Wednesday, August 3, 2016

Dua Pilar Yang Sehati dan Tak Sehati

Tadi saya menemani Mbak Annie melaksanakan layanan sosial. Sejak mengikuti workshop yang lalu Mbak Annie merasa terpanggil untuk melakukan layanan sosial khususnya terkait kematian. Barangkali saya egois. Barangkali saya trauma. Barangkali saya tak sanggup menerima kenyataan setelah hidup pasti mati. Barangkali saya takut mayat, dan sebagainya. Berulang-kali Mbak Annie membujuk agar saya ikut terlibat dalam layanan sosial kematian di gereja. Berulang-kali saya menolak. Hal-hal lain masih dapat saya lakukan tapi kematian selalu membuat saya sedih. Walaupun menolak terlibat langsung, saya tidak menolak untuk menemani Mbak Annie dalam melakukan pelayanannya. Menurut saya itu adalah hal yang sangat baik dan harus didukung. Dalam pelayanan ini saya adalah 'trainee' magang dan 'anak bawang.'

Sejak semalam kami mengunjungi sebuah keluarga yang baru saja kehilangan Mama/Oma tercinta. Oma ini meninggal dalam usia senja merah merona, 85 tahun. Akh,..diberi usia hingga 85 tahun, seandainya itu adalah anugrah bagi saya berarti saat ini hidup baru berjalan separuh. Alangkah bahagianya! He-he-he. Alangkah terkejutnya kami ketika tiba di lokasi persemayaman jenazah di rumah duka yang mewah, terasa sunyi senyap. Oma hanya punya satu anak, satu mantu dan satu cucu. Keluarga yang lain tidak ada, saudara-saudara kandungnya sudah meninggal dan menurut sang anak mereka berasal dari luar pulau sehingga tidak banyak yang berdatangan. Malam tadi kami berdoa dalam kelompok terdiri kurang lebih sepuluh orang saja. Dan sepuluh orang ini separuh diantaranya adalah orang asing bagi Oma, karena kami melakukan kunjungan layanan sosial kematian. Kami sama sekali tidak kenal dengan keluarga ini sebelumnya. Baru kali itu bertemu muka dan dalam suasana kedukaan pula. Sesungguhnya saya tipe orang yang agak canggung dengan orang asing yang baru pertama kali ketemu harus berakrab. Pula kesan saya tentang keluarga ini uncomfortable. Tidak nyaman. Bukannya tidak bersimpati, tapi saya merasakan 'hati yang dingin.'

Sang putri lalu membuka cerita. Hubungannya dengan sang suami yang pengusaha rupanya sedang di ujung tanduk. Lelaki itu sedang dirundung asmara dengan WIL yang tak lain adalah karyawati di tempat usahanya. Ia sering pulang ke rumah pada pukul 3 dini hari. Saya mengangkat alis, "What? cerita sinetron di kehidupankah ini?" Memang saya lihat hubungan pasutri ini buruk sekali. Mereka tidak saling bercakap-cakap. Saling mendiamkan. Acuh. Sementara anak mereka (cucu Oma satu-satunya) seolah terjepit ditengah-tengah batu granit kebekuan Mama dan Papanya. Upacara kematian Oma terasa sepi bukan saja karena sedikitnya pengunjung yang datang tetapi terlebih karena dinginnya hubungan sang anak dengan sang menantu. Pagi tadi dilaksanakan upacara kremasi jenazah dengan pengunjung yang lebih sedikit lagi. Hanya sekitar enam orang. Sang istri terlihat pening, nyaris pingsan dan uring-uringan namun tak sekalipun sang suami menyentuh atau menghibur istrinya. Bahkan sepertinya sama sekali tak saling mengucap sepatah kata. Lelaki yang katanya terlibat WIL itu malah asyik bermain dengan telepon genggamnya dan membuat foto-foto peti jenazah ibu mertuanya. Seolah sedang berwisata, tanpa ada ekspresi duka. Perempuan, bagaimana Anda memilih lelaki idaman Anda dulu? Dan lelaki, bagaimana Anda dapat bersikap seperti itu?

Sepulang dari upacara kematian sunyi Oma, kami pergi ke acara 7hari meninggalnya seorang lelaki muda. Anak dari sepasang pasutri paruh baya. Ketika saya dan Mbak Annie tiba di rumah yang bersangkutan, sang suami langsung menghampiri mobil kami. Memaksa kami untuk parkir di tempat yang teduh nyaman dan membayar sejumlah uang pada tukang ojeg yang mengantarkan kami ke lokasi rumah mereka. Lelaki yang adalah suami dari teman sekolah Mbak Annie ini terlihat sopan, sabar, mengayomi sang istri serta tamu-tamu yang berdatangan. Rumah sederhana mereka terletak di perumahan lawas yang agak jauh dari pusat kota. Tetapi lokasi tempat dan kesederhanaan mereka tidak mengurangi limpahan kehangatan yang dimiliki. Sepasang suami istri ini terlihat kompak bahkan dalam kedukaan. Sang istri tersenyum manis sekalipun matanya berkaca-kaca mengisahkan kematian anak sulung lelaki satu-satunya dalam keluarga. Meninggal karena demam berdarah akut. Almarhum meninggalkan tiga anak lelaki, yang bungsu bayi. Setelah kematian si sulung, pasutri ini kini hanya memiliki dua anak perempuan, para menantu dan tujuh cucu lelaki. Dengan mata berkaca-kaca sang ibu berkata, "Putra tunggalku telah pergi, namun Tuhan menitipkan tujuh putra baru dalam hidupku,.." Dalam kedukaan. Dalam usia separuh baya. Wanita ini masih terlihat manis, cantik dan bahagia dengan suami baik hati yang tak pernah pergi dari sisinya. Dalam untung dan malang. Perempuan bagaimana Anda memilih lelaki idaman Anda dulu? Dan lelaki, bagaimana Anda dapat bersikap seperti itu?

Sehari bertandang di dua rumah kedukaan, kami bertemu dua cermin cinta di kehidupan. Yang satu mulai retak-retak yang siap hancur berantakan. Yang lain tetap memantulkan keabadian. Lalu kematian. Apakah mati dalam sepi artinya ia kurang dicintai? Apalah mati dalam keramaian artinya ia sungguh dicintai? Salah siapa jika mati sendiri, pun yang melayat hanya segelintir? Lalu apakah lebih baik jika mati tetap sendiri, namun yang melayat datang berduyun-duyun lekat dengan ingatan hangat tentang si mati? Saya dan Mbak Annie menghela nafas. Hidup memang tidak mudah. Sekalipun kita masih hidup, kepergian yang mati dirasa menyakitkan bagi si hidup. Apalagi jika kehidupan itu masih berbeban dengan perkara-perkara tak terselesaikan. Seperti, ... mengapa cinta ada yang bertahan lama dan ada yang begitu saja terbuang? Kesalahan siapa? Harta ternyata tidak dipastikan membayar harga kebahagiaan. Dua pilar yang sehati tentu akan mengokohkan gapura. Sebaliknya dua pilar yang tak sehati selalu goyah dalam badai kehidupan. Perempuan berhati-hatilah memilih lelaki idaman Anda! Dan lelaki, bertindaklah sebagaimana Anda diciptakan,...sebagai lelaki.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.