Wednesday, August 24, 2016

Resensi Buku (3) Pulang *****

Lagi-lagi masalah 'takut sastra' menghantui saya. Berapa kali melihat buku "Pulang" milik Mbak Leila Chudori mejeng di toko buku namun takut untuk membacanya. Takut jika daya pikir yang cethek dan sifat pemalas saya akan menjadi ganjalan untuk mengunyah buku ini hingga tuntas. Tapi tahun ini setelah rasanya cukup 'kenyang' memamah-biak film dan drama Korea (hi-hi-hi,..untuk sementara aja, .. masih cinta drakor...), saya kembali beralih melahap buku. Dan "Pulang" adalah buku yang baru saja saya rampungkan hari ini. Kesan saya: langsung terhanyut pada masa lalu ketika 'the smiling general' berkuasa dan keheranan saya kenapa harus ada acara nobar (nonton bareng film G/30S PKI bagi seluruh siswa). Masih sangat jelas dalam ingatan saya, berduyun-duyun ke bioskop satu angkatan siswa SMP di sekolah saya pergi menonton film yang bikin ketakutan (karena sadis ada adegan wajah disilet). Kenapa bukan nobar film Arie Hanggara, misalnya? 

Buku ini menjawab pertanyaan kekanak-kanakan saya pada masa SMP itu. That's why! Kisah yang diangkat adalah kehidupan empat eksil (pelarian) politik yang tak dapat kembali ke tanah air ketika terjadi insiden G30 S PKI. Paspor Indonesia yang langsung dicabut bagi mereka-mereka yang dianggap tersangkut Partai Komunis saat itu. Saya berpikir, "Asyik dong malahan jadi warga Paris gitu lhoo...dan dapat istri bule cantik jelita!" Ini adalah kisah tokoh Dimas Suryo. Ternyata tidak demikian. Saya sadari bahwa beberapa teman yang tinggal 'disono' sebahagia apapun di negara lain selalu rindu 'Tempe dan Tahu.' Bagaimanapun juga akar pepohonan akan mengenali harum tanah yang pernah menumbuhkan dirinya. Seperti orang-orang Indonesia yang lama menetap di luar negeri, sesekali tetap ingin pulang kampung (betul tidak Elvira?). 

Empat lelaki bekas wartawan media pada tahun 1965 berkelana ke manca negara dalam penugasan kantor lalu dianggap tersangkut PKI. Keempatnya menyebut diri empat pilar tanah air : Dimas Suryo, Nugroho, Tjai dan Risjaf. Sementara satu orang sahabat mereka Hananto bahkan dihukum mati di tanah air karena tersangkut paham komunis itu. Cerita bagaikan serakan kembang yang terayun-ayun pada permukaan kolam, kadang saling bersinggungan kisah antara empat pilar dan Hananto. Pernikahan dan keturunan mereka yang dianggap harus "bersih diri" dan "bersih lingkungan" di Indonesia menjadi materi cerita kental. Tokoh utama sesungguhnya adalah Dimas Suryo, almarhum Hananto dan anak-anaknya. Termasuk juga anak dari Nugroho dan dua kemenakan Dimas di Jakarta. Bagaimana keluarga eks tapol dan eksil politik harus selalu 'merunduk' pada masa orde baru agar aman dari rajaman kebencian yang ditempelkan pada jidat tanpa alasan jelas.

Novel mbak Leila ini sesungguhnya sweet, romantis tak kalah manis dengan karya Cicelia Ahern dalam garapan kisah cintanya. Namun novel ini justru lebih berbobot daripada sekedar so sweet. Dengan latar kisah politik khususnya perihal PKI dan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Menurut saya ini adalah novel populer (karena tokohnya fiksi walau terinspirasi dari beberapa orang) dengan latar sejarah yang menarik dan riset mendalam. Disajikan ringan, tanpa membuat sakit kepala pembacanya dengan menyebutkan detail sejarah yang terlalu runtut atau diksi njlimet. Sama sekali tidak. Novel ini berkisah tentang orang-orang pada masa lalu yang bekerja di media, pindah ke luar negeri secara terpaksa dan membuka usaha rumah makan disana. Bagaimana mereka bertahan hidup di negeri orang, memendam rindu pada keluarga dan sia-sia mengharapkan keadilan yang muncul dari ketidakadilan. Tidak ada salah-benar dalam novel ini. Yang terpapar secara murni adalah kerinduan pada tanah air yang ditiupkan dari seberang laut, dari Paris Perancis. Menurut saya cara menulis ini sulit! Manis dan romantis bahkan ada unsur komedi/lelucon tetapi nafas sejarahnya sangat kuat, mendominasi. Pada ending ketika Dimas Suryo wafat, saya sempat ingin menangis. Huaaa,...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.