Sunday, March 15, 2015

Siklus Padang Gurun Kehidupan

Hari Sabtu yang lalu saya mengikuti seminar tentang meditasi Katolik. Judulnya "Dari Padang Gurun menjadi Padang Mistik." Judul yang bagi saya agak sedikit aneh. Tetapi ketika mengikuti seminar yang dibawakan oleh Pastur dari Maumere tersebut, saya cukup tertarik dan saya pikir tidak ada yang aneh ternyata dengan istilah padang gurun kehidupan. Yup, hidup ini seringkali terasakan bagai melintasi padang gurun. Panas, terik, melelahkan, yang ada hanya pasir dan kesepian. Seperti itulah manusia ketika sedang tertimpa bencana atau permasalahan. Mungkin perceraian, ditinggal lari, ditinggal kabur, ditinggal mati. Ditipu dari puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah. Diporoti dari surat rumah hingga surat tanah. Aduh, kok seram sekali? Hidup ini terlalu banyak musibah yang menimpa kita semua. Melelahkan sekali?

Kita semua adalah peziarah dalam kehidupan ini. Tiba-tiba saya lalu mengerti panik, emosi, marah, murka, dendam dan sebagainya tidak mempercepat peziarahan kita. Justru memperlambatnya. Bagaimana tidak? Bukankah kita sedang melintasi padang gurun? Bukannya melangkah perlahan, mengenakan sorban, berhemat dengan sekendil air, kita justru hendak berlari lintang-pukang di tengah padang gurun. Yang ada tentu kelelahan dan energi yang terkuras habis. Sebagai peziarah kita dilarang menyerah kalah. Kita dilarang mematikan api pelita yang menyala di jiwa kita. Karena yang berhak mencabut nyawa para peziarah dunia hanyalah Tuhan. Jika dalam kelelahan mengarungi padang gurun kita lalu menyerah kalah dan berkeinginan untuk mati saja, lalu apa artinya Sang Pemberi Kehidupan bagi kita? Kita menghinaNya. Apa arti penciptaan kita? Sia-sia belaka, bahkan tanpa perlawanan.

Kapal lebih aman jika bersandar di dermaga,
Tetapi itu bukanlah tujuan dari sebuah kapal
(The Pilgrimage)
Hidup indeed adalah padang gurun. Keras, tandus dengan sejuta tantangan. Tetapi peziarah tidak boleh menyerah kalah. Harus terus melangkah melintasi gurun. Itu adalah tugas kita. Untuk menenangkan diri, para peziarah akan meneguk air setiap seribu langkah. Dan seperti itu pulalah kita perlu melakukan doa atau meditasi yang hening secara reguler. Sebagai sumber mata air di kehidupan kita. Bagaimana kita akan memecahkan masalah jika hati kita masih panas dan jiwa kelelahan? Bagaimana kita akan menemukan jalan jika langkah kita membabi buta dan sesukanya? Dalam konteks spiritualitas ada hal yang harus selalu diulang-ulang. Repetisi itu adalah doa-doa yang singkat berupa ucapan syukur, terima kasih atau kepercayaan pada Sang Pemelihara Kehidupan. Maka sangat disarankan agar seseorang melakukan meditasi setidaknya 10-20 menit sebanyak dua kali dalam sehari. Dengan kata-kata singkat seperti, "Terima Kasih Tuhan." atau "Aku Bersyukur PadaMu." Dalam Katolik diajarkan untuk mengucap "Maranatha" yang artinya 'Tuhan datanglah.'

Dalam psikologi atau motivasi secara keilmuan ini adalah konsep affirmasi, pengukuhan rasa percaya diri seperti berulang mengatakan "Saya-bisa Saya-bisa Saya-bisa Saya-bisa." Tetapi dalam konteks meditasi secara rohaniah menurut agama, maka Tuhan yang menjadi sumber kekuatan itu. Bukan diri manusia itu sendiri. Bedanya disitu. Padang gurun hanyalah cobaan agar manusia 'disekolahkan' jiwanya. Mereka yang mampu melampaui padang gurun dalam hidupnya akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, disebut kesadaran dan kedewasaan. Padang gurun mengajarkan manusia untuk bersabar, bergerak perlahan dan mengikut tuntunan, tetapi tidak menyerah. Ketika sebuah badai di padang gurun usai memberikan 'pelajaran' dalam kehidupan kita, tidak mustahil akan muncul badai permasalahan lain dalam padang gurun hidup kita. Tugas kita? Kembali melintasi dan mengatasi padang gurun tersebut? Keharusan! Karena kita adalah para peziarah kehidupan,...

2 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.