Wednesday, July 9, 2014

Hari Pencoblosan

Hari yang ditunggu oleh segenap anak bangsa akhirnya tiba juga. Hari pencoblosan! Banyak orang menantikan momen ini. Banyak warga negara yang tadinya malas mencoblos 'memutuskan turun gunung.' Apakah saya pernah golput alias tidak mencoblos? Saya tidak ingat. Rasanya sejak kerusuhan Mei 1998 dan presiden yang gonta-ganti saya sedikit lupa, apa saja partisipasi saya terhadap negara? Yang pasti sejak menikah, sejak era SBY, saya mulai rajin mencoblos calon pemimpin negara. Saya berpikir bahwa amanah atau tidaknya pemimpin itu adalah dosa dan amal yang ditanggung oleh mereka. Bukan urusan saya! Tetapi sebagai warga negara, apakah saya sudah berusaha aktif dalam berpartisipasi? Iya! Saya ingin memberi contoh pada putri saya. Tidak mau menjadi warga negara yang asal-asalan numpang urip. Ngomelnya banyak, ngeluhnya bejibun, pandai mengoreksi pemerintah, partisipasi NOL! Hei, saya mau Indonesia baru yang lebih baik! Untuk saya dan Anda juga.

Karena tidak terdaftar di DPT, kami datang jam sebelas siang. Mencoblos dengan menggunakan KTP. Entah kekeliruan administrasi atau perihal apa? Sudah dua kali pencoblosan, pileg April 2014 dan pilpres Juli 2014 ini, kami tidak dimasukkan dalam DPT. Padahal kami berdomisili di tempat ini sudah 14 tahun lamanya. #Tanya kenapa? Saya malas cerewet, namun kami melakukan apa yang kami bisa. Kami mendaftar sebagai pemilih dengan KTP. Untungnya selama dua kali pencoblosan tahun ini, selalu tidak ada kesulitan yang berarti. Para pengurus TPS yang sebagian juga pengurus RT dan RW cukup mengenal kami. Mereka tidak berbelit dalam memberikan hak kami untuk mencoblos. Kegiatan yang buat kami menyenangkan. Kami ini tidak bisa menjadi caleg, boro-boro! Tidak ada dana dan ragu jika prosesnya tidak membawa kebaikan namun justru menjadi mudharat. Akan sangat menakutkan ganjarannya dunia-akherat. Namun untuk memberikan suara bagi pemimpin atau calon legislatif, tentu merupakan sebuah kesempatan baik untuk berpartisipasi bagi kemajuan negara. Amanah tidaknya, lagi-lagi berpulang pada pribadi si pengemban amanah.

Jam 11.45 siang kami tiba di lokasi. Cukup panas dan banyak orang menanti giliran namun tidak berjubel. Semua teratur dan dapat jatahnya masing-masing. Seorang anak muda ngotot ingin mencoblos meskipun kertas daftar KTP habis, ia bela-belain memfoto-copynya agar mendapat surat suara. Bagus anak muda! Sebuah keluarga membawa bayi dan bahkan sempat membeli balon antariksa bagi bayinya. Seorang ibu belum pernah mencoblos, setelah mendapat kertas suara ia langsung pergi. Beberapa orang berteriak, "Bu, jangan dibawa pulang! Nyoblosnya di bilik sana!.." Semua orang tertawa, "Gerrr.." Belum pernah nyoblos rupanya. Lalu adik ibu itu muncul dengan pacarnya yang bule. Si Bule bersemangat sekali meneliti TPS seolah kandang dinosaurus. Mungkin dia heran. Di abad internet, negara berpenduduk dua ratus juta orang lebih, meminta penduduknya mencoblos di kotak-kotak aneh dan dimasukkan kotak celengan yang sangat aneh, ukuran wadah krupuk raksasa! Ha-ha! Tapi si bule gembira sekali, ia meminta ikut dengan kekasihnya ke bilik pencoblosan. Bahkan turut serta mencelupkan jemari pada wadah bertinta. Barangkali kini ia tahu, 'Betapa bahagianya menjadi penduduk negara berkembang seperti Indonesia. Yang rakyatnya serba jadoel, sabar, nerimo, mengelus dada,...'

Pola-pola perilaku manusia terus berlanjut. Sebuah keluarga datang. Pak RT mengomel, "Anda sekeluarga pindah. Tidak memberikan info apapun juga. Ini ada undangan pencoblosan. Kami jadi tak tahu kemana harus mengantar? Sekarang kalian datang mendadak pula,...." Mereka terdiam. Keluarga lugu. Tipikal birokrasi di tanah air seperti tumbu entuk tutup, tempayan dengan penutupnya. Klop! Birokrasinya rumit dan orang-orang juga teledor, tidak disiplin, serta malas mengurus persyaratan yang berbelit. Kejadian lain lagi sepasang pasutri bolak-balik dipanggil oleh petugas TPS tidak muncul juga. Apalagi nama sang suami unik, "IVAN AFFAN GUNAWAN." Untuk sejenak para petugas ingin memanggilnya "IVAN GUNAWAN", namun tidak jadi, malah tertawa karena mengingatkan mereka pada salah satu artis tanah air yang namanya sama. Akhirnya kedua orang pasutri muncul setelah dipanggil berkali-kali. Rupanya pulang atau entah berbelanja kemana. Astaga,.. meliwatkan waktu di TPS saja tak sabar, padahal mencoblos hanya lima tahun sekali. Bagaimana jika tiap minggu?

Terakhir muncul seorang bapak dengan modal KTP, nekad ingin minta surat suara. Waktu sudah terlewat jauh. Petugas kemudian menjawab bahwa kertas formulir daftar KTP habis, kalau bisa si bapak memfotocopy KTP-nya saja. Si bapak lalu menyindir, "Oh,... jadi sekarang dipersulit ya?" Si petugas TPS tidak mau dipersalahkan, "Pak, kami bukan mempersulit tetapi ada prosedur yang harus dipatuhi. Silahkan dibaca dipapan pengumuman." Bapak itu digiring ke papan pengumuman oleh satpam. Lalu pergi entah kemana. Suaranya juga lenyap bersama angin. Kurang akomodatif. Seorang gadis bersikeras, "Pada pileg lalu saya mencoblos disini." Petugas TPS menjawab, "Yang lalu iya, kertas suara masih banyak. Kali ini persediaan terbatas. Yang sudah berlalu, ya tidak bisa disamakan dengan sekarang. Silahkan cari TPS lain yang terdekat." Lalu para petugas sedikit menggerundel, "Kami ini kan kerja sosial, bukan pekerjaan yang khusus,..." Hmmm,..tipikal lagi. Kerja tanpa keikhlasan. Saya mengerti panas, lelah dan mengurusi warga yang rewel, apalagi bulan ramadhan sambil berpuasa. Tantangannya seperti apa? Apakah ada honornya? Sekalipun ada seberapa besar sih? Sikap! Jika dituntun agama dan berdoa sebelum melakukannya, mungkin sabar, adem dan bahagia akan mewarnai kinerja. Disisi sebaliknya layanan yang baik dan ikhlas akan mengundang rasa syukur dan terima-kasih warga. 

Rupanya Bapak RT kami memiliki seorang anak berkebutuhan khusus. Usianya kira-kira lima belas tahun. Remaja ini berlarian kesana-kemari dan menjerit-jerit gembira. Saya tak yakin ia mengerti arti pesta demokrasi, namun ia meramaikan siang itu dengan keunikannya. Saking sibuknya sang ayah dan para rekan, tidak ada yang melihat ketika anak ini mencuri sebuah surat suara dan berniat memasukkannya ke 'kaleng krupuk' andalan tanah air. Kami semua menjerit-jerit, "Waduh itu anak melakukan apa, ngaco..." Ayahnya lebih kencang menjerit, merebut surat suara dan menggiring sang anak pulang. Anak itu penggembira politik dan ayahnya pahlwan relawan yang mengurus kebutuhan kami semua di TPS. Pegawai pemerintahan, birokrasi apapun seolah mendapat stempel, 'Patut dicurigai kinerjanya.' Setelah selesai menunaikan tugas sebagai pemilih, saya pulang bersama suami. Dalam perjalanan saya berpikir, ini adalah pesta - pesta kecil demokrasi. Yang jika dijumlah di segenap penjuru tanah-air akan menjadi suatu pesta besar. Janganlah dinodai dengan ambisi segelintir orang yang gila harta dan tahta! Begini saja saya cukup gembira, tapi bukan berarti kami tidak berhak untuk hidup lebih baik lagi. Akh,..saya dan suami hanyalah rakyat jelata, yang masih berusaha menyemaikan harapan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.