Waktu itu saya bekerja di sebuah kantor besar dengan karyawan yang jumlahnya ratusan orang dan customer yang wara-wiri jumlahnya ribuan orang. Kebayang bagaimana hiruk-pikuknya kehidupan berkomunitas yang saya alami selama bertahun-tahun. Kantor sebesar itu menurut saya memberi gaji atau upah tidak sebesar yang saya harapkan. Sayang ya? He-he-he,.. Otomatis setiap bulan banyak hitung-hitungan yang saya lakukan. Termasuk untuk biaya sendiri, biaya keluarga dan anak saya serta biaya berkomunitas. Kalau dihitung-hitung serasa setor nyawa. Antara kelelahan dan upah yang didapat tidak berbanding lurus tetapi berbanding terbanting. Nggak enaknya lagi, karena sifat komunitas yang besar, otomatis banyak teman/rekan/relasi. Dulu itu setiap saat selalu ada orang yang mengedarkan 'kantong solidaritas.' Urunan untuk segala hal. Jika ada teman sekerja yang meninggal atau ada rekan lainnya yang menikah atau punya anak atau tertimpa musibah. Bahkan urunan beli kaos kelompok rekan-rekan sekerja, sekedar untuk identitas! Yang namanya permintaan urunan selalu hadir dalam setiap kesempatan. Awalnya ikhlas, lama-lama saya jadi memelas. Kalau gini caranya, bagaimana gaji yang sudah seiprit itu akan mencukupi?
Saat itu ada banyak pikiran-pikiran yang saya sesali. Misalkan ada teman/rekan yang kena musibah seolah saya jadi 'kesenggol' musibahnya karena harus ikut urunan. Biaya bersosial dan berkomunitas itu memang tidak main-main. Tidak mungkin juga saya menolak ikut urunan dengan mengatakan, "Saya nggak berminat ikut urunan menyumbang karena saya tidak begitu kenal/akrab dengan rekan tersebut." Atau misalkan ada orang yang terkena musibah lalu saya menolak memberi sumbangan dengan alasan, "Saya nggak ikut menyumbang karena saya sedang bokek." Gengsi juga kalau teman-teman lalu melirik saya dan memandang, kesian amat siy lu? Jadi saya mulai terlibat masuk dalam situasi-situasi yang menjepit dan kurang menyenangkan. Dipaksa nyumbang lama-lama bokek dan saya tidak ikhlas. Menyumbang tapi milih-milih orang juga akan membuat yang lain mencibir dan menganggap saya orang yang kikir serta tidak punya hati. Tapi kalau begini terus kan bangkrut? Buat apa bekerja kalau terlalu banyak biaya-biaya yang keluar dan tidak sebanding dengan pendapatan dari pekerjaan itu sendiri? Yang namanya hati jadi bengis. Sebel kalo dipaksa menyumbang atau urunan ini-itu gak jelas!
Setelah tidak lagi bekerja kantoran. Saya merasa lega. Sebenarnya saya orang yang sangat friendly dan suka berteman. Tetapi saya bukan jenis orang yang pandai berbasa-basi. Setelah tidak bekerja otomatis pendapatan juga tidak lagi menjadi pendapatan tetap, namun pendapatan tidak tetap. Itupun diberi oleh suami. Tetapi konsep menyumbang saya menjadi lebih baik. TERBUKA. Saya jadi tidak pilih-pilih untuk menyumbang karena jumlah komunitas saya mengecil tidak sebesar sebelumnya. Jumlah orang yang ada disekitar saya juga hanya sebatas komunitas teman-teman perkumpulan doa, teman kuliah dan beberapa teman penulis. Itupun dengan frekuensi pertemuan yang jarang. Biasanya hanya berkomunikasi melalui media sosial. Nah, dengan bentuk seperti ini saya mulai melihat dengan jelas bahwa memberi kepada orang lain itu memang tidak selayaknya 'dipaksa'. Tetapi sebaiknya dari hati. Saya mulai dapat membedakan mana-mana yang harus diprioritaskan. Menyumbang orang meninggal itu menjadi keharusan. Menyumbang pernikahan juga. Lalu memberi dana atau pinjaman keluarga/orang yang membutuhkan. Jumlahnya tidak harus besar tetapi menunjukkan bahwa "I care" atau "saya memperhatikan keadaan Anda." Lalu pada hari raya juga menyumbang untuk pekerja-pekerja yang ada disekitar kehidupan kami. Para asisten, satpam dan tukang sampah. Suami bahkan khusus berjalan jauh dan 'mencegat' tukang sampah khusus untuk memberikan sekedar 'tanda kasih.' Karena tukang sampah cepat sekali berjalan dari rumah ke rumah dengan kendaraan dinasnya.
Lama-kelamaan konsep 'memberi' menjadi suatu kewajiban atau tanggung-jawab untuk memperhatikan kebahagiaan orang lain. Orang-orang yang memang kami anggap harus diberi, dibantu atau disumbang. Entah keluarga, teman, atau pihak lain. Memberi menjadi keikhlasan karena kali ini tampa diminta, tanpa disodorkan kantong, kami sendiri yang berpikir untuk menyisihkan sedikit dana dan bantuan untuk mereka yang harus diberi sumbangan. Lalu ketika rasa ikhlas dalam memberi itu ada, semua beban menjadi terlepas. Yang dahulu 'memberi sumbangan' adalah keterpaksaan, sekarang menjadi 'kewajiban diri sendiri menolong orang lain yang lebih membutuhkan.' Sikap egoistis mulai dilepas. Balik lagi pada kata-kata. Mau dibawa kemana harta dunia ini? Apakah semuanya akan dibawa mati dikubur dalam liang lahat kita? Tentunya tidak! Lebih bermanfaat jika sebagian uang atau harta itu dapat membahagiakan hidup orang lain. Seorang teman pernah menasihati, "Harta kita harus diputihkan dengan zakat kita."
Saya lalu berpikir kembali pada masa lalu. Pada saat ketika saya merasa, "Udah gaji sangat kecil. Biaya sumbangan dan lain-lain yang harus dikeluarkan sangat besar dan setiap saat." Lalu saya menggerutu dan mengomel dalam hati. Sehingga memang gaji saya tidak pernah naik secara signifikan! Naiknya rata-rata saja. Bahkan selalu terlibas inflasi. Lalu saya terus mengomel dan merasa sebal atas kecilnya si gaji. Saya merasa itulah takdir yang saya buat dengan sendirinya tanpa sadar. Karena saya banyak merasa tidak puas dan mengomel menganggap gaji kecil maka gaji itupun selalu kecil. Bagaikan lingkaran setan, ketika kita selalu menggerutu dan tidak ikhlas saat harus kehilangan secuil dari harta kita. Sekecil itu pula pertambahan harta kita yang diberikan oleh Tuhan. Sekecil dan sekerdil gerutuan saya atas keharusan menyumbang sana-sini. Sekarang, kami tidak lagi seperti itu. Kalau punya uang ya menyumbang semampunya. Kalau tidak punya uang, mengaku dengan jujur dan meminta maaf bahwa belum ada yang dapat dibagikan pada orang lain. Tetapi ternyata semakin sering kami memberi (dan dengan ikhlas), semakin pula dicukupkan dengan pemberianNya. Hingga hari ini! Jadi usahakan banyak memberi (dengan ikhlas) dan nantikan apa yang akan kita terima (lebih banyak lagi) dariNya. Ucapkan : Amin!
Well said! kata kuncinya mmg di 'ikhlas' ;)
ReplyDeletebenar Bunnn...
Delete