Thursday, March 5, 2015

Selamat Ulang Tahun Sahabat, Kakak..

Lupa, kapan tepatnya berjumpa dengan Sanie B. Kuncoro, sekitar akhir 2010. Yang saya ingat pasti adalah sering membaca karya-karyanya di majalah jadoel Anita Cemerlang. Lupa juga judul-judulnya di masa lalu saking banyaknya cerpen-cerpen masa itu yang dimuat di Anita Cemerlang. Saya rasa sebagian besar penulisnya kini telah menjadi 'penulis dewasa' -- karena pada masa itu mereka menulis kala remaja. Penulis-penulis ini antara lain adalah Kurnia Effendy, Tika Wisnu, Donatus A. Nugroho dan Sanie B. Kuncoro. Ketiga penulis yang pertama saya belum berkesempatan kenal dekat. Hanya sebatas tahu dan terhubung di sosial media (kecuali Donatus). Penulis yang terakhir, Sanie B. Kuncoro pertama ketemu di festival penulis di Bank Mandiri. Saya lupa judul festivalnya juga (ampun deh banyak bener lupanya!), tapi disitu saya berkenalan dengan Sanie dan sahabatnya Ida Ahdiah. Sampai sekarang saya masih menjadi 'adik' mereka di sosial media.

Penulis adalah dunia yang 'bukan ngartis' tapi 'asah otak' -- jadi kebanyakan penulis yang saya kenal down to earth, humble, sederhana, membumi. Apalah istilahnya. Sanie yang namanya cukup dikenal di dunia sastra dan penulisan pun demikian. Khususnya terkait dengan kiprahnya pada komunitas penulis SASTRA PAWON di SOLO yang biasa 'nongkrong' di balai Soedjatmoko -- Bentara Budaya Solo slash Gramedia Solo di jalan Slamet Riyadi. Sanie banyak aktif dalam kelompok ini dengan teman-temannya yang juga para pegiat sastra dan dunia penulisan. Pertama kenal dengan Sanie tentu saja saya terkagum-kagum karena karyanya juga kini banyak wara-wiri di majalah-majalah wanita yang dewasa. Antara lain Femina, PESONA dan majalah SEKAR (almarhum). Karya tulis Sanie juga banyak menghias koran-koran tanah air, yang pasti adalah koran Jawa Pos. Menulis bagi Sanie tidak lagi menggunakan 'loe-gue' atau 'kamu dan aku' -- tetapi 'engkau, dirimu, padanya' - dengan gaya penulisan sastra yang kian mengental. Saya sendiri gemar menulis tapi untuk 'masuk kesana' rasanya belum mampu. 

Sanie adalah orang yang ramah, sabar, penuh pengertian, bersikap dewasa dan selalu menolong. Banyak hal sedapat mungkin dilakukannya untuk menolong orang lain. Ketika pertama mengenal Sanie saya sudah mulai belajar menulis. Tetapi cerpen saya masih amburadul. Gitu deh, nggak nyambung antara isi dan judul. Nggak nyambung antara paragraf satu dan dua. Tanda baca yang super acak adul. Dan ketika akhirnya saya berhasil menulis sebuah cerpen. Vonis pembaca barangkali adalah demikian : ini ceritanya apa sih? Alias ancur total, hi-hi. Tapi setelah kenal Mbak Sanie, saya rajin 'merengek' bertanya bagaimana sih cara 'mengemudikan helikopter'? Maksud saya adalah cara mengendalikan diri untuk menulis? Itu benar-benar sulit. Pertama menulis, penulis juga barangkali akan bersikap seperti pelukis, semua cipratan cat ditumpahkan ke kanvas. Terlalu ramai, terlalu heboh sehingga pusing. Atau juga penuh ketakutan, sehingga yang dipakai hanya satu warna saja. Akibatnya tulisan itu garing, datar dan membosankan. Saya belum bisa menulis, blas! Tapi saya ngotot menulis tentang simbok-simbok di desa. Oleh Sanie, tulisan saya diperbaiki. Benar-benar diperbaiki dan diperhalus olehnya. Jadi ketika saya membuat seperangkat mebel meja dan kursi dengan potongan kayu yang sangat kasar, seperti tempat duduk manusia purba. Oleh Sanie diamplas dan diperhalus menjadi mulus dan cantik. Tulisan itu dimuat di majalah SEKAR. Itupun baru saya sadari setengah tahun kemudian ketika ada teman yang membaca majalah tantenya dan bertanya, "Itu tulisan karyamu ya?"-- Dan baru setengah tahun kemudian pula honornya saya tagih. 

Setelah pertama kali dibantu oleh Sanie. Saya tidak banyak merengek dan merong-rong dirinya lagi. Saya mulai 'menemukan' nafas saya sendiri sebagai penulis. Saya mulai mahir mengendalikan 'Helicopter'. Masuk ke dalam pesawat, mengenakan helm, microphone, menyalakan tombol-tombol, menyiapkan baling-baling dan siap melepas-landaskan helicopter seorang diri. Sejak hari itu saya menulis dimana-mana. Banyak dan sesuka hati. Media mana yang saya sukai ya saya coba-coba saja. Perjalanan panjang dan 'menggila' ini akhirnya mulai membuat pesawat saya berganti. Yang tadinya saya hanya minta belajar mengemudikan 'helicopter', saya mulai belajar mengemudikan pesawat komersial domestik. Yang tadinya saya hanya belajar menulis cerpen, saya mulai otak-atik dan bongkar pasang naskah lama saya. Dan lahirlah dalam sebentuk buku: --CROISSANT-- antologi kisah kehidupan. Mungkin tidak diungkapkan secara gamblang oleh Mbak Sanie. Tapi saya yakin dalam hati Mbak Sanie cukup bangga dengan pencapaian saya, yang naskah buku pertama mulai dilirik oleh ELEXMEDIA. 

Oya, saya bukanlah kacang yang lupa pada kulitnya. Bukan adik yang lupa pada kakaknya. Dan bukan pula penulis yang melupakan kebaikan sahabatnya. Bagi saya Sanie B. Kuncoro adalah orang yang penting dalam kehidupan menulis saya. Dan sekarang saya yang menjadi 'bandel' jika dinasihati oleh Mbak Sanie. Saya merasa makin 'mahir' dan jika diberitahu, "Win kamu harus memperbanyak baca karya sastra supaya tehnik menulis dan kemahiranmu meningkat." Saya lalu membantah cepat, "..Saya nggak mau nyastra Mbak, saya mau nulis yang gampang-gampang saja. Maunya naskah roman/ populer yang ringan dan yang lucu! Bandel ya? Saya pasti akan belajar terus kok Mbak. Tapi 'nyastra'nya entar aja ya. Saya belum mood - hi-hi-- ,... Anyway, Happy Birthday Mbak Sanie B. Kuncoro and ..thank you so much!




2 comments:

  1. Saya mengunjungi, ini dan setelahnya. Senang baca tulisan mbak Winda lagi,... salam hangat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. suksess buat di tempat baru nantinya ya... missing you already...

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.