Sunday, July 17, 2016

Pemulasaran Jenazah: Menidurkan Yang Takkan Terbangun

Kemarin (17/07/2016) saya mengikuti workshop pemulasaran jenazah. Saya bingung kata 'pemulasaran' teh maksudnya apa? Ternyata semacam ritual untuk merapikan jenazah orang yang sudah meninggal, seperti memandikan dan merias. Mengikuti workshop ini dikarenakan ada keinginan untuk meliput dan menuliskan tentang 'pemulasaran'. Sebuah kata yang membuat saya penasaran dan kabarnya belum masuk KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pemulasaran adalah bidang yang tak terlalu diminati selain mungkin sebagai profesi bagi mereka yang bekerja di bisnis kematian. Seperti rumah duka, persiapan kuburan, peti, nisan dan sebagainya. Benar! Kematian pun dapat menjadi bisnis bagi mereka yang masih hidup. Tetapi kematian adalah 'titik' bagi si mati, yang telah tertidur abadi dan takkan pernah terbangun lagi. 

Merapikan jenazah tentu saja berbeda menurut agama dari si jenazah. Yang menarik workshop ini menceritakan bagaimana umat Katholik dan umat Islam ternyata kerap 'bekerja-sama' dalam pemulasaran. Beberapa warga Katholik pernah bertugas memandikan jenazah rekan, teman atau tetangga mereka yang Islam, dikarenakan tidak ada yang memandikannya. Kemudian pihak masjid datang untuk merapikan jenazah dalam kain kafan. Ya, berbeda. Kalau jenazah Kristen/Katholik didandani dan dirias sesuai dengan image mereka semasa hidup. Sedangkan jenazah mereka yang beragama Islam dibalut kain kafan putih. Saya juga baru menyadari. Bagi saya keduanya sama baiknya. Yang satu ditinggalkan dalam sebentuk kenangan. Yang lain ditinggalkan untuk segera kembali pada bumi. From ashes to ashes. Dari abu akan menjadi abu.

Kisah-kisah seputar memandikan dan merawat jenazah banyak yang berbau 'alam sana.' Beberapa jenazah meninggal dalam rasa duka dan kesedihan yang teramat dalam. Hal itu akan mempengaruhi rigor mortis atau kaku mayat. Jadi mayat-mayat yang meninggal dalam keadaan trauma/marah/sakit berkepanjangan/tidak terima/dendam dan sebagainya akan cepat kaku dan sulit dimandikan. Sebaliknya mereka yang meninggal 'dengan tenang' akan lebih lemas tubuhnya dan masih mudah untuk dimandikan serta dirapikan. Pembawa acara menyarankan agar memandikan jenazah dengan menggunakan gayung atau shower. Menggunakan selang air terasa sedikit menyedihkan karena jenazah manusia bukanlah jenazah hewan/ tanaman yang dapat disiram dengan selang begitu saja. Mungkin tubuh itu kini hanyalah seonggok daging mati tetapi sebelumnya ia adalah manusia yang pernah hidup, menangis dan tertawa.

Kematian adalah sesuatu yang diterima namun sekaligus ditolak oleh semua orang. Tidak ada yang ingin mati terlebih dahulu, tapi semua orang menyadari bahwa dirinya akan mati. Kisah-kisah seputar memandikan jenazah juga mengupas bagaimana tubuh-tubuh yang telah mati itu sebab-musababnya berbeda-beda. Ada yang sakit. Ada yang kecelakaan lalu-lintas. Ada yang meninggal karena usia tua. Ada yang karena stroke. Ada yang mengidap penyakit menular berbahaya. Mereka yang bertugas memandikan jenazah haruslah menggunakan APD (alat pelindung diri), berupa jaket plastik, masker, tutup kepala dan sarung tangan. Tubuh-tubuh yang telah mati itu dapat dibisikkan doa, meminta ijin untuk memandikan dan merapikannya. Memohon agar mereka ikhlas berangkat dan memaafkan orang-orang yang membuatnya menderita semasa hidup. Sungguh kisah yang berbau 'alam sana.'

Beberapa waktu ini, kita dikejutkan dengan berita tentang anak-anak muda yang bunuh diri. Sungguh sangat disayangkan. Tetapi setiap manusia memang memiliki kisahnya masing-masing. Untuk itulah mereka diberi hidup agar mampu menjadi cerita bagi yang lainnya. Menyedihkan pula bahwa menurut ajaran Katholik, mereka yang meninggal dengan bunuh diri tidak dapat didoakan, diselenggarakan dalam perayaan pelepasan kematian. Gereja Katholik menentang bunuh diri dan aborsi. Kehidupan ini adalah sebuah perayaan tak berkesudahan maka tidak seharusnya seseorang berniat membunuh diri. Hidup harus dijalani dengan sukacita sehingga tidak menjadi beban. Apalagi berbeban hingga kematian menjelang. Hingga saat matipun sulit untuk dimandikan! 

Saya? Saya tidak berminat dalam layanan kematian. Bukan karena egois. Bukan karena takut (mungkin ada sedikit takut, siapa sih yang tak takut memandikan mayat?). Saya merasa sulit mengucapkan selamat tinggal. Saya teringat terus kematian ibu saya dan terus-menerus bersedih serta menyesal karena merasa tidak cukup membahagiakan ibu. Jadi saya menjauhi kematian dan segala aspek yang bersangkutan dengannya. Bukan karena takut mati tetapi takut bahwa hidup yang saya jalani masih kurang baik di mata semua orang yang saya sayangi. Rasanya perayaan kehidupan ini begitu sejenak dan terlalu banyak orang yang menyia-nyiakannya dengan rasa tidak bahagia dan marah. I just can't to say goodbye,..

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.