Hard to explain this. Dibilang sulit, engga juga. Dicari gampangnya, mungkin karena sang ibu yang mengandung anaknya selama 9 bulan? Beberapa hari lalu anak saya pulang camp liburan. Kegiatan yang diselenggarakan selama libur sekolah. Ada hal yang membuat saya nyaris murka. Selama ini anak saya bersekolah di sekolah yang kecil scopenya. Muridnya tidak banyak. Saya merasa puas dengan keadaan ini dan berterima-kasih pada principal/kepala sekolah yang masih punya idealisme tinggi. Sehingga sekolahnya tidak diubah menjadi mesin pencetak uang dengan jumlah siswa yang banyak membludak dan jumlah guru yang tak ubahnya karyawan kartu ceklok pagi-sore. Datang untuk absen, ceklok kartu dan nanti sore pulang, ceklok kartu lagi di mesin absensi. Semoga tidak ada sekolah yang beroperasi dengan gaya seperti itu, tanpa sisi humanisme.
Karena sekolahnya kecil, rata-rata murid saling mengenal. Demikian pun saya berusaha berkenalan dengan parents yang lain. Saya merasa bahwa sekolah tersebut dengan sendirinya ter-filter. Rasanya mayoritas orang tua yang ada disitu sangat memperhatikan kesejahteraan anaknya, hingga ke titik koma. Dalam artian saya melihat ortu membesarkan anak-anak tidak sekedar diumpan dengan materi atau kebutuhan tapi termasuk sisi-sisi humanisme-nya dibangun. Building character-nya dikerjakan dengan teliti oleh orang-tua maupun guru-guru. Sekali waktu saya mengambil rapor anak saya. Dan saya melihat seorang siswa lelaki yang sudah lulus datang berkunjung. Siswa ini datang untuk bertemu dengan salah satu gurunya. Ia baru saja kuliah dan adiknya juga masih bersekolah disekolah yang sama dengan putri saya. Siswa senior ini menyapa gurunya dengan bahasa Inggris yang sangat fasih dan bercakap tentang masa depan, beasiswa dan perkuliahan yang diambil. Saya yang mendengar saja merasa sangat bangga. Orang-tua dan gurunya sudah berhasil "menyiram" dan "memupuk" anak tersebut dengan baik, satu benih generasi penerus bangsa. Sekolahnya mahal? Enggak, relatif murah. Kalau melihat bangunannya ngenes, seperti konstruksi bedeng tambal sulam. Saya makin menyadari 'esensi laskar pelangi.' Bahwa anak-anak itu dibina bukan sekedar menyorot isi kantongnya tetapi terpenting pada isi kepalanya!
Kembali pada masalah anak pulang camp liburan. Camp ini diselenggarakan bukan dari sekolah tapi dari kegiatan yang diikuti oleh putri saya. Otomatis siswanya juga berasal dari berbagai sekolah lain. Dalam suatu kesempatan persiapan jurit malam, anak saya membangunkan anak lain. Bersiap untuk berangkat jurit malam. Ternyata salah satu anak lelaki yang dibangunkan marah besar dan mendadak menyabet putri saya menggunakan jaket hingga dahinya terluka cukup dalam sepanjang kira-kira setengah centimeter. Waktu melihat anak diperlakukan begitu oleh anak lain rasanya mau mengamuk. Itu orang-tuanya sadar atau tidak kalau anaknya agresif dan berangasan lalu tingkahnya membahayakan anak lain? Anak-anak masih bisa diatur hingga usia sekitar 8tahun. Setelah itu ia mulai membangun karakternya sendiri. Masih bisa dicereweti hingga usia 16-17 tahun. Tapi setelah itu, semuanya akan bertumbuh dengan pesat, sikap, sifat, kesopanan, kehalusan budi dan sebagainya. Karakter akan mengental sendiri hingga usia 21 tahun, yang pada akhirnya orang tua sudah mulai sulit mengontrol. Pada usia awal 30-an saya masih dikontrol oleh ibu saya. Memang menakutkan, tapi trauma masa kecil mungkin membuat ibu dan saya memiliki hubungan yang sangat kompleks. Jadi "sangat lambat" untuk menjadi dewasa sepenuhnya. Hal ini tidak bagus juga.
Ketika melihat putri saya dahinya terluka dan mengering, langsung saja saya dan suami merasa jengkel pada anak yang mencederai anak saya. Inginnya langsung komplen dan marah. Memang masalahnya kecil, biasa dan sudah selesai, apalagi lukanya sudah mengering. Tetapi menyabet anak lain dengan jaket hingga membuatnya terluka menurut saya termasuk tindakan penyerangan yang membahayakan. Bagaimana kalau kena mata? Fatal akibatnya! Satu hal yang membuat kami terdiam, anak saya dengan santainya menganggap itu semua hanyalah masalah kecil. "Its okay Mam. Anak itu memang bermasalah. Sudah sering dia dibahas oleh anak-anak lain karena sikapnya kayak gitu. Dan Mami nggak usah komplen kemana-mana. Nanti aku yang di-bully dikatakan cengeng dan minta dibela ortu hanya karena masalah luka kecil seperti ini. Sudahlah jangan dipermasalahkan, Mami!" Well, I guess saya juga sudah membesarkan anak yang cukup berkarakter dan punya mental baja. I love u so much daughter! Kenapa ibu-ibu sering mengamuk terkait keselamatan dan kesejahteraan anaknya? Karena ia sangat mencintai sang anak,...
Mungkin dalam satu kali rentang hidup... ada sesuatu yang menggiring orang untuk ngamuk. Saya pernah, dan baru saja saya tulis... tentang mengapa saya ngamuk. Terkait dengan bagaimana orang bicara (dari artikel "Semoga baik-baik saja"-nya)... ada sesuatu yang bisa memicu saya.
ReplyDeleteSaya tak nyaman bila bekerja pada bos yang suka marah2 tak jelas, semuanya kena marah—dan jika saya merasa keluarga atau orang dekat saya terancam. http:/wp.me/p60Eiy-3O tapi soal ibu yang ngamuk gegara anaknya ini juga sering saya temui pula. Seperti Kompasianer mbak Gitanyali pernah nulis di statusnya pada FB, atau seperti yang pernah saya alami sendiri (ibu saya yang ngamuk). Ya udah... salam ngamuk ^_^
hehehe...ya untung agung bukan ibu-ibu yaaa,..semoga gak gampang ngamuk-ngamuk..
ReplyDeleteTapi kalo dipikir-pikir, benar juga sih Mbak, kelihatannya memang "kecil"-menyabet dengan jaket, tapi kalo mengenai bagian tubuh yang vital, saya rasa ada bahayanya juga sih...
ReplyDeleteiya ngerinya kalau ngadain acara unt anak/remaja tanggung-jawabnya gede...
Delete