Showing posts with label Catholic. Show all posts
Showing posts with label Catholic. Show all posts

Monday, December 14, 2015

Beribadah Secara Kompleks

Waktu kecil saya tidak punya agama. Hanya ikut-ikutan saja. Panjang ceritanya dan rumit. Singkatnya sekarang saya Katholik. Ke gereja sekali dalam seminggu. Setiap kali saya ke gereja ada pengalaman iman yang tidak biasa. Selalu terjadi hal yang aneh-aneh. Seolah di gereja itu diperlihatkan banyak hal yang tadinya tidak terlihat di mata saya. Minggu lalu adalah salah satu ibadah teramai yang saya hadiri. Yang namanya anak-anak balita banyak banget dan berlarian di dalam ruangan. Pertanyaannya: bagaimana orang bisa berdoa kalau anak-anak segini banyak lari kesana-kemari? Ada yang duduk menggambar dan mewarnai di meja depan mimbar! Ada yang menyanyi keras-keras lagu TK 'are you sleeping--are you sleeping brother john?? brother johhhn? morning bells are ringing....' Beribadah dengan cara seperti ini judulnya 'jambak rambut.'

Yang kedua, paduan suaranya kompak fales! Jarang ada paduan suara fales, tapi kali ini entah bagaimana latihannya atau siapa pelatihnya, para peserta koor menyanyi dengan suara 'merepet.' Jadi menyanyi itu kan didengungkan dengan indah, dengan kedalaman hati, dengan kebeningan jiwa. Ini menyanyi keras-keras dengan cara setengah berteriak seperti berbicara pada orang budeg. Lalu ketika nadanya menurun, bingung, langsung diam semua dan hilang suara. Semua umat di gereja saling menengok dengan wajah heran. Lho, kok menyanyi makin blero suaranya dan mendadak mandeg sendiri? Alamak! Suami berkomentar, "kacau ini paduan suaranya." Dan saya berkomentar, "nyanyi kok kaya kucing mau beranak."

Paduan suara ini juga tidak mengindahkan aturan waktu dan urutan. Ketika kegiatan diatas mimbar altar sudah selesai, mendadak saja mereka mulai menyanyi lagi. Walhasil Romo Pastor melotot dengan wajah masam menunggui mereka berlama-lama bernyanyi. Seharusnya bisa langsung menuju pada prosesi selanjutnya ini jadi terhambat karena paduan suara mendadak pengen nyanyi. Udah gitu pastor yang bertugas adalah pastor kepala, pastor senior, pastor sepuh. Seseorang yang dituakan dan gemar pada disiplin, keteraturan serta tepat waktu. Bukan pastor muda atau juniornya yang lebih bisa fleksible terhadap 'keajaiban umat'. Terbayanglah wajah Pastor Senior yang bete bin manyun tersorot pada layar monitor tivi yang merekam kegiatan pada mimbar altar (kami berada di ruangan lain, sehingga harus mengikuti dengan perlengkapan audio visual). Diam-diam saya dan suami sedikit terkikik geli. 

Masih kurang kacaunya ibadah malam itu. Mendadak micropon terpencet sesuatu dan masuklah lagu dangdut 'lalalala..' tepat ketika Romo Pastor sedang asyik berucap sesuai dengan tradisi upacara ekaristi di dalam gereja. Jadi perkataannya di potong mendadak oleh lagu dangdut yang sangat kencang. Wajah pastor awalnya terkejut. Lalu mulai lagi 'bete' kelas dewa. Seperti sudah hendak meledak dalam kemarahan. Bocah putra altar yang ada disisi pastor juga awalnya memasang muka kaget lalu terkekeh sendiri. Untung hanya sekitar lima detik kemunculan musik dangdut yang mengganggu dalam ibadah di gereja. Suara micropon langsung dikembalikan lagi sepenuhnya pada keagungan suara pastor untuk memimpin upacara. 

Semua berjalan lancar hingga akhir perayaan. Koor dengan suara sember merepet masih lanjut berlangsung menyanyikan banyak lagu-lagu yang bagi kami jangkauan nadanya sedikit 'tertatih' buat mereka. Tapi it's okay lah, daripada saya kebanyakan komplain sedangkan saya kalau diminta latihan paduan suara juga ogah! Beralasan sibuk, gak ada waktu! Bahkan pemazmur yang muncul terlihat cukup sepuh seperti kyai dalang dengan suara mantab kebapakan. Suaranya berat, dalam dan 'njawani.' Untung saja nada-nada yang dilantunkannya cukup sempurna. Dalam artian tidak meleset. "Pemazmur-nya suaranya bapak-bapak banget," komentar saya. Dijawab suami singkat, "Lah emang dia udah bapak-bapak banget!" Seolah dirinya adalah bapak-bapak yang masih muda, ganteng dan penuh pesona. Aih, cuih!

Ibadah hari itu jauh dari kata sakral. Saya tetap gembira karena bukan orang suci juga. Saya cuma mampu menengadah ke atas, "Ya Tuhan, Kau suka bercanda juga rupanya,..."

foto : www.keepcalm-o-matic.co.uk

Saturday, November 28, 2015

Rasionalitas Versus Kehendak Tuhan

BUKU ADALAH JENDELA DUNIA, katanya demikian. Buku membuka indera perasaan Anda bukan dalam hal fisik, meraba kasar dan halus permukaan sebuah benda. Tetapi dalam hal spiritual, meraba kasar dan halus karakter seseorang. Meraba kasar dan halus sebuah permasalahan dalam kehidupan. Saat berbicara dengan seseorang yang cukup rajin membaca buku, maka akan terasa lebih mudah melakukan komunikasi dan interaksi. Dikarenakan orang tersebut terbiasa membuka pola pikirnya pada hal-hal baru. Namun ada pula seseorang yang banyak membaca dan oleh karenanya menjadi angkuh serta tak boleh diganggu-gugat pendapatnya. Ini dikarenakan memang sifat bawaan. Ada orang yang mengerti bahwa membaca harus membuatnya kian rendah hati karena luasan pengetahuannya melebihi orang-orang lain. Tetapi ada yang merasakan membaca membuatnya kian pintar dan harus menggurui orang-orang yang lainnya. Persepi tentang membaca patah jadi dua. Bermanfaat atau mencelakakan? 

Saya tersentuh ketika pertama kali membaca "GUNUNG KELIMA" karya Paolo Coelho. Ceritanya diambil dari bagian kitab suci dan dinovelkan sedemikan rupa sehingga seperti hidup dan membiuskan kesadaran atau pemahaman baru. Ketika membaca novel itu, saya berpikir bahwa ternyata pergulatan hidup ini memang berat dan semua orang diminta untuk terus berjuang. Tanpa henti. Bahkan Tuhan sendiri yang 'menantang' hidup kita dengan aneka cobaan. Benar kan? Hidup ini disebut anugerah karena dalam kehidupan kita diberi kesempatan untuk melakukan apa saja dan menjadi apa saja. Makanya hidup ini memang perjuangan tetapi seharusnya indah. Indah gimana Bu, kalo di kehidupan ini bawaannya sial dan apes melulu. Terus tersenyum dan ketawa-ketawa dibawa happy, bukannya malah sudah gila? 

Seorang sahabat membeli novel tersebut, GUNUNG KELIMA dan langsung menghadiahkannya kepada saya setelah membaca beberapa lembar halaman depan. Nggak suka ceritanya! Membingungkan! Saya menerima novel itu seolah sekantung permata. Karena saya sangat menikmati cerita-cerita Coelho. Saya suka pintu kesadaran yang dibukakan dengan membaca. Jujur, dulu ada masanya saya nggak tahan dengan orang yang bodoh (saya tidak menguasai ilmu-ilmu eksakta karena saya tidak suka, tapi saya pikir saya cukup menguasai ilmu-ilmu sosial karena suka), diajak ngomong nggak nyambung. Ngotot pula! Tetapi sekarang saya berpikir, mereka kurang membaca barangkali? Atau kalaupun sudah membaca juga tidak mampu menyerap intisari bacaannya dengan baik? Atau bisa juga membaca hal-hal yang tidak berguna? Entahlah. Tetapi sekarang saya tidak ambil pusing. Kalau mengobrol nggak nyambung ya memang alamnya beda. Situ silahkan kesana dan saya kesini. 

Dengan membaca penalaran dibukakan. Menurut saya bacaan yang paling utama sesungguhnya adalah kitab suci. Apapun agama yang dipeluk. Membaca kitab suci terlebih dahulu, menyatukan suara hati dengan apa yang tercantum disitu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Ketika kita diberikan masalah oleh Tuhan, itu artinya kita harus memetik suatu pelajaran. Dalam sebuah badai kehidupan ketika kita keluar, kita tidak lagi menjadi orang yang sama. Kita telah berubah! Kenapa permasalahan disebut UJIAN? Karena apa yang tertulis di kitab suci seharusnya pasti ada yang menjadi 'contekan' jawaban dari UJIAN kehidupan tersebut. 

Kitab suci adalah buku besar yang paling utama, berisikan semua ajaran yang diperlukan untuk bertahan hidup. Seorang teman terus mengeluhkan masalah yang sama, mengaku telah berdoa secara rutin. Tetapi ia tidak juga mendapatkan jawaban. Terlebih ia tidak mau beringsut menjauh dari titik semula karena harus mengedepankan 'rasionalitas.' Ia tidak mau keluar dari zona nyaman, tidak mau melakukan perubahan dan tidak mau mencoba hal baru. Saya jadi bertanya-tanya, benarkah yang dilakukannya adalah rasional? Rasionalitas memang penting. Sebelum menyeberang jalan tengok kanan dan kiri. Tetapi ketika kehendak Tuhan terjadi, saat menyeberang ada yang mendadak liwat mengebut, maka celakalah kita! Kehendak Tuhan diatas rasionalitas. Kehendak Tuhan adalah misteri yang harus dipecahkan oleh si manusia sendiri. Rasionalitas hendaknya dibarengi dengan doa-doa yang memperkuatnya. Selama seseorang ngeyel dan ngotot, merasa paling tahu apa yang terbaik dan rasional bagi dirinya sendiri maka kehendak Tuhan akan terhambat menghampirinya. Saya bukan orang yang pandai tetapi ada satu kalimat dalam buku besar agama saya yang kata-katanya demikian, "Aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku menurut kehendakMu." Lalu masih adakah rasionalitas ketika hidup seharusnya kita biarkan mengalir sekehendak Tuhan?

Refleksi diri : Selesai membaca buku "PRAY: LET'S DO IT", author : Marvin McKenzie

Wednesday, August 5, 2015

Kesaksian Paradiso

Kemarin itu ada yang meminta saya untuk wawancara sebuah keluarga. Yang meminta adalah rekan senior dari majalah gereja. Kalau wartawan lain panas-panasan dan dusel-duselan buat cari berita. Saya yang 'dipaksa' jadi wartawan manjanya minta ampun. Ke tempat orang yang diwawancara minta dianter sama senior saya dan putri saya. Udah gitu saya mengeluh, "Aduh saya belum pernah mewawancara orang. Bagaimana caranya? Lalu yang harus ditanyakan apa? Orangnya saja saya nggak kenal. Bagaimana mungkin saya bisa menuliskan tentang mereka. Saya lebih suka menulis riset atau fiksi atau yang nggak perlu 'connect' harus ada hubungan batin dengan subject yang diwawancara. Takut nggak bisa!" Wah, pokoknya kalau semisal saya bekerja di media massa, baru masuk dua hari pasti langsung dipecat. Saking bekerja maunya dimanjain kaya putri-putri, minta dijemput dari depan rumah dan nanti diantarkan lagi ke depan rumah. Cape deh!

Nyampe juga akhirnya saya di rumah orang yang mau diwawancara itu. Ini pengalaman saya pertama kali wawancara dan langsung dituliskan. Teman-teman di majalah suka dengan cara menulis saya yang mengalir saja, nggak njlimet. Senior saya rata-rata berpendidikan seminari/filsafat jadi bahasanya kelas dewa yang saya sendiri nggak bisa paham (karena otak saya dangkal. wait! sebenernya saya nggak bodoh, cuma kadang malas mikir. Ha-ha!). Udah nyampe rumahnya enak banget. Bersih, rapi dan keren. Suami-istri pekerja kantoran dan punya dua anak remaja lelaki. Ternyata keduanya pendidik. Semuanya bekerja di sekolah swasta ternama. Anak-anaknya juga sopan dan menyenangkan. Lalu karena pasutri ini guru atau pendidik yang dua-duanya sudah senior tentu saja keduanya sangat sopan dan gaya bahasanya resmi/formal. Percakapan mengalir perlahan pada kesibukan mereka sebagai guru. Tambah lagi fakta, keluarga ini aktif dalam kegiatan rohani/gereja. Pasutri dua-duanya rajin di paduan suara, perkumpulan doa dan anak-anaknya sebagai asisten romo pastur di altar. Kisah hidupnya yang diceritakan serba menyenangkan, sampai saya heran. Ini keluarga kok happy banget? Kayak kisah disney yang berakhir bahagia, happily everafter. Enak bener? 

Saya mulai 'agak sirik'. Bukan berarti iri atau gimana. Cuman saya mikir, mana ada sih yang kayak gini? Suami sayang banget sama istrinya. Lalu istrinya memuji suaminya itu sabar dan rela bekerja tanpa rasa lelah cari nafkah, berkegiatan sosial/komunitas maupun membantu di rumah tangga. Anak-anaknya juga katanya prestasinya bagus dan nurut sama ortunya. Hebat bener! Lalu sebuah BOM DIJATUHKAN. Sang istri mulai bercerita. Selama dua belas tahun dirinya pendarahan rahim. Dipikirnya ada kelainan dengan si rahim. Lalu setahun yang lalu ia mulai mimisan dan periksa ke dokter THT. Semua masalah rahim dan THT diteliti oleh dokter. Hasilnya : tidak ada masalah! Setelah diamati dan di scan lebih lanjut. Ditemukan hal yang mengerikan: sang istri ternyata mengidap tumor otak di kepalanya dengan besaran tumor itu sudah mencapai 5 cm. 

Sampai disini mendengar ceritanya saja saya sudah kebingungan dan ketakutan. Waduh, kok bisa? Ibu ini terlihat segar, sehat, tak kurang suatu apa. Bahkan waktu mengobrol si bapak dan ibu karena baru pulang kantor terlihat rapi. Seolah mereka baru saja dinner di suatu tempat kemudian pulang ke rumah untuk menerima kunjungan 'wartawan palsu' yaitu saya. Yang mana udah bertamu dikasi sajian macem-macem termasuk teh manis dan aneka kue-kue. Saya yang mewawancara merasa miris, ngeri, takut, stress dan tidak percaya! Keluarga segini happy-nya ternyata nasib sang istri/ibu ada pada seutas benang tipis. Anytime. Bisa saja ada sesuatu yang akan terjadi! Si ibu bercerita bahwa setahun yang lalu tumornya sudah diangkat sebesar 10%, sisanya oleh dokter dimatikan selnya. Sehingga diharapkan akan mengecil. Sudah setahun mereka belum memotret lagi. Belum melihat lagi bagaimana perkembangan tumor yang ada di kepala ibu. Sambil bercerita si ibu selalu tersenyum. Sementara si Bapa terdiam karena mungkin tak ingin menambah kesedihan hati. 

Si Ibu lalu menceritakan bahwa suaminya melakukan hampir semua pekerjaan rumah-tangga. Karena ibu tidak sanggup untuk bekerja masak, membersihkan rumah dan sebagainya. Semua dilakukan oleh Bapak dibantu kedua anak lelakinya (tidak punya anak perempuan). Bapak bangunnya subuh, pagi buta untuk bisa sempat melakukan pekerjaan rumah tangga sebelum ke kantor. Saya yang mendengar melongo! Tampak jelas bahwa cobaan semacam ini justru semakin menguatkan dan mengeratkan hubungan antar anggota keluarga. Khususnya keadaan si ibu yang bisa saja sewaktu-waktu menjadi gawat. Tetapi ibu bercerita kepada saya bahwa dia tidak merasakan sakit atau apapun hanya merasa sering kelelahan dan tidak bertenaga. Bahkan ketika sanggup naik dan turun tangga baginya itu sudah sangat luar biasa. Saya makin sedih dan larut dalam kisah keluarga ini. Keluarga yang menyadari bahwa tidak ada yang lebih penting dari: cinta dan kasih sayang. Yang lain sudah tidak bisa dihargai apapun juga, ketika nyawa kita sudah pasti dalam genggaman Tuhan. Anytime!

Saya lalu mengerti kaidah SURGA/PARADISO di dunia. Ini bukan masalah menjadi kaya-raya, hidup mapan, punya kemewahan, pamer pergi ke segala penjuru dunia. Bukan itu. Surga menjadi ada ketika hati seseorang itu merasa damai. Tidak ada beban yang lebih berat. Semua sama. Menyadari semua orang akan menghadap Tuhan. Ketika seorang istri nasibnya sudah di ujung maut. Ketika seorang suami tidak malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga demi istri yang dicintainya. Ketika anak-anak belajar bahwa harus siap jika sewaktu-waktu Mama tiada. Ngeri mendengar kisah mereka. Bahwa seperti itulah hidup yang dijalani. Damai dan bahagia walaupun maut dalam genggaman. Si ibu sama sekali tidak menangis ketika menceritakan penyakitnya. SAYA YANG PENGEN NANGIS! Perasaan saya campur-baur, sedih, haru, kasihan, bingung dan takut. Ibu itu bahagia! Kehidupan rumah-tangganya boleh dikata sempurna. HAL yang diinginkan banyak ORANG YANG SEHAT, tetapi menghabiskan waktu untuk menuntut, mencela dan benci pada pasangannya (mungkin). Tetapi ibu itu tidak marah kepada Tuhan. Padahal harusnya ia benci kepada Tuhan, tetapi tidak. Ia pasrah kepada kehendak Tuhan. Baru minggu lalu sahabat saya berkisah, "Mosok ada temanku menikah di hotel mewah, bagus sekali pernikahannya. Baru tiga bulan udah cerai! Itu nyicil biaya pernikahannya aja belun lunas,...piye sih?" SURGA-PARADISE-BAHAGIA itu ada dihati orang-orang yang sabar dan saling mencintai. Seperti suami yang justru semakin mencintai istri yang ia tahu mengidap penyakit sedemikian berat,... Seperti istri yang luar biasa bersyukur dan berterima-kasih untuk suami yang sedemikian baik.

NASKAH TULISAN SAYA SUDAH SELESAI. TETAPI KAMI TDK MENYEBUTKAN MASALAH PENYAKIT TERSEBUT ATAS PERMINTAAN YBS. BAHKAN MEREKA TIDAK MAU BERBAGI KESEDIHAN. YANG DIINGINKAN HANYA BERBAGI BAHAGIA.




Tuesday, July 21, 2015

Banyak Memberi, Banyak Menerima

Waktu itu saya bekerja di sebuah kantor besar dengan karyawan yang jumlahnya ratusan orang dan customer yang wara-wiri jumlahnya ribuan orang. Kebayang bagaimana hiruk-pikuknya kehidupan berkomunitas yang saya alami selama bertahun-tahun. Kantor sebesar itu menurut saya memberi gaji atau upah tidak sebesar yang saya harapkan. Sayang ya? He-he-he,.. Otomatis setiap bulan banyak hitung-hitungan yang saya lakukan. Termasuk untuk biaya sendiri, biaya keluarga dan anak saya serta biaya berkomunitas. Kalau dihitung-hitung serasa setor nyawa. Antara kelelahan dan upah yang didapat tidak berbanding lurus tetapi berbanding terbanting. Nggak enaknya lagi, karena sifat komunitas yang besar, otomatis banyak teman/rekan/relasi. Dulu itu setiap saat selalu ada orang yang mengedarkan 'kantong solidaritas.' Urunan untuk segala hal. Jika ada teman sekerja yang meninggal atau ada rekan lainnya yang menikah atau punya anak atau tertimpa musibah. Bahkan urunan beli kaos kelompok rekan-rekan sekerja, sekedar untuk identitas! Yang namanya permintaan urunan selalu hadir dalam setiap kesempatan. Awalnya ikhlas, lama-lama saya jadi memelas. Kalau gini caranya, bagaimana gaji yang sudah seiprit itu akan mencukupi?

Saat itu ada banyak pikiran-pikiran yang saya sesali. Misalkan ada teman/rekan yang kena musibah seolah saya jadi 'kesenggol' musibahnya karena harus ikut urunan. Biaya bersosial dan berkomunitas itu memang tidak main-main. Tidak mungkin juga saya menolak ikut urunan dengan mengatakan, "Saya nggak berminat ikut urunan menyumbang karena saya tidak begitu kenal/akrab dengan rekan tersebut." Atau misalkan ada orang yang terkena musibah lalu saya menolak memberi sumbangan dengan alasan, "Saya nggak ikut menyumbang karena saya sedang bokek." Gengsi juga kalau teman-teman lalu melirik saya dan memandang, kesian amat siy lu? Jadi saya mulai terlibat masuk dalam situasi-situasi yang menjepit dan kurang menyenangkan. Dipaksa nyumbang lama-lama bokek dan saya tidak ikhlas. Menyumbang tapi milih-milih orang juga akan membuat yang lain mencibir dan menganggap saya orang yang kikir serta tidak punya hati. Tapi kalau begini terus kan bangkrut? Buat apa bekerja kalau terlalu banyak biaya-biaya yang keluar dan tidak sebanding dengan pendapatan dari pekerjaan itu sendiri? Yang namanya hati jadi bengis. Sebel kalo dipaksa menyumbang atau urunan ini-itu gak jelas!

Setelah tidak lagi bekerja kantoran. Saya merasa lega. Sebenarnya saya orang yang sangat friendly dan suka berteman. Tetapi saya bukan jenis orang yang pandai berbasa-basi. Setelah tidak bekerja otomatis pendapatan juga tidak lagi menjadi pendapatan tetap, namun pendapatan tidak tetap. Itupun diberi oleh suami. Tetapi konsep menyumbang saya menjadi lebih baik. TERBUKA. Saya jadi tidak pilih-pilih untuk menyumbang karena jumlah komunitas saya mengecil tidak sebesar sebelumnya. Jumlah orang yang ada disekitar saya juga hanya sebatas komunitas teman-teman perkumpulan doa, teman kuliah dan beberapa teman penulis. Itupun dengan frekuensi pertemuan yang jarang. Biasanya hanya berkomunikasi melalui media sosial. Nah, dengan bentuk seperti ini saya mulai melihat dengan jelas bahwa memberi kepada orang lain itu memang tidak selayaknya 'dipaksa'. Tetapi sebaiknya dari hati. Saya mulai dapat membedakan mana-mana yang harus diprioritaskan. Menyumbang orang meninggal itu menjadi keharusan. Menyumbang pernikahan juga. Lalu memberi dana atau pinjaman keluarga/orang yang membutuhkan. Jumlahnya tidak harus besar tetapi menunjukkan bahwa "I care" atau "saya memperhatikan keadaan Anda." Lalu pada hari raya juga menyumbang untuk pekerja-pekerja yang ada disekitar kehidupan kami. Para asisten, satpam dan tukang sampah. Suami bahkan khusus berjalan jauh dan 'mencegat' tukang sampah khusus untuk memberikan sekedar 'tanda kasih.' Karena tukang sampah cepat sekali berjalan dari rumah ke rumah dengan kendaraan dinasnya. 

Lama-kelamaan konsep 'memberi' menjadi suatu kewajiban atau tanggung-jawab untuk memperhatikan kebahagiaan orang lain. Orang-orang yang memang kami anggap harus diberi, dibantu atau disumbang. Entah keluarga, teman, atau pihak lain. Memberi menjadi keikhlasan karena kali ini tampa diminta, tanpa disodorkan kantong, kami sendiri yang berpikir untuk menyisihkan sedikit dana dan bantuan untuk mereka yang harus diberi sumbangan. Lalu ketika rasa ikhlas dalam memberi itu ada, semua beban menjadi terlepas. Yang dahulu 'memberi sumbangan' adalah keterpaksaan, sekarang menjadi 'kewajiban diri sendiri menolong orang lain yang lebih membutuhkan.' Sikap egoistis mulai dilepas. Balik lagi pada kata-kata. Mau dibawa kemana harta dunia ini? Apakah semuanya akan dibawa mati dikubur dalam liang lahat kita? Tentunya tidak! Lebih bermanfaat jika sebagian uang atau harta itu dapat membahagiakan hidup orang lain. Seorang teman pernah menasihati, "Harta kita harus diputihkan dengan zakat kita."

Saya lalu berpikir kembali pada masa lalu. Pada saat ketika saya merasa, "Udah gaji sangat kecil. Biaya sumbangan dan lain-lain yang harus dikeluarkan sangat besar dan setiap saat." Lalu saya menggerutu dan mengomel dalam hati. Sehingga memang gaji saya tidak pernah naik secara signifikan! Naiknya rata-rata saja. Bahkan selalu terlibas inflasi. Lalu saya terus mengomel dan merasa sebal atas kecilnya si gaji. Saya merasa itulah takdir yang saya buat dengan sendirinya tanpa sadar. Karena saya banyak merasa tidak puas dan mengomel menganggap gaji kecil maka gaji itupun selalu kecil. Bagaikan lingkaran setan, ketika kita selalu menggerutu dan tidak ikhlas saat harus kehilangan secuil dari harta kita. Sekecil itu pula pertambahan harta kita yang diberikan oleh Tuhan. Sekecil dan sekerdil gerutuan saya atas keharusan menyumbang sana-sini. Sekarang, kami tidak lagi seperti itu. Kalau punya uang ya menyumbang semampunya. Kalau tidak punya uang, mengaku dengan jujur dan meminta maaf bahwa belum ada yang dapat dibagikan pada orang lain. Tetapi ternyata semakin sering kami memberi (dan dengan ikhlas), semakin pula dicukupkan dengan pemberianNya. Hingga hari ini! Jadi usahakan banyak memberi (dengan ikhlas) dan nantikan apa yang akan kita terima (lebih banyak lagi) dariNya. Ucapkan : Amin!

Saturday, July 4, 2015

Kenapa Ibu-Ibu Sering Ngamuk Terkait Anaknya?

Hard to explain this. Dibilang sulit, engga juga. Dicari gampangnya, mungkin karena sang ibu yang mengandung anaknya selama 9 bulan? Beberapa hari lalu anak saya pulang camp liburan. Kegiatan yang diselenggarakan selama libur sekolah. Ada hal yang membuat saya nyaris murka. Selama ini anak saya bersekolah di sekolah yang kecil scopenya. Muridnya tidak banyak. Saya merasa puas dengan keadaan ini dan berterima-kasih pada principal/kepala sekolah yang masih punya idealisme tinggi. Sehingga sekolahnya tidak diubah menjadi mesin pencetak uang dengan jumlah siswa yang banyak membludak dan jumlah guru yang tak ubahnya karyawan kartu ceklok pagi-sore. Datang untuk absen, ceklok kartu dan nanti sore pulang, ceklok kartu lagi di mesin absensi. Semoga tidak ada sekolah yang beroperasi dengan gaya seperti itu, tanpa sisi humanisme. 

Karena sekolahnya kecil, rata-rata murid saling mengenal. Demikian pun saya berusaha berkenalan dengan parents yang lain. Saya merasa bahwa sekolah tersebut dengan sendirinya ter-filter. Rasanya mayoritas orang tua yang ada disitu sangat memperhatikan kesejahteraan anaknya, hingga ke titik koma. Dalam artian saya melihat ortu membesarkan anak-anak tidak sekedar diumpan dengan materi atau kebutuhan tapi termasuk sisi-sisi humanisme-nya dibangun. Building character-nya dikerjakan dengan teliti oleh orang-tua maupun guru-guru. Sekali waktu saya mengambil rapor anak saya. Dan saya melihat seorang siswa lelaki yang sudah lulus datang berkunjung. Siswa ini datang untuk bertemu dengan salah satu gurunya. Ia baru saja kuliah dan adiknya juga masih bersekolah disekolah yang sama dengan putri saya. Siswa senior ini menyapa gurunya dengan bahasa Inggris yang sangat fasih dan bercakap tentang masa depan, beasiswa dan perkuliahan yang diambil. Saya yang mendengar saja merasa sangat bangga. Orang-tua dan gurunya sudah berhasil "menyiram" dan "memupuk" anak tersebut dengan baik, satu benih generasi penerus bangsa. Sekolahnya mahal? Enggak, relatif murah. Kalau melihat bangunannya ngenes, seperti konstruksi bedeng tambal sulam. Saya makin menyadari 'esensi laskar pelangi.' Bahwa anak-anak itu dibina bukan sekedar menyorot isi kantongnya tetapi terpenting pada isi kepalanya!

Kembali pada masalah anak pulang camp liburan. Camp ini diselenggarakan bukan dari sekolah tapi dari kegiatan yang diikuti oleh putri saya. Otomatis siswanya juga berasal dari berbagai sekolah lain. Dalam suatu kesempatan persiapan jurit malam, anak saya membangunkan anak lain. Bersiap untuk berangkat jurit malam. Ternyata salah satu anak lelaki yang dibangunkan marah besar dan mendadak menyabet putri saya menggunakan jaket hingga dahinya terluka cukup dalam sepanjang kira-kira setengah centimeter. Waktu melihat anak diperlakukan begitu oleh anak lain rasanya mau mengamuk. Itu orang-tuanya sadar atau tidak kalau anaknya agresif dan berangasan lalu tingkahnya membahayakan anak lain? Anak-anak masih bisa diatur hingga usia sekitar 8tahun. Setelah itu ia mulai membangun karakternya sendiri. Masih bisa dicereweti hingga usia 16-17 tahun. Tapi setelah itu, semuanya akan bertumbuh dengan pesat, sikap, sifat, kesopanan, kehalusan budi dan sebagainya. Karakter akan mengental sendiri hingga usia 21 tahun, yang pada akhirnya orang tua sudah mulai sulit mengontrol. Pada usia awal 30-an saya masih dikontrol oleh ibu saya. Memang menakutkan, tapi trauma masa kecil mungkin membuat ibu dan saya memiliki hubungan yang sangat kompleks. Jadi "sangat lambat" untuk menjadi dewasa sepenuhnya. Hal ini tidak bagus juga. 

Ketika melihat putri saya dahinya terluka dan mengering, langsung saja saya dan suami merasa jengkel pada anak yang mencederai anak saya. Inginnya langsung komplen dan marah. Memang masalahnya kecil, biasa dan sudah selesai, apalagi lukanya sudah mengering. Tetapi menyabet anak lain dengan jaket hingga membuatnya terluka menurut saya termasuk tindakan penyerangan yang membahayakan. Bagaimana kalau kena mata? Fatal akibatnya! Satu hal yang membuat kami terdiam, anak saya dengan santainya menganggap itu semua hanyalah masalah kecil. "Its okay Mam. Anak itu memang bermasalah. Sudah sering dia dibahas oleh anak-anak lain karena sikapnya kayak gitu. Dan Mami nggak usah komplen kemana-mana. Nanti aku yang di-bully dikatakan cengeng dan minta dibela ortu hanya karena masalah luka kecil seperti ini. Sudahlah jangan dipermasalahkan, Mami!" Well, I guess saya juga sudah membesarkan anak yang cukup berkarakter dan punya mental baja. I love u so much daughter! Kenapa ibu-ibu sering mengamuk terkait keselamatan dan kesejahteraan anaknya? Karena ia sangat mencintai sang anak,...



Tuesday, March 17, 2015

Kebetulan Yang Sempurna

Dua hari lalu ada berita kurang mengenakkan yang saya terima. Tepatnya berita yang mengecewakan. Setelah penantian sekian lama dan harapan yang membumbung tinggi, ternyata apa yang menjadi keinginan tidak terpenuhi. Sudah berkali-kali saya mengalami kejadian seperti ini, dimasa lalu ketika berusia lebih muda rasanya sangat menyesakkan dada. Seolah kekecewaan harus disemburkan dengan kemarahan dan menyalahkan seseorang atau sesuatu. Ada kondisi yang menyebabkan saya tidak mempelajari bahwa segala sesuatu yang tidak atau belum terpenuhi oleh takdir memang ada maksudnya. Bukan sekedar bermaksud mengecewakan saya. Tetapi mungkin ada hal yang lebih baik yang menantikan setelah kekecewaan itu berlalu. Ini seperti menanti pelangi setelah hujan. Everything happens for a reason.

Menarik ketika saya sadari bahwa dalam kekecewaan ini saya tidak lagi terlalu berlarut atau depresi. Kecewa, namun saya merasakan bahwa memang ada garisan-garisan dan misteri dari Tuhan yang tak dapat kita abaikan begitu saja. Yang terpenting setelahnya saya segera bangkit kembali. Lebih menarik lagi ketika saya sadari bahwa saya sedang mempersiapkan sebuah tulisan rohani yang efeknya berdampak pada diri saya sendiri. Karena kekecewaan yang saya alami, saya merasakan rangkuman tulisan yang sedang saya buat seolah-olah nasihat Tuhan yang diucapkan dengan kata-kata kepada saya sendiri. Tidak melalui mulut manusia tetapi melalui tulisan tangan saya sendiri yang kemudian saya selesaikan menjadi sebuah artikel di majalah komunitas rohani Katolik.

Seolah dengan menuliskan naskah itu saya menjadi tersindir. Bahwa Tuhan mengatakan, "Kamu boleh saja pandai menulis, rajin membaca, tetapi ketika kesal dan kecewa tetap saja kamu membiarkan perasaanmu larut dan jengkel. Lalu apa artinya semua bacaan yang sudah kaubaca? Apa artinya semua tulisan yang sudah kauhasilkan? Jika pada prakteknya dirimu tetap saja mudah terombang-ambingkan dengan kenyataan yang ada." Tuhan bersabda dalam kehidupan kita, "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Betapa mudah kita membaca dan mengangguk-anggukan kepala ketika memperoleh nasihat atau memberikan nasihat kepada orang lain. Tetapi ketika kita dihadapkan pada kenyataan dan  benar-benar diharuskan melakukan apa yang telah disabdakan oleh Tuhan, kita akan protes, "Why me God? Kenapa kejadian ini menimpa saya?" Manusia memang tidak makan dari roti saja, namun bagaimanapun juga manusia akan selalu mengeluh jika tidak punya roti. Namanya juga manusia! Thats why, we're all human and He is God!





Sunday, March 15, 2015

Siklus Padang Gurun Kehidupan

Hari Sabtu yang lalu saya mengikuti seminar tentang meditasi Katolik. Judulnya "Dari Padang Gurun menjadi Padang Mistik." Judul yang bagi saya agak sedikit aneh. Tetapi ketika mengikuti seminar yang dibawakan oleh Pastur dari Maumere tersebut, saya cukup tertarik dan saya pikir tidak ada yang aneh ternyata dengan istilah padang gurun kehidupan. Yup, hidup ini seringkali terasakan bagai melintasi padang gurun. Panas, terik, melelahkan, yang ada hanya pasir dan kesepian. Seperti itulah manusia ketika sedang tertimpa bencana atau permasalahan. Mungkin perceraian, ditinggal lari, ditinggal kabur, ditinggal mati. Ditipu dari puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah. Diporoti dari surat rumah hingga surat tanah. Aduh, kok seram sekali? Hidup ini terlalu banyak musibah yang menimpa kita semua. Melelahkan sekali?

Kita semua adalah peziarah dalam kehidupan ini. Tiba-tiba saya lalu mengerti panik, emosi, marah, murka, dendam dan sebagainya tidak mempercepat peziarahan kita. Justru memperlambatnya. Bagaimana tidak? Bukankah kita sedang melintasi padang gurun? Bukannya melangkah perlahan, mengenakan sorban, berhemat dengan sekendil air, kita justru hendak berlari lintang-pukang di tengah padang gurun. Yang ada tentu kelelahan dan energi yang terkuras habis. Sebagai peziarah kita dilarang menyerah kalah. Kita dilarang mematikan api pelita yang menyala di jiwa kita. Karena yang berhak mencabut nyawa para peziarah dunia hanyalah Tuhan. Jika dalam kelelahan mengarungi padang gurun kita lalu menyerah kalah dan berkeinginan untuk mati saja, lalu apa artinya Sang Pemberi Kehidupan bagi kita? Kita menghinaNya. Apa arti penciptaan kita? Sia-sia belaka, bahkan tanpa perlawanan.

Kapal lebih aman jika bersandar di dermaga,
Tetapi itu bukanlah tujuan dari sebuah kapal
(The Pilgrimage)
Hidup indeed adalah padang gurun. Keras, tandus dengan sejuta tantangan. Tetapi peziarah tidak boleh menyerah kalah. Harus terus melangkah melintasi gurun. Itu adalah tugas kita. Untuk menenangkan diri, para peziarah akan meneguk air setiap seribu langkah. Dan seperti itu pulalah kita perlu melakukan doa atau meditasi yang hening secara reguler. Sebagai sumber mata air di kehidupan kita. Bagaimana kita akan memecahkan masalah jika hati kita masih panas dan jiwa kelelahan? Bagaimana kita akan menemukan jalan jika langkah kita membabi buta dan sesukanya? Dalam konteks spiritualitas ada hal yang harus selalu diulang-ulang. Repetisi itu adalah doa-doa yang singkat berupa ucapan syukur, terima kasih atau kepercayaan pada Sang Pemelihara Kehidupan. Maka sangat disarankan agar seseorang melakukan meditasi setidaknya 10-20 menit sebanyak dua kali dalam sehari. Dengan kata-kata singkat seperti, "Terima Kasih Tuhan." atau "Aku Bersyukur PadaMu." Dalam Katolik diajarkan untuk mengucap "Maranatha" yang artinya 'Tuhan datanglah.'

Dalam psikologi atau motivasi secara keilmuan ini adalah konsep affirmasi, pengukuhan rasa percaya diri seperti berulang mengatakan "Saya-bisa Saya-bisa Saya-bisa Saya-bisa." Tetapi dalam konteks meditasi secara rohaniah menurut agama, maka Tuhan yang menjadi sumber kekuatan itu. Bukan diri manusia itu sendiri. Bedanya disitu. Padang gurun hanyalah cobaan agar manusia 'disekolahkan' jiwanya. Mereka yang mampu melampaui padang gurun dalam hidupnya akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, disebut kesadaran dan kedewasaan. Padang gurun mengajarkan manusia untuk bersabar, bergerak perlahan dan mengikut tuntunan, tetapi tidak menyerah. Ketika sebuah badai di padang gurun usai memberikan 'pelajaran' dalam kehidupan kita, tidak mustahil akan muncul badai permasalahan lain dalam padang gurun hidup kita. Tugas kita? Kembali melintasi dan mengatasi padang gurun tersebut? Keharusan! Karena kita adalah para peziarah kehidupan,...

Monday, September 1, 2014

Percaya Nggak Percaya

Judulnya sama PNP, percaya nggak percaya. Tetapi saya tidak ingin membahas masalah mahluk halus. Justru ingin membahas masalah spiritualitas. Masalah keTuhanan. Beberapa kali kejadian ketika saya tidak pergi ke gereja pada suatu akhir pekan karena ada keperluan lain. Selalu muncul kejadian yang tak mengenakkan. Saya tidak ingat persis satu persatu. Tetapi kejadian pastinya, akhir Minggu lalu kami tidak kegereja sekeluarga. Bukan karena murtad tetapi karena liburan ke Bandung, untuk merayakan ulang tahun putri saya.

Kami berangkat Sabtu, pukul 8.30 pagi. Lalu melakukan permainan di arena Trans Studio hingga pukul sepuluh malam. Lalu bercakap dengan saudara sepupu kami hingga pukul dua belas malam liwat di kamar hotel. Kemudian paginya makan pagi dengan breakfast di hotel. Siang bersantai dikamar hingga cek out. Jam lima sore jalan kembali ke Jakarta, kemudian jam sembilan malam sudah kelelahan. Tentu sudah tidak ada waktu ke gereja. Lelahnya luar biasa, semua memforsir diri untuk perjalanan yang penuh kegembiraan. Saya merasa menyimpan Tuhan dihati. Sering bercakap denganNya. Jadi saya harap Ia mengerti jika akhir minggu kemarin kami membolos ke gereja.

Pada hari Selasa saya masih kelelahan sehingga tidak mampu pergi ke tempat olah tubuh kebugaran. Saya kemudian bertanya pada pengelola tempat, kapan tepatnya terakhir saya masih bisa datang. Seingat saya masih tersisa satu kesempatan. Dan minggu sebelumnya ketika bertanya oleh pembantu yang bertugas diberitahukan bahwa tanggal 4 September adalah kesempatan terakhir. Jadi saya masih berharap bisa datang hari Kamis. Ketika hari Kamis 4 September saya datang. Nama saya telah dicoret. Kesempatan saya telah dihilangkan. Saya kesal karena pertanyaan saya tidak dijawab malah kesempatan terakhir saya dicoret lalu dipaksa membayar untuk bulan berikutnya. Ketika saya tidak membawa sepeser uang pun. Masalah berlarut karena saya bertengkar dengan sang pembantu dan komplain kepada sang pengelola mengapa pertanyaan saya via text tidak dijawab?

Sesungguhnya masalah yang sangat kecil dan sepele namun kesalnya hingga ke ubun-ubun karena saya merasa kecewa. Dan bahkan merasa dipermalukan lalu dikomentari oleh sang pengelola, "Sudah jatuh tempo tidak mau bayar pula." Saya kesal karena saya bukan orang yang pemboros ataupun pemalas. Jika saya tidak datang untuk olah tubuh pasti karena tidak kuat fisik/kelelahan, sakit atau bahkan sedang keluar kota. Tidak sekalipun dalam benak ada niatan bermalasan atau membolos karena saya menyukai olah tubuh tersebut. Maka dari itu saya merasa jengkel dan berlarut hingga beberapa hari, Bahkan menimbulkan syndrom aneh, tidak ingin melanjutkan olah tubuh di tempat tersebut. Karena merasa diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Padahal sebenarnya tidak demikian. Hanya miskomunikasi kecil saja, tetapi bisa jadi hormonal saya sedang tidak seimbang. Sehingga menjadi sebal dan emosi berlarut. 

Lalu saya takar lagi, apakah ada penyebab lainnya? Sudah lama saya jarang marah atau emosi membabi-buta kepada orang lain. Tidak pernah ada kisruh atau ribut-ribut dari pihak saya. Mengapa hari Kamis lalu terasa sangat menjengkelkan? Biasanya saya sangat menggemari olah tubuh itu, saya menyukai sang pembantu yang saya anggap gesit dan sang pengelola yang saya anggap bijaksana. Tetapi hari itu saya tidak suka kepada mereka semua. Percaya Nggak Percaya, tetapi saya anggap karena minggu sebelumnya saya sama sekali TIDAK KE GEREJA. Saya lebih mengedepankan kesibukan duniawi. Liburan ke Bandung dan olah tubuh di pusat kebugaran. Tidak ada upaya saya untuk menyapa Tuhan. Apakah dengan misa pagi hari biasa, atau kegiatan rohani lainnya. Ini hanya masalah PNP rohani. Percaya Nggak Percaya!

Lukas 4:4 
Yesus menjawab, "Di dalam Alkitab tertulis, 'Manusia tidak dapat hidup dari roti saja.'"

Wednesday, July 30, 2014

Mempersiapkan Pelayan Cilik

Kebetulan rumah kami tidak jauh dari gereja. Banyak kegiatan rohani yang dapat dilakukan. Putri kami entah mengapa memilih menjadi pelayan altar atau putri sakristi. Padahal kami berpikir lebih baik ia menjadi organis gereja yang dapat mengiringi paduan suara. Kemampuan yang lebih bermanfaat untuk unjuk bakat dan mengais rejeki ketimbang menjadi 'pelayan'.

Tetapi panggilan memang sesuatu yang tidak dapat dipaksakan apalagi jika itu adalah 'panggilan Tuhan.' Dimana putri kami sangat gembira, aktif dan tulus dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan altar. Bahkan jika ada yang berhalangan hadir atau tidak dapat melaksanakan tugasnya, putri kami bersemangat menggantikan orang tersebut. Ia berharap terpilih menjadi 'ketua pelayan'.

Bagi putri kami menjadi 'pelayan' dengan busana khusus, bekerja dengan keanggunan dan keluwesan tersendiri serta bergerak didepan altar atau mimbar yang menjadi pusat perhatian segenap umat sangatlah membanggakan. Menurutnya itu membuat ia merasa under the spotlight, dibawah lampu sorot. Ia bangga menjadi pusat perhatian sekalipun dirinya hanyalah seorang pelayan.

Contoh yang diteladankan oleh putri kami membuat saya berpikir betapa semua orang hanya mencari kesuksesan dan uang melalui prestasi maksimal di dunia. Jarang sekali ada yang tekun bekerja dengan gembira, melayani orang lain dengan senang hati. Dengan upah yang secukupnya. 

Walaupun posisi pekerjaan putri sakristi hanyalah sebagai pelayan, namun sesungguhnya ia berada dibawah lampu sorot. Karena Tuhan sendiri yang memperhatikannya dengan seksama. Menjadi pelayan Tuhan tidak akan menyedihkan hati, tetapi menjadi budak keduniawian itu yang akan menyeret manusia pada kesengsaraan. Terima-kasih Putriku!... You're doing a great job and give us best example for life!

Galatia 5:13
Pada kalian yang menikmati kebebasan, wahai saudaraku. Janganlah gunakan kebebasan itu sebagai kesempatan untuk memuaskan kedagingan, tetapi melalui kasih layanilah satu dengan yang lain.

Wednesday, July 23, 2014

Dulu Martha, Sekarang Maria

Beberapa waktu lalu saya membaca kisah dari kitab suci. Mungkin ketika saya masih kecil, sering membaca cerita tersebut. Kisahnya mengenai Martha dan Maria. Maria disini bukanlah ibu Yesus tetapi Maria saudara dari Martha dan Lazarus. Sebagai anak kecil, mendengar atau membaca cerita dari kitab suci tentu membosankan dan membingungkan. Setelah dewasa pun harus benar-benar dipahami mengenai arti dari kisah - kisah tersebut.

Berawal dari kegiatan malam membaca kitab suci, saya jadi melihat sisi lebih dalam tentang kisah Maria dan Martha. Ada tiga bersaudara Maria, Martha dan Lazarus yang menjadi pengikut Yesus. Bahkan Lazarus dibangkitkan dari kematian oleh Yesus. Pada suatu ketika Maria dan Martha menerima kunjungan Yesus di kediaman mereka. Martha adalah wanita yang sangat aktif dan rajin bekerja. Kunjungan Yesus membuatnya sibuk dengan aneka kegiatan rumah-tangga. Ia merasa perlu menyediakan makanan, menyeduh minuman dan mungkin membereskan rumah untuk menyambut Yesus.

Maria berlaku sebaliknya, ia terkesan santai dan menikmati kunjungan Yesus. Dengan tenang ia duduk di kaki Yesus dan mendengarNya berbicara. Melihat hal tersebut Martha merasa sedikit kesal. Kesibukan yang menyita waktu dan tanggung-jawab sebagai tuan rumah namun tidak dibantu oleh Maria saudaranya, yang justru duduk bersantai, hanya mendengarkan perkataan - perkataan Yesus. Maka Martha berkata kepada Yesus agar menegur Maria, mengapa wanita itu tidak membantu Martha melakukan persiapan hidangan. Mengapa Maria justru duduk dengan manis dan relax, hanya mendengar segala ucapan Yesus?

Yesus kemudian balik menegur Martha. Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan Maria sudah benar. Yaitu duduk dan menyerahkan diri pada Tuhan. Maria melakukan hal yang memang diinginkan Yesus yaitu mendengarkan sabdaNya. Pada kenyataan ini saya sedikit terguncang oleh kenyataan hidup. Betapa sering dan betapa banyak orang yang hanya sibuk melakukan ini dan itu, namun jarang mendengar dan meresapi sungguh-sungguh ucapan Tuhan yang banyak ditulis di dalam kitab suci. Betapa banyak orang yang tenggelam dalam kesibukan duniawi namun tidak sadar bahwa Yesus ingin agar perkataanNya didengar. Yesus tidak minta teh atau hidangan lainnya. Tidak memerintahkan manusia untuk larut dalam kesibukan yang menggila demi Dia. Sederhana saja, yang diminta adalah diam, relax, berserah dan mendengar semua sabdaNya.

Saya mengibaratkan kehidupan yang saya alami bagaikan Martha dan Maria. Dulu saya bertingkah seperti Martha. Bukan dalam arti selalu sibuk membuat teh atau menyiapkan hidangan. Bukan kesibukan semacam itu. Tetapi saya sibuk bekerja, mencari nafkah dan terus mencari uang. Dengan alasan demi keluarga, demi rumah yang lebih bagus dan indah. Demi memiliki sesuatu untuk disumbangkan ke gereja atau ke acara apapun juga. Dalam banyak hal saya mengejar kesibukan yang saya anggap 'mandat' dari Tuhan. Mandat untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan menjadi penolong keluarga dengan bekerja giat. Namun hal itu tidak membuat saya bahagia. Yang ada saya justru merasa terbeban dan sangat lelah. Maka sekarang saya mengerti, mengapa menjadi Maria juga dibutuhkan dalam hidup ini. Sit back and relax! 

Saya mulai banyak membaca kitab dan mendengar dengan sungguh-sungguh perkataan Tuhan. Lalu percaya! Berikutnya selalu ada saja keajaiban dan keberuntungan yang saya terima. Yang terpenting saya belajar mengucap syukur dan terima kasih terus-menerus. Dengan kesadaran ke-Tuhanan yang meninggi, sebagai mahluk hidup kita harus sungguh sadar bahwa hidup ini anugerah. Bahwa segala harta adalah titipan, bahwa bahagia dan duka itupun sementara. Kehidupan yang penuh derita pada saatnya akan digantikan kehidupan yang banyak diisi dengan kegembiraan. Dan dalam kegembiraan juga harus waspada, sesekali akan muncul kesedihan atau malapetaka. Ketika meletakkan kesadaran bahwa itu adalah garisan Tuhan kita akan lebih sabar menjalani. Bahwa kita harus seperti Maria yang sit back and relax, mendengar sabda Tuhan. Kita akan lebih tenang menjalani hidup dan bukan beraktivitas dengan membabi-buta demi ambisi-ambisi pribadi. Namun menganggap hal itu sebagai 'mandat' Tuhan.

Lukas 10:39-42

Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu : Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

Wednesday, July 16, 2014

Cinta Telah Mati

Seperti apa rasanya cinta yang telah mati? Katanya seseorang yang masih memiliki emosi atau memiliki kebencian, artinya masih memiliki rasa. Namun orang yang sungguh-sungguh sudah tak perduli, tidak akan merasakan apapun juga. Entah itu benci, entah itu sekedar baik berbasa-basi. Akan sangat sulit bagi seseorang seperti saya untuk berpolitik atau dipaksa masuk dalam dunia politik. Bagaimana mungkin jika saya serupa buku yang terbuka lebar? Benci katakan benci dan cinta katakan cinta, menurut saya.

Dalam jejaring sosial media ada beberapa kawan yang sudah lama berselang, sama sekali tak bertegur sapa dengan saya. Jika ia bukan kawan dekat tak mengapa, namun jika dulunya ia adalah sahabat mengapa sekarang menjadi musuh? Bukan musuh sebenarnya, hanya saja dunianya dan dunia saya sudah terpisah jauh. Tidak ada lagi jembatan atau jangkauan yang masih memampukan kami saling berdekatan. Ada satu - dua peristiwa yang saya rasa masih mampu saya tolelir. Namun jika seiring waktu bergulir terlalu banyak kecewa yang saya alami, lalu saya berhenti dalam sapa. Saya tidak ingin kejam apalagi mendiamkan kawan sendiri. Namun sungguh sulit ketika mencari satu alasan saja untuk bercakap kembali, tidak ada!

Saya cepat hafal dan bosan dengan segala perwatakan orang-orang yang mudah ditebak. Yang hanya ingin mencari, menggali, menghisap madu lalu membuangnya setelah tak dibutuhkan. Cinta yang telah mati, membuat orang tidak tahu lagi harus bagaimana menjalin komunikasi. Sedangkan mencari kesamaan topik percakapan saja sudah tak ada, lalu apa lagi yang harus dipaksakan? Ini bicara tentang komunikasi antar teman. Lalu bagaimana jika komunikasi dengan kekasih, suami, orang-tua, anak dan saudara? Jika cinta telah mati diantara mereka? Bagaimana jika belum membuka mulut saja, sudah tidak ingin tahu apapun perkataannya?

Bagaimana menumbuhkan cinta yang telah mati? Tentu saja dengan berpindah ladang mencari kawan baru, mencari sahabat baru dan mungkin mencari kekasih baru? Terdengar sebagai tindakan yang frontal dan langsung melepaskan diri dari masa lalu. Tetapi tidak salah juga, jika mengikatkan diri justru hanya akan menyakitkan salah satu atau kedua belah pihak. Tentu saja harus terus ditelaah dari masalah logika, alasan dan nurani. Jika semuanya sudah menolak untuk menumbuhkan cinta yang telah mati, apa boleh buat. Mungkin kita harus pindah ke lain hati? Kejam. Tapi dalam beberapa kasus hal semacam ini harus dilakukan tidak bisa tidak. Seseorang tidak dapat terus 'berkubang' dalam permasalahan yang sama.

Maka bagi seseorang hendaknya berhati-hati dalam bertingkah - laku hingga cinta yang ada di sekeliling Anda tidak meranggas lalu mati. Mengenai perilaku orang lain, itu tanggung jawab mereka untuk merubahnya. Tetapi mengenai perilaku diri sendiri, itu tanggung jawab kita untuk mengendalikannya. Tidak mungkin seseorang akan terus menerus bersabar untuk hal yang menghalangi mereka merasa bahagia. Dalam kewarasan pikir, tidak mungkin seseorang tidak ingin perubahan kearah yang lebih baik. Orang akan bosan diperlakukan dengan semana-mena, baik dengan perkataan apalagi dengan perbuatan. Saya lalu terkenang doa tobat yang kerap diucapkan dalam gereja Katholik. Confiteor dalam bahasa latin yang artinya adalah 'SAYA MENGAKU', "Kepada Allah yang maha kuasa dan kepada saudara sekalian. Bahwa saya telah berdosa. Dengan pikiran dan perkataan. Dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya sungguh berdosa,.."


Confiteor Deo omnipotenti,
beatæ Mariæ semper Virgini,
beato Michæli Archangelo,
beato Ioanni Baptistæ,
sanctis Apostolis Petro et Paulo,
omnibus Sanctis, et vobis, fratres (et tibi pater),
quia peccavi
nimis cogitatione, verbo et opere:
mea culpa,
mea culpa,
mea maxima culpa.
Ideo precor beatam Mariam
semper Virginem,
beatum Michælem Archangelum,
beatum Ioannem Baptistam,
sanctos Apostolos Petrum et Paulum,
omnes Sanctos, et vos, fratres (et te, pater),
orare pro me ad Dominum Deum nostrum.
Amen.

Sunday, July 13, 2014

Mengerti Tentang Kepantasan

Saya beragama Katholik tetapi bukan sejak lahir. It's complicated karena kedua orang-tua berbeda agama dan kedua-duanya bukanlah orang yang mampu mencontohkan, menjelaskan dan mengamalkan tentang agama. Bukan karena mereka orang-tua yang jahat, bukan karena itu. Tetapi karena keduanya terlalu sibuk dengan ego diri masing-masing. Keduanya barangkali kurang mengerti arti 'berkeluarga' dan 'beragama' secara penuh, sehingga pendidikan agama bagi anak-anak sangat terabaikan. Ayah dan ibu bercerai ketika saya berusia sepuluh tahun. Butuh waktu panjang untuk menyelubungi diri dengan tabir penyangkalan bahwa saya tidak bahagia semasa kanak-kanak, hingga akhirnya saya menjadi orang dewasa secara penuh dan bahagia.

Gereja PuhSarang - Kediri
Ketika kecil saya tidak mengerti agama, kurang paham dan pengertian saya tentang agama sangatlah mengambang. Karena bersekolah dasar di sekolah Katholik, saya jadi ikut-ikutan memeluk agama Katholik. Sebenarnya ada kesempatan yang sama untuk memeluk agama Islam karena ayah memeluk agama tersebut. Tetapi perpisahan dengan ayah sejak usia sepuluh tahun membuat saya lebih dekat dengan ibu yang memeluk agama Katholik, walaupun ibu sama sekali tak pernah pergi ke gereja. Pengertian ibu tentang agama Katholik juga mengambang karena ia tidak terlalu aktif mendalami unsur spiritual dalam dirinya. Bahkan sering ibu berkata pada saya bahwa ada banyak orang beragama namun perilakunya tetap buruk. Maka ibu tidak memaksa saya untuk mendalami agama sedemikian rupa. Saya pun percaya, agama 'hanya' sejenis alat, manusia yang mengontrol dirinya. Saya dan ibu seolah berpaham agnostik ketika itu. Kami merasakan keraguan pada eksistensi Tuhan dan keraguan pada kebenaran agama. Mengambang!

Tetapi selalu ada sebuah 'ikatan' dengan Tuhan yang tidak saya mengerti. Ikatan itu berupa 'saringan nurani' yang membuat saya takut untuk berbuat jahat. Mungkin karena saya cengeng dan sentimentil, jadi saya takut akan segala hal. Saya takut bohong, saya takut curang dan saya takut menipu. Bukan karena saya baik, saya pikir justru karena saya pengecut. Karena penakut, maka saya tidak berani berbuat jahat? Bisa juga karena semasa kecil bersekolah di sekolah Katholik yang penuh disiplin. Atau semasa kecil terlalu sering ditakut-takuti. Pokoknya saya tumbuh dewasa dengan aneka rasa ketakutan. Saya takut ketika nilai saya jelek, takut ketika tidak membuat PR, bahkan takut terlambat karena gerbang sekolah akan digembok jika terlambat, siswa dilarang masuk! Mungkin juga karena takut ibu yang single parents akan kecewa 'jika anaknya tidak berhasil dalam hal apapun juga'. Maka terlalu banyak ketakutan yang membebani saya sejak kecil.

Pemikiran saya tentang agama yang sangat 'mengambang' terbawa hingga dewasa. Saya masih ragu untuk dipermandikan secara Katholik. Hingga usia dua puluh empat tahun, saya adalah Katholik KTP. Saya mengaku beragama Katholik tapi tidak tahu apa-apa. Semua serba ikut-ikutan. Dalam hati saya bahkan berkata pada Tuhan, nanti agamanya 'ikut pasangan' saja. Misalkan mendapat pasangan yang beragama Budha, maka saya akan memeluk agama Budha. Mendapat pasangan yang beragama Islam, maka saya juga akan memeluk Islam. Mana-mana yang cocok. Anehnya, ketika saya memikirkan gagasan itu tidak ada satupun pria yang rasanya pantas menjadi pasangan. Ada orang - orang yang tertarik pada saya, tetapi saya kurang tertarik. Dan sebaliknya. Ada saja aneh dan celanya. Lalu sebuah gagasan lain muncul, saya harus 'beragama' dulu, barangkali ada seseorang yang akan muncul? Aneh tapi nyata, bahkan ketika saya mengikuti pendidikan agama dan belum selesai, seseorang muncul! Setelah dipermandikan, mendadak saja saya sudah punya kekasih. Ajaib.

Bertahun-tahun saya ke gereja, ada banyak kata-kata pujian yang diucapkan di dalam gereja. Kadang bagi saya membosankan. Rasanya seperti kata-kata kosong yang saya tidak tahu, ini maksudnya apa sih? Butuh waktu berpuluh tahun untuk mengerti kata-kata itu. Hari ini salah satu kata-kata baru saja saya mengerti. Selama mencoba menekuni agama, saya tidak mendapat bimbingan dari siapapun secara intensif. Saya hanya mengamati kehidupan dan membaca kitab suci. Itupun tidak reguler. Membaca kitab suci adalah hal membosankan lainnya yang membuat saya malas. Banyak kisah dalam kitab yang tidak saya mengerti, ini maksudnya apa? Sekalipun dijelaskan dengan kata-kata, SAYA TETAP TIDAK MENGERTI. Pengalaman hiduplah, yang pada akhirnya membuat SAYA LEBIH PAHAM. Maka dari itu butuh waktu yang panjang bagi saya untuk mendalami agama. Bukan untuk pamer, bukan untuk sok suci. Tapi untuk lebih untuk menertibkan diri sendiri. Dan saya berterimakasih kepada Tuhan. Hal yang luar biasa, saya merasa belajar agama bukan dibimbing oleh manusia tetapi oleh Tuhan sendiri!

Ada kata-kata yang sering saya dengar di gereja sebagai berikut, "YA TUHAN, TIDAK PANTAS BAGI SAYA JIKA TUHAN DATANG PADA SAYA, TETAPI BERSABDALAH SAJA MAKA SAYA AKAN SEMBUH." Saya sering bingung dengan kata-kata ini. Kenapa Tuhan tidak boleh datang? Kan kita butuh Tuhan? Hari ini ada sebuah bacaan tentang CENTURION, seorang pemimpin tentara Romawi pada jaman dahulu. CENTURION adalah pemimpin terhormat yang memimpin 100 tentara. Ia punya pangkat dan kaya. Tetapi ada seorang centurion yang mengerti tentang kepantasan, bahwa pangkat dan kaya bukan menjadikannya tinggi tetapi TUHAN-lah yang harus ditinggikan. Centurion ini punya hamba/ pembantu yang sakit keras. Lalu ia menemui Tuhan dan berkata, "Tuhan saya mengerti tentang kepantasan. Saya punya anak buah dan hamba sahaya, kalau saya perintahkan mereka akan menurut. Demikian pula saya memiliki komandan di ketentaraan, kalau ia memerintah maka saya akan menurut. Apalagi terhadap Tuhan? Maka Tuhan tidak pantas datang ke rumah saya, cukup bersabdalah saja dan tolong sembuhkan hamba sahaya/ pembantu saya yang sedang sakit."

Berdasarkan kisah tersebut, saya baru mengerti tentang kepantasan. Tentang kata-kata membosankan yang diulang-ulang dalam gereja. Saya baru mengerti seluruh perjalanan kehidupan yang ada dibelakang saya. Waktu-waktu dimana agama terasa mengambang dan pertanyaan tentang, "Sungguhkah Tuhan itu ada? Buktinya apa? Mengapa hidup saya dibuat menderita seperti ini?" Hal itu tak dapat terjawab dengan satu jentikan jari. Tetapi dengan sebuah alur perjalanan kehidupan. Dan memang ketika itu saya tidak mengerti KEPANTASAN. Saya anggap Tuhan yang harus datang kepada saya. Mana-mana saja agama akan sama saja, tokh semuanya agama pasti punya maksud baik. Yang tidak saya pahami adalah masing-masing orang memiliki 'panggilan' tersendiri. Maka tidak semua orang beragama sama atau berpengertian yang sama atau berperilaku yang sama. Tuhan memanggil dan bersabda menurut 'buku kehidupan' masing-masing. Sekarang saya baru tahu mengapa waktu itu untuk mendapatkan pasangan kok sulit sekali? Rasanya Tidak ada yang pantas dan cocok. Namun seketika saya dipermandikan, langsung saja menemukan seseorang (yang sekarang menjadi suami berbelas tahun lamanya). Saya tidak tahu bahwa SAYA TIDAK PANTAS memerintahkan Tuhan datang kepada saya. Tetapi ketika Ia bersabda, maka saya menjadi 'sembuh.'

The Centurion's Great Faith (Matt 8:8)
…7 Jesus said to him, "I will come and heal him."8 But the centurion said, "Lord, I am not worthy for You to come under my roof, but just say the word, and my servant will be healed.