Tuesday, July 8, 2014

Pemimpin Yang Amanah

Beberapa kali saya menuliskan sesuatu di halaman blog ini. Bolak - balik hingga tiga kali saya batal menuliskannya. Delete! Kenapa? Saya menafikan suara hati. Karena menulis tanpa gaung nurani akan terasa hambar. Itu bagi saya. Entah bagi penulis lainnya. Saya memiliki suatu hal yang ada di kepala dan ingin saya kemukakan. Hanya saja lagi-lagi saya menafikan suara hati. Kok ngomongin politik melulu? Mendadak gemar politik gitu? Saya berusaha melawan kehendak hati yang ingin menuliskan tentang sosok Joko Widodo. Saya pikir, saya sudah terlalu banyak memberikan porsi penulisan tentang copras-capres. Buat saya ini keluar dari zona nyaman, karena biasanya yang saya tuliskan hanya hal-hal sederhana.

Menulis politik atau perpolitikan bukan dunia saya. Dibayar berapapun, saya mungkin pikir-pikir karena jika tak ada ide atau tak sepakat saya hanya akan menulis dengan gaya tong kosong nyaring bunyinya. Sosok Joko Widodo itu jika saya jumpai di tahun 80-an semasa saya bersekolah, seandainya ia pun sudah menjadi capres kala itu, mungkin saya juga takkan perduli. Pertama, saya masih kanak-kanak dan remaja, apa sih yang saya tahu? Kedua, memangnya ada calon presiden lain kala itu? Ups! Seingat saya tidak ada. Dengan segala hormat tentu ada sisi 'kebapakan' Presiden Soeharto yang saya sukai. Saya lahir dan besar di era Soeharto. Jadi pandangan saya muda dan naif tentang pucuk pimpinan negeri, saya tidak punya gagasan. Harus seperti apa orangnya? Yang saya tahu hanyalah 'the smiling general' alias Pak Harto. Jujur karena saya juga tidak memiliki ayah ketika kecil, figur Pak Harto menjadi figur kebapakan yang saya sukai. 

Bumi berputar, saya bukan lagi remaja apalagi kanak-kanak. Sebagian kotak pandora terbuka. Saya kini tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kecewa tentu saja, sosok kebapakan yang saya idolakan ternyata jadi cerita kelabu matinya demokrasi. Sering bertanya dalam hati? Bagaimana mungkin sosok yang begitu murah senyum menyembunyikan berbagai cerita? Saya harus belajar lagi terus-menerus tentang orang-orang yang mampu mengatur sosok dan penampilannya hingga mencitrakan sesuatu. Itulah yang disebut pencitraan. Maka ketika era Soeharto goncang, saya lagi-lagi masih tak punya nalar. Segenting itukah keadaan tampuk kepemimpinan sehingga digoyang bubar dan digantikan oleh beberapa pemimpin berikutnya yang juga terus-menerus digoyang? Yang saya lihat, keadaan tidak membaik juga. Sehingga muncul jargon, 'Piye kabare, iseh enak jamanku tho?' The smiling general menyapa kami semua melalui stiker bergambar wajahnya. Kadang saya memandang wajah itu dan menghela nafas,...

Proses perjalanan bangsa yang besar ternyata memang tak dapat terjadi begitu saja. Dengan satu jentikan jari lalu semua beres. Dengan satu reformasi lalu semua beres. Dengan pergantian pimpinan lalu semua beres. Ini tidak! Semua terjadi berlarut-larut. Lepas dari era orde baru, reformasi mengantar rakyat Indonesia melalui jalan bagaikan jalan raya Pantura yang bolong berlubang, macet, terguncang-guncang dalam perjalanan dan sebagainya. Lama nian, kami melalui jalan yang demikian berliku. Banyak sosok yang muncul dan digadang-gadangkan sebagai pimpinan. Namun pada masa-masa awal reformasi, rakyat keburu tak sabar. Presiden bergantian dalam masa-masa tampuk pemerintahan yang serba singkat dan tersendat. Sampai akhirnya tiba era Pak SBY yang diyakini mampu membawa perubahan baik. Sepuluh tahun rakyat Indonesia dipimpin olehnya. Dan kini tibalah saatnya kami memilih pemimpin baru.

Saya tak dapat berkomentar terbuka mengenai hasil pembangunan yang dilakukan oleh Pak SBY. Rakyat dapat menilainya sendiri. Saya memandang Bung Karno, Pak Soeharto, BJ Habibie, Gusdur, Ibu Megawati dan Pak SBY, yang sempat memegang tampuk pimpinan negeri adalah Bapak/Ibu bangsa. Tidak boleh kita mencaci saja, tentu ada nilai positif yang telah mereka perbuat bagi negeri ini. Orang-orang lebih mudah melihat coreng arang di wajah, ketimbang senyum tulus yang pernah muncul dari wajah itu sendiri. Ada jatah takdir mengapa mereka yang 'mampir' satu-persatu jadi pimpinan negeri ini. Kiprah sejarah bukanlah manusia yang mampu mengatur alur ceritanya, namun Tuhan sendiri yang membuat sketsa. Wahai bangsa engkau akan mengalami perjalanan panjang dan untuk tinggal landas. Banyak persiapan yang harus kaulakukan. Bersabarlah, mungkin seperti itu bisikan Sang Maha Mengetahui. Tetapi kami terlalu sibuk bertikai dan menyalahkan satu dengan yang lainnya. Kami semua terseok-seok.

Di usia yang tidak lagi remaja, kanak-kanak atau muda belia; saya mulai mengerti arti sebuah perjalanan di kehidupan. Maka saya mengerti kemarahan-kemarahan yang ditujukan kepada pemimpin suatu bangsa. Pemimpin yang dianggap lalai dan tidak mengemban amanahnya. Hanya memikirkan diri sendiri saja. Sungguh-sungguh menjadi pencitraan yang melelahkan bagi rakyat. Karena yang dicintai hanyalah diri sendiri dan kerabat atau kawan - kawannya saja. Padahal pemimpin negara itu amanah mulia yang tidak main-main dalam melaksanakan tugas kepemimpinan. Pada hakekatnya dua ratus juta lebih nyawa tergantung pada kemahiran seseorang untuk memimpin mereka. Dan ini bentuknya seperti piramida yang saling mendukung membentuk kekuatan dari bawah ke atas. Rakyat dalam aneka profesi, perkumpulan atau organisasi, perusahaan atau korporasi, wilayah dan letak geografis, lalu kantor-kantor pusat dan pejabat-pejabat tertinggi. Hingga akhirnya seorang pemimpin negara duduk di ujung piramida dan mengatur instruksi semua susunan puzzle balok-balok yang ada dibawahnya agar pas dan kokoh. Seperti itu seharusnya!

Kini, separuh dari perjalanan usia, saya anggap melenceng jauh dari harapan saya sebagai rakyat Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia. Kecewa tentu saja, karena negara tidak mengayomi hingga ke segala penjuru negeri, pada akar rumput. Sebutan akar rumput hanya muncul manakala dibutuhkan suaranya. Kecewa karena kepentingan saya sebagai rakyat jelata diabaikan dan tak tersentuh keadilan. Seolah segala lapis permasalahan yang ada diatas permasalahan saya, pasti lebih penting. Dan saya tidak sendiri, ada buruh, petani, nelayan, karyawan kecil, guru, tukang beca, tukang bangunan dan sebagainya. Lapisan - lapisan terbawah dan urat yang paling sensitif dari suatu negara selama puluhan tahun tak tersentuh keadilan. Akar rumput nyaris meranggas. Kini saya mengerti mengapa orang tak boleh terpesona pada senyum dan sekedar janji. Karena itu sekarang saya akan memilih pemimpin, yang saya anggap bukan pengobral senyum dan sembarang janji. Tuhan, tunjukkanlah jika memang Jokowi-Jeka orangnya! Selamat menyoblos,...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.