Saturday, July 26, 2014

Pekerjaan Rumah Yang Selalu Ada

Menulis itu seperti PR yang terus ada. Jika tidak menulis lalu beberapa gagasan hilang dan menguap begitu saja. Jika diikuti untuk menuliskan segalanya, rasanya pekerjaan yang lain terbengkalai. Menulis memang cocok untuk orang yang tinggal menyendiri di villa yang indah dengan segudang ransum makanan. Sehingga yang dilakukan totally hanya, makan, tidur dan menulis. Idealnya demikian, sayang tidak mudah terlaksana.

Banyak tulisan yang awalnya saya mulai dengan semangat '45 lalu menjadi terbengkalai tak karuan. Karena tiba ditengah kehilangan semangat atau kehilangan ide. Buat saya pribadi 'mood' adalah sesuatu yang sangat penting dalam menulis. Ada beberapa orang yang sanggup memaksa diri untuk menulis dengan tenggat waktu dan disiplin tinggi. Saya menulis ketika ada waktu dan sedang tidak malas. Mungkin itu bedanya penulis produktif dan orang yang hanya bicara 'ingin jadi penulis' namun tidak pernah menuliskan apa-apa.

Saya memyukai menulis semua. Ya, semua. Kalau bisa menulis fiksi, report, travelling, blogging. Apapun itu. Menurut saya akan menyenangkan kalau kita mampu menulis dengan segala cara. Tentu ada bidang-bidang yang mampu kita tuliskan dengan lebih tajam dan menarik sesuai dengan kemampuan kita. Tidak menampik dalam beberapa bidang mungkin tulisan kita kurang baik, karena kurang menguasai. Disitu ada celah untuk terus memupuk diri dan menambah ilmu dalam bidang penulisan.

Dihitung-hitung, sejak mulai belajar menulis di tahun 2009, saya sudah mengumpulkan empat naskah buku. Satu novel, dua kumpulan cerpen dan satu naskah feature. Yang satu kini sudah 'deal' dalam proses penerbitan. Dan yang tiga sedang 'dijajakan'. Tanggapan penerbit juga berbeda-beda. Penerbit besar menolak dengan sopan dan bahasa yang tidak menyinggung. Sadar dan mengerti bahwa menulis beratus halaman bukan hal yang mudah. Kisah didepannya ingat, ditengah lupa bisa jadi endingnya berbeda. Kadang awal menulis sangat mengalir, tiba di tengah macet dan bingung mau kemana tulisan ini akan dibawa? Lalu pada bagian akhir mengambang dan terasa janggal.

Beberapa penerbit yang kurang profesional, menerima naskah lalu mendiamkan selama berbulan. Ketika ditanyakan justru menghina dengan bahasa yang kasar dan menyengat. Kata - kata seperti, 'Tulisan Anda bikin editor menyerah, sama saja ditulis ulang!" Atau kata-kata lain seperti, "Silahkan Anda belajar dari novel-novel lain yang sudah ada sebelumnya, supaya bisa menulis alur yang lebih baik. Belajar lagi ya!" Ya, kalau usia belasan tahun dinasihati demikian masih manut. Kalau sudah nenek-nenek, wah...lumayan makan hati! Hehe,...Tapi ingat, belajar tidak ada batasan usia. Maka sebenarnya siapa yang ingin maju, berkembang dan lebih baik lagi harus terus berusaha. Saya masih terus berusaha, meraih mimpi.

Saya merasa sudah menyia-nyiakan separuh hidup saya demi menyenangkan orang lain. Separuh perjalanan berikutnya lebih baik menyenangkan diri sendiri. Membahagiakan orang lain memang mendapat pahala, tapi mengingkari diri sendiri akan sangat menyakitkan. Disini memang muncul pergumulan. Pilihan antara enak dan tidak enak. Happy dan tidak happy. Untung dan buntung. Tetapi ketika kesadaran diri muncul dan meletakkan segala percaya kepada Tuhan, melakukan sesuatu terasa lebih mudah. Saya menyenangkan diri dengan menulis, namun juga tetap menyenangkan orang lain dengan terus berusaha maksimal untuk membantu. Akhirnya saya belajar menyenangkan orang lain boleh, tapi tidak lalu mengingkari diri sendiri. 

Menulis menjadi pekerjaan rumah yang sangat saya sukai. Disela menyapu, disela membersihkan rumah. Disela menyetrika dan memasukkan pakaian ke dalam lemari. Bahkan disela menonton televisi dan sebagainya menulis menjadi hal yang dirindukan. Perhentian untuk selalu menggoreskan kata-kata dan berbagi cerita. Bagi saya menulis mengasyikan sekaligus rekreasi. Suara-suara yang penuh bisikan di kepala saya akhirnya muncul dan berkata - kata dengan sendirinya melalui tulisan. Herannya, baru beberapa tahun ini saya menyadari. Atau dulu juga menyadari namun mengingkari?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.