Wednesday, July 2, 2014

Keluarga Berencana

Kemarin saya sedang mencuci piring lalu sebuah gagasan muncul dalam benak. Bukan gagasan karena menemukan cara untuk mencuci piring lebih baik. Bukan itu. Namun gagasan mengenai anggota keluarga. Ketika saya masih kecil, rakyat Indonesia di gembar - gemborkan dengan slogan keluarga berencana. Yang artinya dua anak saja cukup. Sehingga jumlah keluarga sebaiknya empat orang, yaitu ayah, ibu dan dua anak. Lelaki dan perempuan sama saja. Diharapkan jumlah yang minimal itu akan mempermudah sebuah keluarga melakoni hidup yang sakinah.

Menjadi wanita dewasa yang menikah dan berkeluarga, saya masih ingat gagasan tentang keluarga berencana itu. Saya hanya punya satu adik lelaki. Ini artinya kami sekeluarga sudah memenuhi kaidah keluarga berencana. Sayangnya 'keluarga berencana' akan berjalan jika memang sesuai rencana Tuhan. Dan tidak ada orang yang tahu rencana Tuhan. Ketika saya berusia sekitar sepuluh tahun, ayah dan ibu berpisah. Sehingga keluarga berencana menjadi keluarga berantakan. Ayah menikah lagi dan kini bahkan telah memiliki cucu dari keluarga barunya.

Beberapa waktu lalu ibu sakit kemudian wafat. Karena sesuatu hal, saya dan adik lalu terlibat perselisihan yang kurang menyenangkan. Terjadi perbedaan pola pikir dan gagasan. Karena keluarga yang 'gagal berencana' itu lalu menghasilkan anak-anak broken home seperti saya dan adik. Masing-masing dari kami melewati masa remaja dengan pematangan pola pikir yang tidak sama. Justru bertentangan. Tidak ada lagi gagasan yang sepaham. Gagasan keluarga berencana memang baik. Perlu diingat manusia berencana dan Tuhan menentukan. Saya tidak nyaman dan ketakutan dengan masa lalu serta sesuatu yang disebut 'keluarga berencana.' Bagi saya itu tidak pernah ada. Dua anak mungkin cukup dan tepat bagi mereka yang berhasil 'lolos dari lubang jarum' dan memiliki keluarga utuh serta bahagia. Bagi saya, keluarga adalah trauma.

Maka akhirnya saya memutuskan untuk hanya memiliki satu anak saja. Gagasan satu anak, dianggap aneh dan menyalahi pakem di tanah air. Tapi saya ketakutan dengan masa kanak-kanak dan remaja. Sepertinya ada kekosongan yang besar, yang tidak saya ingat. Entah bagaimana saya bisa melewatinya? Gagasan satu anak bagi saya menjadi jawaban atas perasaan trauma itu. Dan dengan berlalunya waktu, semakin enggan saya untuk memiliki anak lagi. Keluarga yang berjumlah tiga orang, relatif lebih mudah untuk saling mengawasi dan menjaga. Jika salah satu orang-tua kelelahan, yang lain dapat menggantikan posisinya untuk mengurus anak. Sementara sang anak memperoleh fokus perhatian dari orang-tua sebesar 100% dan terus-menerus. Tidak ada anak lain yang memecah-belah fokus membesarkan anak.

Jaman sekarang berbeda dengan jaman dahulu. Masa itu jasa pembantu rumah tangga sangatlah besar. Banyak pasutri yang memiliki pembantu rumah tangga penuh welas asih, santun dan membantu pengasuhan anak. Jaman sekarang pembantu rumah tangga disebut sebagai asisten rumah tangga. Kemudian orang yang bekerja sebagai asisten rumah tangga tidak semuanya dapat mempertanggung-jawabkan hasil pekerjaannya. Apalagi jika disertai dengan permintaan agar membantu mengasuh anak. Belum lagi kemajuan teknologi yang tak dapat dibendung. Arus informasi yang masuk kepada anak - anak lebih cepat melampaui jamannya. Tugas orang tua adalah membuat bendungan perilaku dan keimanan agar sang anak bisa memfilter hal baik dari yang buruk. Buat saya sejauh ini 'keluarga berencana' adalah satu anak cukup. Jrengg!

Baik saya maupun suami, masing-masing juga memiliki sisa waktu untuk menekuni hobby. Atau mengerjakan hal-hal yang disukai. Karena dalam jangka waktu dua belas tahun saja membesarkan seorang anak, boleh di kata telah terbentuk seorang 'manusia kecil'. Dan tugas orang-tua relatif mulai lebih fleksible. Kami kini terus berfokus pada memoles pribadi dan sikapnya. Kekhawatiran memelihara bayi dan kanak-kanak yang rentan sakit serta celaka berangsur menurun. Karena sang anak sudah mulai dewasa. Ini adalah pola pikir pribadi keluarga kami. Namun saya perhatikan beberapa kawan lain juga mengadaptasi hal yang sama. Hanya memiliki satu anak saja. Alasannya ingin pensiun dini dan tidak mati-matian bekerja sampai tua menghabiskan waktu hanya untuk mengurus dari satu anak ke anak yang lain. Apakah ini baik? Saya tidak tahu. Tetapi ini perihal yang dibisikkan oleh nalar. Nalar seorang anak yang pernah broken home (and survive!).

Hidup ke depannya makin sulit, bukannya makin mudah. Biaya-biaya meningkat. Sejauh ini negara tidak menjamin rakyatnya, justru terus mengebiri. Banyak orang kemudian menghalalkan berbagai cara demi menghidupi keluarga. Yang lainnya berjuang mati-matian dan terjepit keadaan. Dalam himpitan nasib ini, saya coba mencari celah untuk sedikit menghirup udara segar. Melepaskan diri dari sesak nafas. Seperti ketika mencuci piring kemarin. Sebuah kesyukuran muncul. Untung keluarga kami hanya tiga orang, sehingga semua dapat dilakukan secara mandiri. Bergantian antara ayah, ibu dan anak. Cucian pakaian, piring dan jatah makanan juga tercukupkan sejauh ini. Manusia kecil itu kini bahkan telah mulai memiliki kehidupannya sendiri, pergi berkemah dengan kawan-kawannya. Memberi jeda pada saya dan suami untuk pergi ke kedai kopi berdua, menikmati waktu yang tersisa di perjalanan kehidupan. Terima kasih kepada Tuhan!

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.