Sunday, July 17, 2016

Hari Pertama Sekolah Untuk Anak

Dulu ketika pertama kali memiliki bayi, saya bosan menunggu bayinya dewasa. Saya bertanya-tanya dalam hati, "Kapan bayi ini dewasa dan tidak merepotkan?" Melihat bayi yang begitu mungil, saya pikir akan memakan waktu yang sangaaaaat lama menunggunya dewasa. Saya teringat setiap hari memandangi bayi yang kerjanya hanya tidur tengkurap di box bayinya. Dengan wajah yang polos dan tidak mengenal dunia. Lalu tibalah hari pertama sekolah,.. tiga tahun kemudian. Play-group! Dengan hati-hati saya mengantarkan putri saya ke sekolah, melihat reaksinya. 

Di usianya yang tiga tahun, putri saya melangkah sendiri masuk ke sekolah dengan menggenggam tangan gurunya, Miss Lisa. Begitu melihat sekolah yang gedungnya dicat warna-warni dan berisikan aneka mainan jauh lebih banyak dari yang tersedia di rumah, putri saya langsung melupakan rumah dan orang-tuanya. Ia begitu larut pada dunia barunya. Seorang temannya yang lain menangis hingga dua jam dalam gendongan Miss Lisa, ia begitu takut ditinggalkan ibunya sendiri di sekolah. Reaksi anak-anak menentang dunia berbeda-beda. Barangkali genetis? Orang-tuanya juga bandel, sehingga anaknya bandel? Orang-tuanya melankolis sehingga anaknya mudah menangis? 

Hari ini putri saya akan memasuki hari pertama SMA. Tidak ada keistimewaan sesungguhnya selain ia menjadi lebih tua. Karena ia tidak berpindah sekolah. Ia terus bersekolah di sekolah kecil yang sama sejak TK hingga SMA. Sekolahnya adalah 'sekolah kuldesak' yang tersembunyi di sudut dunia. Sekolah ini sangat mungil karena semua jenjang pendidikan hanya memiliki satu kelas. Mengingatkan saya pada sekolah 'laskar pelangi'. However sekolah ini menyabet gelar nilai UN Bahasa Inggris tertinggi se-Banten pada UN 2016 dan merupakan SMP dengan perolehan nilai UN ranking 6 se-Tangsel dan ranking 14 se-Banten. Sekolah yang sangat sederhana namun nyaman, mirip ladang pembibitan. Karena lingkupnya kecil, saya banyak mengenal teman-teman sekolahnya dan orang-tua mereka. Daerah Tangsel diwarnai oleh banyak sekolah mewah dengan biaya-biaya besar, saya bersyukur masih ada sekolah semacam ini. Yang wujudnya seperti gudang/bedeng tapi melahirkan anak-anak dengan pikiran jernih, sehat dan bahagia. 

Ternyata waktu cepat sekali berlalu. Lima belas tahun sudah beranjak dari seoarang bayi yang dilahirkan. Sekarang putri saya hendak masuk SMA dengan segala gayanya yang acak adul (lupa menjahitkan baju seragam), ia berupaya pinjam seragam abang dari temannya yang baru lulus. Saya mulai 'malas' menjadi ibu di usia remajanya. Saya banyak menjadi 'teman' bagi putri saya. Dengan ukuran tinggi yang melebihi ibunya (raksasa), masihkah harus dilayani? Ketika kemarin ia saya tegur, "Sudah dua hari ini kasur tempat tidur kamu tidak Mami rapikan! Kamu sudah besar! Sepupu kamu sudah indekost sejak kelas 1 SMA dan hidup sendiri di kota lain! Kamu masih tinggal dengan Mami-Papi, setidaknya kasurmu beresinlah sendiri!" Saya berusaha galak dan mengajarkan disiplin. Jawabannya kalem, "Iya,.. saya lihat Mami tidak rapikan kasurku. Biarin aja! Nanti Mami sendiri yang gemes dan stress melihat kasurku berantakan,... Pasti akhirnya Mami akan bereskan juga!" Capeee dehh,.. segede-gedenya bayi, seorang anak tetaplah kesayangan orang-tuanya. He-he-he,...

2 comments:

  1. Kalo anaknya lima, jadi macam ibu kost ya? Hehehe...

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.