dalam hal fisik, meraba kasar dan halus permukaan sebuah benda. Tetapi dalam hal spiritual, meraba kasar dan halus karakter seseorang. Meraba kasar dan halus sebuah permasalahan dalam kehidupan. Saat berbicara dengan seseorang yang cukup rajin membaca buku, maka akan terasa lebih mudah melakukan komunikasi dan interaksi. Dikarenakan orang tersebut terbiasa membuka pola pikirnya pada hal-hal baru. Namun ada pula seseorang yang banyak membaca dan oleh karenanya menjadi angkuh serta tak boleh diganggu-gugat pendapatnya. Ini dikarenakan memang sifat bawaan. Ada orang yang mengerti bahwa membaca harus membuatnya kian rendah hati karena luasan pengetahuannya melebihi orang-orang lain. Tetapi ada yang merasakan membaca membuatnya kian pintar dan harus menggurui orang-orang yang lainnya. Persepi tentang membaca patah jadi dua. Bermanfaat atau mencelakakan? 

Saya tersentuh ketika pertama kali membaca "GUNUNG KELIMA" karya Paolo Coelho. Ceritanya diambil dari bagian kitab suci dan dinovelkan sedemikan rupa sehingga seperti hidup dan membiuskan kesadaran atau pemahaman baru. Ketika membaca novel itu, saya berpikir bahwa ternyata pergulatan hidup ini memang berat dan semua orang diminta untuk terus berjuang. Tanpa henti. Bahkan Tuhan sendiri yang 'menantang' hidup kita dengan aneka cobaan. Benar kan? Hidup ini disebut anugerah karena dalam kehidupan kita diberi kesempatan untuk melakukan apa saja dan menjadi apa saja. Makanya hidup ini memang perjuangan tetapi seharusnya indah. Indah gimana Bu, kalo di kehidupan ini bawaannya sial dan apes melulu. Terus tersenyum dan ketawa-ketawa dibawa happy, bukannya malah sudah gila? 

Seorang sahabat membeli novel tersebut, GUNUNG KELIMA dan langsung menghadiahkannya kepada saya setelah membaca beberapa lembar halaman depan. Nggak suka ceritanya! Membingungkan! Saya menerima novel itu seolah sekantung permata. Karena saya sangat menikmati cerita-cerita Coelho. Saya suka pintu kesadaran yang dibukakan dengan membaca. Jujur, dulu ada masanya saya nggak tahan dengan orang yang bodoh (saya tidak menguasai ilmu-ilmu eksakta karena saya tidak suka, tapi saya pikir saya cukup menguasai ilmu-ilmu sosial karena suka), diajak ngomong nggak nyambung. Ngotot pula! Tetapi sekarang saya berpikir, mereka kurang membaca barangkali? Atau kalaupun sudah membaca juga tidak mampu menyerap intisari bacaannya dengan baik? Atau bisa juga membaca hal-hal yang tidak berguna? Entahlah. Tetapi sekarang saya tidak ambil pusing. Kalau mengobrol nggak nyambung ya memang alamnya beda. Situ silahkan kesana dan saya kesini. 

Dengan membaca penalaran dibukakan. Menurut saya bacaan yang paling utama sesungguhnya adalah kitab suci. Apapun agama yang dipeluk. Membaca kitab suci terlebih dahulu, menyatukan suara hati dengan apa yang tercantum disitu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Ketika kita diberikan masalah oleh Tuhan, itu artinya kita harus memetik suatu pelajaran. Dalam sebuah badai kehidupan ketika kita keluar, kita tidak lagi menjadi orang yang sama. Kita telah berubah! Kenapa permasalahan disebut UJIAN? Karena apa yang tertulis di kitab suci seharusnya pasti ada yang menjadi 'contekan' jawaban dari UJIAN kehidupan tersebut. 

Kitab suci adalah buku besar yang paling utama, berisikan semua ajaran yang diperlukan untuk bertahan hidup. Seorang teman terus mengeluhkan masalah yang sama, mengaku telah berdoa secara rutin. Tetapi ia tidak juga mendapatkan jawaban. Terlebih ia tidak mau beringsut menjauh dari titik semula karena harus mengedepankan 'rasionalitas.' Ia tidak mau keluar dari zona nyaman, tidak mau melakukan perubahan dan tidak mau mencoba hal baru. Saya jadi bertanya-tanya, benarkah yang dilakukannya adalah rasional? Rasionalitas memang penting. Sebelum menyeberang jalan tengok kanan dan kiri. Tetapi ketika kehendak Tuhan terjadi, saat menyeberang ada yang mendadak liwat mengebut, maka celakalah kita! Kehendak Tuhan diatas rasionalitas. Kehendak Tuhan adalah misteri yang harus dipecahkan oleh si manusia sendiri. Rasionalitas hendaknya dibarengi dengan doa-doa yang memperkuatnya. Selama seseorang ngeyel dan ngotot, merasa paling tahu apa yang terbaik dan rasional bagi dirinya sendiri maka kehendak Tuhan akan terhambat menghampirinya. Saya bukan orang yang pandai tetapi ada satu kalimat dalam buku besar agama saya yang kata-katanya demikian, "Aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku menurut kehendakMu." Lalu masih adakah rasionalitas ketika hidup seharusnya kita biarkan mengalir sekehendak Tuhan?

Refleksi diri : Selesai membaca buku "PRAY: LET'S DO IT", author : Marvin McKenzie

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.