Wednesday, July 22, 2015

Kebijaksanaan Untuk Selalu Menyenangkan Orang Lain

Dalam suatu masa kehidupan, pernah saya merasa sangat sulit berkomunikasi. Bukan karena saya mendadak kaku atau bisu, tetapi karena saya merasa 'dibatasi' oleh sebuah aturan yang tak nampak. Sangat sulit untuk bergerak dan bersuara. Berbicara harus diatur. Bercanda harus diatur. Berkomentar harus diatur. Bisa gila kan kalau segala hal seperti itu harus diatur? Dan terus-menerus pula! Masalah diatur ini bukan baru-baru saja. Tetapi sejak kecil. Saya menjadi seseorang yang terlalu penurut dan 'gampang diatur.' Tetapi efeknya setelah dewasa, ketika melewati sebuah ambang batas toleransi dalam diri, kesabaran akan dapat meledak menjadi sebuah gumpalan kemarahan yang besar. Seperti pesakitan yang terlalu lama dibelenggu, suatu ketika ada sebuah kekuatan besar yang memaksanya untuk melepaskan segala rantai yang mengikat! Criiinnng!!

Ketika terjebak dalam situasi yang tidak memungkinkan saya untuk lebih ceria, lebih bahagia, lebih kreatif, saya menjadi seorang yang pendiam dan tertekan. Kadang-kadang saya diam karena saya sudah sangat hafal dengan watak seseorang atau lingkungan komunitas dimana saya berada. Dan saya tahu persis hal-hal yang akan memicu perseteruan atau permusuhan. Saya tidak bisa sembarang merespon atau menolak hal-hal yang menjadi keinginan mayoritas atau hal-hal yang dipaksakan oleh satu pihak sementara yang lain gemar membeo saja. Saya ingin mendapat kejelasan, "Kenapa saya harus berkata IYA? Kenapa saya harus SETUJU dengan pendapat Anda? ALASANNYA apa?" Lalu dengan parameter pendidikan yang saya miliki, buku-buku yang saya baca, usia dan pengalaman hidup, saya merasa MAMPU untuk menimbang apakah SAYA AKAN SETUJU atau TIDAK SETUJU. Singkatnya mungkin saya sudah EsTeWe dan inginnya hanya merespon dengan satu reflek kalimat, "Hei, ...saya bukan anak kecil lagi! Saya tahu apa yang terbaik untuk saya. Setidaknya ijinkan saya belajar mengambil keputusan yang saya inginkan sendiri. DAN BERHASIL atau TIDAKNYA atas dasar keputusan itu adalah resiko SAYA."

Saya ulang lagi kata-kata mutiara yang sangat saya sukai, "MENJADI TUA KARENA PERTAMBAHAN USIA ITU TAKDIR, TETAPI MENJADI BIJAKSANA SEIRING DENGAN BERTAMBAHNYA USIA ITU PILIHAN." Jadi ada momen-momen dimana kadang saya tidak setuju dengan pendapat orang lain tetapi saya 'terlalu sopan' untuk berteriak atau mengatakan TIDAK SETUJU. Akibatnya saya hanya menjadi diam dan pasif. Kenapa saya tidak bisa sembarang mengungkapkan ketidak-setujuan kepada sembarang orang? KARENA: ada orang yang BISA menerima perbedaan dan berkompromi atau beradaptasi dengan perbedaan tersebut. Ada orang yang TIDAK BISA menerima perbedaan dan MEMAKSA orang lain untuk sependapat dengannya. Sementara sekali lagi, 'untuk bersikap sopan' saya tidak mau berkonflik, membantah apalagi bertengkar. Situasi semacam ini jika dihadapi dalam sebuah komunitas besar atau lingkungan yang semuanya sudah memiliki watak seragam seperti koor atau paduan suara maka akan membuat seseorang yang berbeda menjadi 'si aneh.' Weirdo. Nah, pernah dalam suatu masa kehidupan itu saya merasa saya adalah orang yang paling 'aneh' dan tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Saking tidak ingin lagi berantem, merasa tidak cocok, benci, sirik atau ribut dengan orang lain, saya menjadi si pendiam yang tertekan. Pernah saya membayangkan diri saya kemana-mana dengan menggendong seekor kucing atau memeluk boneka Teddy Bear dan saya hanya bersedia bicara dengan kucing atau boneka yang ada di pelukan saya. Yang paling sering saya membayangkan diri saya meringkuk, menunduk, menutup mata disebuah sudut dengan kedua tangan erat menutup telinga. Karena saya tidak mau mendengar apa-apa lagi. Terlalu banyak suara. Saya terlalu lelah didekte sana-sini. Gambaran yang mengerikan bukan? 

Politik adalah 'trik' untuk lolos dari situasi-situasi yang saya gambarkan. Dalam artian bisa setuju atau pura-pura setuju atau terlihat merespon dengan sangat baik terhadap tanggapan orang lain. Padahal dalam hati mencela atau tidak suka atau punya rencanya yang mungkin berbeda 180 derajad dengan yang ditampakkan. Too bad, SAYA TIDAK BISA. Suka atau tidak suka akan langsung tergambar di wajah saya. Dan untuk setiap ketidak-sukaan, saya akan punya alasan WHY. Dan orang-orang yang fleksible pasti akan mencoba mempengaruhi atau mengubah pendapat saya. Ketika pertimbangan saya MASUK pada argumennya dan saya bisa menerima MAKA SAYA AKAN dan HARUS BERUBAH. Karena hanya ORANG YANG BODOH YANG SELALU MENGANGGAP DIRINYA PALING BENAR. Tetapi ketika pertimbangan saya tidak masuk terhadap argumennya alias saya tidak setuju, maka PARA SAHABAT akan menerima sikap saya APA ADANYA. Tetapi orang-orang yang TIDAK SUKA saat pendapatnya ditolak otomatis juga akan langsung merasa TIDAK SUKA kepada saya. Kadang-kadang saya menganggap diri saya bukanlah pemain team yang baik. Mengapa saya membahas panjang dan lebar tentang hal ini? Karena saya sudah sampai pada kebijaksanaan UNTUK TIDAK SELALU MENYENANGKAN ORANG LAIN. Kenapa? Capek hati dong!... Kalau yang disenangkan melulu orang lain, maka diri sendiri akan menjadi terlalu banyak mengalah, berkorban dan being yes Sir person,... Ini bukan masalah egois atau kaku. Tetapi mengerti poin-poin mana yang bermanfaat bagi pengembangan pribadi kita dan poin-poin mana yang hanya merupakan 'adu emosi' atau bertengkar tanpa guna atau menjadi budak orang lain. Hal-hal yang destruktif. Yup, .. maaf kadang saya bisa tidak setuju dan tidak suka kepada orang lain juga. Inginnya sih menyukai semua orang, tetapi tidak bisa ditampik dalam kehidupan ini akan selalu ada orang-orang yang tidak menyenangkan dan tidak bisa disukai. Makanya saya nggak mau juga selalu menyenangkan orang lain, wani piro? 

2 comments:

  1. Baru semalam saya bicara tentang hal yang persis sama seperti tulisan Mbak Win sama teman baik saya. Selain dengan lingkungan luar, sering terjadinya sama keluarga besar Ibu, semakin kesini, saya merasa semakin berbeda dan (benar kata Mbak Win) buku-buku dan pengalaman hidup itu juga sering saya jadikan parameter.
    Sekali lagi, saya sepertinya memahami bahwa berusaha tetap bersikap sopan dalam menyatakan "tidak setuju" untuk menghindari berkonflik, membantah dan berantem.. saya juga cenderung diam dan pasif. Kadang masih dengan tambahan pikiran "bagaimana bisa seseorang itu selalu merasa pendapatnya selalu benar, dan setiap saat berkata "oh, kalo aku ya begini bukan begitu" dan seolah-olah adalah sebuah kebutuhan wajib untuk diakui dan dipandang elok oleh orang lain".. aaah, iki asline saya mbayangin situasi yang kerap terjadi di keluarga besar saya Mbak.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi... sikapmu udah bener kok artinya kamu asli keturunan "KARTINI" bukan "Kartono" hihihi...kalo ibuku ya gitu sering muncul dengan dalil "Kalo menurut Mami..." -- kalo sekarang saya sering ngomong ke putri saya, "Nanti tolong ingatkan mami supaya di masa tua mami jangan jadi ibu-ibu yang rewel.." hahahaha...

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.