Sunday, July 13, 2014

Mengerti Tentang Kepantasan

Saya beragama Katholik tetapi bukan sejak lahir. It's complicated karena kedua orang-tua berbeda agama dan kedua-duanya bukanlah orang yang mampu mencontohkan, menjelaskan dan mengamalkan tentang agama. Bukan karena mereka orang-tua yang jahat, bukan karena itu. Tetapi karena keduanya terlalu sibuk dengan ego diri masing-masing. Keduanya barangkali kurang mengerti arti 'berkeluarga' dan 'beragama' secara penuh, sehingga pendidikan agama bagi anak-anak sangat terabaikan. Ayah dan ibu bercerai ketika saya berusia sepuluh tahun. Butuh waktu panjang untuk menyelubungi diri dengan tabir penyangkalan bahwa saya tidak bahagia semasa kanak-kanak, hingga akhirnya saya menjadi orang dewasa secara penuh dan bahagia.

Gereja PuhSarang - Kediri
Ketika kecil saya tidak mengerti agama, kurang paham dan pengertian saya tentang agama sangatlah mengambang. Karena bersekolah dasar di sekolah Katholik, saya jadi ikut-ikutan memeluk agama Katholik. Sebenarnya ada kesempatan yang sama untuk memeluk agama Islam karena ayah memeluk agama tersebut. Tetapi perpisahan dengan ayah sejak usia sepuluh tahun membuat saya lebih dekat dengan ibu yang memeluk agama Katholik, walaupun ibu sama sekali tak pernah pergi ke gereja. Pengertian ibu tentang agama Katholik juga mengambang karena ia tidak terlalu aktif mendalami unsur spiritual dalam dirinya. Bahkan sering ibu berkata pada saya bahwa ada banyak orang beragama namun perilakunya tetap buruk. Maka ibu tidak memaksa saya untuk mendalami agama sedemikian rupa. Saya pun percaya, agama 'hanya' sejenis alat, manusia yang mengontrol dirinya. Saya dan ibu seolah berpaham agnostik ketika itu. Kami merasakan keraguan pada eksistensi Tuhan dan keraguan pada kebenaran agama. Mengambang!

Tetapi selalu ada sebuah 'ikatan' dengan Tuhan yang tidak saya mengerti. Ikatan itu berupa 'saringan nurani' yang membuat saya takut untuk berbuat jahat. Mungkin karena saya cengeng dan sentimentil, jadi saya takut akan segala hal. Saya takut bohong, saya takut curang dan saya takut menipu. Bukan karena saya baik, saya pikir justru karena saya pengecut. Karena penakut, maka saya tidak berani berbuat jahat? Bisa juga karena semasa kecil bersekolah di sekolah Katholik yang penuh disiplin. Atau semasa kecil terlalu sering ditakut-takuti. Pokoknya saya tumbuh dewasa dengan aneka rasa ketakutan. Saya takut ketika nilai saya jelek, takut ketika tidak membuat PR, bahkan takut terlambat karena gerbang sekolah akan digembok jika terlambat, siswa dilarang masuk! Mungkin juga karena takut ibu yang single parents akan kecewa 'jika anaknya tidak berhasil dalam hal apapun juga'. Maka terlalu banyak ketakutan yang membebani saya sejak kecil.

Pemikiran saya tentang agama yang sangat 'mengambang' terbawa hingga dewasa. Saya masih ragu untuk dipermandikan secara Katholik. Hingga usia dua puluh empat tahun, saya adalah Katholik KTP. Saya mengaku beragama Katholik tapi tidak tahu apa-apa. Semua serba ikut-ikutan. Dalam hati saya bahkan berkata pada Tuhan, nanti agamanya 'ikut pasangan' saja. Misalkan mendapat pasangan yang beragama Budha, maka saya akan memeluk agama Budha. Mendapat pasangan yang beragama Islam, maka saya juga akan memeluk Islam. Mana-mana yang cocok. Anehnya, ketika saya memikirkan gagasan itu tidak ada satupun pria yang rasanya pantas menjadi pasangan. Ada orang - orang yang tertarik pada saya, tetapi saya kurang tertarik. Dan sebaliknya. Ada saja aneh dan celanya. Lalu sebuah gagasan lain muncul, saya harus 'beragama' dulu, barangkali ada seseorang yang akan muncul? Aneh tapi nyata, bahkan ketika saya mengikuti pendidikan agama dan belum selesai, seseorang muncul! Setelah dipermandikan, mendadak saja saya sudah punya kekasih. Ajaib.

Bertahun-tahun saya ke gereja, ada banyak kata-kata pujian yang diucapkan di dalam gereja. Kadang bagi saya membosankan. Rasanya seperti kata-kata kosong yang saya tidak tahu, ini maksudnya apa sih? Butuh waktu berpuluh tahun untuk mengerti kata-kata itu. Hari ini salah satu kata-kata baru saja saya mengerti. Selama mencoba menekuni agama, saya tidak mendapat bimbingan dari siapapun secara intensif. Saya hanya mengamati kehidupan dan membaca kitab suci. Itupun tidak reguler. Membaca kitab suci adalah hal membosankan lainnya yang membuat saya malas. Banyak kisah dalam kitab yang tidak saya mengerti, ini maksudnya apa? Sekalipun dijelaskan dengan kata-kata, SAYA TETAP TIDAK MENGERTI. Pengalaman hiduplah, yang pada akhirnya membuat SAYA LEBIH PAHAM. Maka dari itu butuh waktu yang panjang bagi saya untuk mendalami agama. Bukan untuk pamer, bukan untuk sok suci. Tapi untuk lebih untuk menertibkan diri sendiri. Dan saya berterimakasih kepada Tuhan. Hal yang luar biasa, saya merasa belajar agama bukan dibimbing oleh manusia tetapi oleh Tuhan sendiri!

Ada kata-kata yang sering saya dengar di gereja sebagai berikut, "YA TUHAN, TIDAK PANTAS BAGI SAYA JIKA TUHAN DATANG PADA SAYA, TETAPI BERSABDALAH SAJA MAKA SAYA AKAN SEMBUH." Saya sering bingung dengan kata-kata ini. Kenapa Tuhan tidak boleh datang? Kan kita butuh Tuhan? Hari ini ada sebuah bacaan tentang CENTURION, seorang pemimpin tentara Romawi pada jaman dahulu. CENTURION adalah pemimpin terhormat yang memimpin 100 tentara. Ia punya pangkat dan kaya. Tetapi ada seorang centurion yang mengerti tentang kepantasan, bahwa pangkat dan kaya bukan menjadikannya tinggi tetapi TUHAN-lah yang harus ditinggikan. Centurion ini punya hamba/ pembantu yang sakit keras. Lalu ia menemui Tuhan dan berkata, "Tuhan saya mengerti tentang kepantasan. Saya punya anak buah dan hamba sahaya, kalau saya perintahkan mereka akan menurut. Demikian pula saya memiliki komandan di ketentaraan, kalau ia memerintah maka saya akan menurut. Apalagi terhadap Tuhan? Maka Tuhan tidak pantas datang ke rumah saya, cukup bersabdalah saja dan tolong sembuhkan hamba sahaya/ pembantu saya yang sedang sakit."

Berdasarkan kisah tersebut, saya baru mengerti tentang kepantasan. Tentang kata-kata membosankan yang diulang-ulang dalam gereja. Saya baru mengerti seluruh perjalanan kehidupan yang ada dibelakang saya. Waktu-waktu dimana agama terasa mengambang dan pertanyaan tentang, "Sungguhkah Tuhan itu ada? Buktinya apa? Mengapa hidup saya dibuat menderita seperti ini?" Hal itu tak dapat terjawab dengan satu jentikan jari. Tetapi dengan sebuah alur perjalanan kehidupan. Dan memang ketika itu saya tidak mengerti KEPANTASAN. Saya anggap Tuhan yang harus datang kepada saya. Mana-mana saja agama akan sama saja, tokh semuanya agama pasti punya maksud baik. Yang tidak saya pahami adalah masing-masing orang memiliki 'panggilan' tersendiri. Maka tidak semua orang beragama sama atau berpengertian yang sama atau berperilaku yang sama. Tuhan memanggil dan bersabda menurut 'buku kehidupan' masing-masing. Sekarang saya baru tahu mengapa waktu itu untuk mendapatkan pasangan kok sulit sekali? Rasanya Tidak ada yang pantas dan cocok. Namun seketika saya dipermandikan, langsung saja menemukan seseorang (yang sekarang menjadi suami berbelas tahun lamanya). Saya tidak tahu bahwa SAYA TIDAK PANTAS memerintahkan Tuhan datang kepada saya. Tetapi ketika Ia bersabda, maka saya menjadi 'sembuh.'

The Centurion's Great Faith (Matt 8:8)
…7 Jesus said to him, "I will come and heal him."8 But the centurion said, "Lord, I am not worthy for You to come under my roof, but just say the word, and my servant will be healed.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.