Wednesday, February 27, 2013

Capek Hati

Capek itu rupanya ada dua loh! Ada yang namanya capek tenaga dan ada yang namanya capek hati. Kalau capek tenaga, gampang saja. Obatnya langsung makan kenyang dan tidur pulas. Nah,..kalau capek hati obatnya gimana tuh? Apakah makan orang? he-he-he...

Kalau bicara capek hati kayaknya ngga bakal ada abis-abisnya. Yang menantu capek hati sama mertua. Yang ipar capek hati dengan kakak suami. Yang guru capek hati ngurusin murid. Yang karyawan capek hati ngurusin boss. Yah, kayaknya bisa seribu satu kisah yang muncul jika kita bahas mengenai capek hati.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengikuti semacam acara pondok permenungan. Jadi mondok selama beberapa hari di pegunungan dan terus-menerus mengikuti acara keagamaan secara kontinyu, berturutan dari jam 6 pagi hingga malam dengan selang istirahat siang selama 1,5 jam. Kegiatan ini saya ikuti FULL selama 3 hari tanpa jeda. Hore,.. Ternyata saya bisa!

Saya bukan jenis orang yang terlalu religius dan honestly tidak terlalu suka menggembar-gemborkan sesuatu tentang agama. Jika kita merasa cukup religius, biarlah itu urusan kita dengan Tuhan. Biarlah DIA yang menilai dan bukannya SAYA yang yakin tentang diri saya sendiri. Pernah ada suatu kalimat indah yang mengatakan, 'Jika engkau berdakwah dengan teladan hidupmu, maka itu menjadi cukup dan tak perlu kau berdakwah dengan banyak kata-kata.'

Selama tiga hari itu, teman-teman yang menemani saya di padepokan merasa surprise betapa saya rajin dan selalu berupaya tepat waktu mengikuti semua kegiatan. Hal ini mencengangkan mengingat saya lebih mirip orang yang malas dan ogah-ogahan mengikuti ritual keagamaan. Entah mengapa di padepokan kemarin saya sangat bersemangat. Saya ingin tahu apa saja yang harus dilakukan. Dari doa pagi, ceramah pagi kemudian istirahat siang. Lalu sore hari ada acara kebaktian dan setelah makan malam ada lagi acara pemberkatan. Kemudian hari minggu ada acara penyembuhan.

Pendek kata semua saya ikuti karena saya ingin tahu. Selama ini saya mengaku menganut sebuah agama, tetapi lebih banyak saya ikut-ikutan dan tak merasa benar-benar baik dalam menjalankannya. Jadi kali ini saya sungguhan ingin tahu dan ingin lebih dekat denganNya. Apakah dalam rangka capek hati, saya mendekatiNya? Kasarnya mungkin boleh dibilang demikian. Namun di sisi lain saya makin sadar bahwa hidup ini benar-benar sehelai benang tipis yang dibentangkanNya. Setiap saat dapat terputus!

Hari pertama ketika saya datang, muncul pesan text dari sepupu saya yang menyatakan bahwa Oma saya wafat dalam usia 90 tahun. Dan pastinya seluruh keluarga besar akan berkumpul bersama dan melangsungkan upacara pemakaman. Anehnya saya tetap tenang dan mengikuti acara pondok permenungan hingga selesai, baru kemudian mengatur rencana pulang untuk pemakaman Oma. Saya berpikir bahwa kenangan tentang Oma semasa hidup lebih dari cukup bagi saya dan itulah yang terpenting. Setelah benang itu terputus yang ada hanya untaian masa lalu.

Ada lagi pengalaman aneh, bahwa penjaga canteen di pondok permenungan sangatlah judes dan tidak ramah terutama kepada saya. Hanya karena saya ingin membeli makanan (sejak pagi saya belum makan dan semalam hanya tidur beberapa jam - saya percaya kekuatan makanan akan menjadikan manusia bugar). Ia menolak mentah-mentah dan menyuruh saya segera masuk ke dalam ruang meeting karena ceramah sudah dimulai dan saya kok malah kepengen beli makanan! Bagi dia, saya adalah peserta yang nggak sopan!

Tapi saya cuek dan sabar saja diperlakukan demikian. Saya tidak akan lagi membiarkan orang memperlakukan dan mendekte saya sesuka mereka. Karena hati dan jiwa saya adalah milik saya, bukan milik orang lain. Jadi sejalan dengan masa puasa dan berpantang di agama saya, penjaga canteen itu barangkali melihat saya sebagai orang fasik yang tidak mengikuti hukum agama, tidak taat. Saya diam saja karena bagi saya, ketaatan bukan jaminan kesucian. Artinya dengan pamer bahwa kita paling taat dan paling mengikuti hukum agama, pastinya nilai/ ponten kita di mata Tuhan adalah diatas rata-rata. Benarkah? 


Bagi saya bersabar dan tak mengambil hati kala diketusin oleh penjaga canteen itu adalah ibadah saya. Bersabar dan menangis sendiri kala dimaki-maki clients di kantor adalah ibadah saya. Bersabar dan mengalah kala disikut strategi oleh rekan sekerja adalah ibadah saya. Pendeknya ingin berdakwah dengan perilaku dan bukannya sekedar kata-kata. Sayangnya saya tetap manusia, sekian masa berlalu pada akhirnya saya tak pernah mencapai taraf malaikat atau belum dapat menganggap diri saya malaikat. Saya mencapai ambang batas, merasakan capek hati, marah dan dendam.

Maka saya butuh waktu untuk berdiam di pondok permenungan, mendengar dengan sungguh-sungguh nasihat pemuka agama. Saya juga berlatih memaafkan walaupun sangat sulit. Memaafkan dan melupakan ternyata dua hal yang berbeda. Hanya saja saya mencoba jujur jika belum memaafkan, saya akan mengatakan bahwa saya belum bisa memaafkan. Banyak orang yang menyangkal, menganggap bahwa mereka sudah memaafkan padahal belum. Bahkan banyak orang yakin, tak pernah ada masalah bagi mereka. Karena saya tidak menyangkal dengan mudah saya menemukan akar permasalahan saya, kemudian saya terus dan terus belajar memaafkan.

Dibantu oleh doa dan waktu, perlahan saya mulai bisa memaafkan dan sekaligus melupakan. Satu hal yang ingin saya segarkan dan sehatkan kembali tentunya adalah hati saya. Saya yakin akan bisa melangkah maju jika semua kepenatan ini lenyap. Bagaimana seseorang dapat berlomba jika ia masih kelelahan? Dan bagaimana seseorang dapat menjadi pemenang jika ia tak pernah yakin dan diliputi oleh pikiran buruk? Tapi saya percaya semua latihan dan cobaan yang diberikan olehNya pasti memiliki maksud.

Pada kesempatan lain beberapa teman di pondok mengeluhkan hal-hal sederhana seperti kepala pusing, mengantuk dan orang tak sopan yang memotong antrean. Saya merasa bingung. Mengapa hal-hal tersebut menjadi keluhan? Lalu saya tersenyum sendiri, karena apa yang saya alami selama ini lebih dari sekedar kepala pusing atau orang yang memotong antrean. Jadi saya mengerti, bahwa DIA melatih saya untuk menjadi lebih dewasa sehingga nantinya menjadi lebih enteng/ mudah menghadapi hal-hal yang mungkin akan muncul di perjalanan hidup. Pondok permenungan adalah jawaban yang tepat bagi penyegaran hati dan jiwa. Amin!

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.