Monday, July 25, 2016

Melawan Kanker Dengan Tertawa Gembira

Sebenarnya saya benci bercerita tentang sakit, penyakit dan rumah sakit. Tapi tak dapat dipungkiri begitu banyak orang disekitar kita yang bertumbangan sakit. Healthy lifestyle adalah sesuatu yang 'mahal.'. "Iya, kami terburu-buru hendak pergi, jadi udah aja sarapan mie instant dulu,...!" Itulah life style sebagian besar dari kita termasuk saya. Mie instant itu enak, gurih, sedap. Masaknya juga kilat khusus langsung jadi. Saya pernah mendengar istilah "Tubuh harus kita muliakan." Ketika itu saya berpikir itu pasti untuk orang-orang yang narsis dan harus terlihat keren. Mereka yang punya waktu untuk nge-gym seminggu 5x. Makan nasi merah, biji jagung, buah mengkudu dan sebagainya. Ternyata maksudnya bukan itu. Tubuh harus dirawat dengan pola makan, gizi dan olah raga teratur. Karena tubuh adalah arca tempat persemayaman jiwa kita. Jika tubuh tak terawat tentu saja gawat! Jadi memelihara tubuh untuk kesehatan (boleh lah untuk narsis sedikit!) itu penting! 

Yang kedua, jika merasa merawat tubuh sudah maksimal. Rawatlah jiwa dengan maksimal juga. Maksudnya? Yah, buang semua hal yang tidak membahagiakan! Tubuh adalah kendaraan dan pikiran adalah kemudinya. Apakah kita akan pergi menembus badai dan terus berhujan-hujan disambar petir. Apakah kita akan melewati bukit-bukit hijau dengan semburat sinar mentari yang indah? Pilih! Jadi segala yang jutek, rumit, napsuin, nggamparin dan segala emosi jiwa sebaiknya hanya diarahkan kepada happiness. Caranya? Berpulang pada masing-masih pribadi, tergantung situasi dan kondisi. Tidak bisa dipukul rata. Terkadang seseorang tidak merasa bahwa ia memaksakan diri/memforsir segenap jiwa dan raganya untuk suatu ambisi/emosi atau untuk memecahkan masalah yang mungkin seharusnya tidak perlu membebani benak. Cancer adalah 'dementor' roh-roh jahat gentayangan yang siap menelan energi bahagia kita dan menggerogoti tubuh.

Jumat 22 July lalu mendapat kabar kalau Mbak, senior di kantor dulu yang masih saya kenang dengan baik mendadak masuk RSCM. Bergegas kami kesana, naik bis kemudian disambung taksi, dari Tangerang hingga Megaria. Sesampainya disana Mbak tidak bisa kami tengok karena telah dimasukkan ruang perawatan ICU. Diisolasi karena dipasang banyak perlengkapan pada tubuhnya, kesadarannya pun dihilangkan dengan obat bius. Tentu saja saya kecewa. Dalam hati saya ingin menyuapi dirinya, memaksanya makan sedikit. Ini bagaimana hendak makan? Semua fungsi organ tubuhnya dalam posisi 'hibernate'. Sekalipun saya memaksa tentu tidak diijinkan masuk. Jangankan saya, keluarganya pun tidak dapat melihat dari jarak dekat. Kami hanya memandang dari kaca deretan ranjang-ranjang pasien ICU. Sementara Mbak ranjangnya diletakkan di ujung terjauh. Sedih dan sedikit terpukul. Ada apa? Dulu Mbak begitu gembira dan bahagia. Barangkali kebahagiaan itu telah direnggut darinya sejak tidak aktif bekerja? Hingga dalam waktu singkat kondisinya menurun? Inilah kisah kanker tulang. 

Dalam keadaan 'galau' saya kemudian mengirim pesan pada teman lain yang merupakan 'komplotan persahabatan' dengan Mbak di masa lalu. Panjang lebar saya berceloteh tentang keadaan Mbak dan mohon agar dirinya turut memperhatikan serta mendoakan Mbak. Saya tahu teman saya ini adalah wanita yang kuat dan sangat kuat. Tidak sekalipun ia pernah menampakkan wajah duka atau menangis. Selalu tertawa-tawa ceria. Dibandingkan teman-teman lain, saya sangatlah cengeng. Menonton drama Korea yang sedih saja langsung menangis, sampai suami dan putri saya merasa sebal, hi3x. Menangis untuk acara drama?? mBlehhh! Teman saya si 'Ceria' ini menanggapi dengan rasa terkejut atas keadaan Mbak dan tak mampu berkata banyak. Namun sejurus kemudian ia berkata, "Win aku juga sedang berada di rumah sakit Fatmawati." Tentu saja saya bertanya apakah ia sakit dan ia menjawab, "Yang sakit adalah putri sulungku, Belia." Tentu saja saya lega mendengar yang sakit adalah putrinya. Bayangan saya anak-anak/remaja biasanya sakit Tipus atau Demam Berdarah dan cepat sekali recovery-nya. Saya masih akan asyik berceloteh tentang Mbak kalau saja tidak secara tiba-tiba palu godam dihantamkan pada saya, "Win, minta doa juga. Belia sakitnya lumayan parah,.. Leukemia!" Speechless saya tak mampu bereaksi. Inilah kisah kanker darah.

Pada hari Sabtu 23 July sore ada undangan doa syukur dirumah "Bapak." Bapak adalah tokoh yang saya kagumi, segani dan biasanya saya nurut kalau disuruh-suruh oleh Bapak. Beliau adalah atasan di organisasi gereja yang saya ikuti. Sudah sejak awal tahun Bapak terdeteksi kanker dan pengobatannya dilakukan dengan sangat rapi. Bertahap dari Jakarta, Singapore kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi hingga 7-8 x di Singapore. Sore itu (bagaikan film Sabtu Sore bersama Bapak), Bapak berkisah sambil berlinang. Menceritakan pengalamannya sejak terdeteksi, petscan, biopsi, operasi dan hingga kemo. Tentu saja bukan cerita yang menyenangkan. Tetapi ada kesaksian mengenai bagaimana ia begitu cepat sembuh. Pulih! Banyak kelompok-kelompok teman yang mendoakannya. Kondisi fisiknya luar biasa. Masih sehat, tubuh berisi, kulit terawat, rambut tidak rontok. Masih sama persis dengan penampilan fisiknya saat sebelum terdeteksi sakit! Yang saya tahu Bapak orangnya easy going. Jabatannya Direktur tetapi ia lebih berlaku sebagai 'pendamai' pada semua jurusan konflik baik di rumah, kantor maupun lingkungan sosial. Selalu tertawa. Bapak selalu tertawa sambil memberikan segala nasihat. Sesibuk itu Bapak bahkan selalu sempat mendengar dan menanggapi segala curcolan, omelan dan rengekan saya yang sangat tidak penting! Inilah kisah kanker paru-paru.

Dalam pengalamannya 'menyembuhkan diri' Bapak berkisah bahwa ada seorang perawat di Singapore yang berceloteh suatu hal yang mungkin terdengar tidak penting. Perawat itu berkata, "You know uncle? Ibu saya bekerja di Pusat Kanker Singapore. Tidak Bahagia! Buang rasa tidak bahagia! Hanya dengan itu maka seketika kanker akan pergi menjauh!" Intinya pikiran tidak bahagia, cemas, takut, was-was, benci dan sebagainya itulah asap dupa yang dibakar untuk memanggil dementor bernama kanker. Sejak kecil ibu sering mengeluhkan saya "Selalu berlaku kekanak-kanakan dan tidak pernah dewasa!..." Mungkin benar juga. Saya merasa dengan cangkang kulit berlaku kekanakan maka saya akan selalu gembira dan mempertahankan perasaan itu. Seperti anak-anak yang selalu ceria dan memandang hidup dengan optimisme tinggi. Sejak usia 10 tahun ayah saya tidak pernah pulang dan ibu selalu bekerja di toko. Hubungan dengan satu-satunya adik memburuk karena wataknya berubah, yang menurut saya adalah dampak broken home. Saya harus survive! Saya harus menjadi pemenang dalam pendakian tebing terjal kehidupan saya sendiri. Yang benar sajalah! Mana ada orang dewasa dimasa sekarang yang tidak diliputi permasalahan hidup? Pasti selalu ada. Jangan sampai kita kecolongan, lupa bergembira dan merayakan kehidupan dengan luapan bahagia. Maka resep untuk selalu gembira sejujurnya hanyalah satu: Ndableg, tebal muka! Sebodo deh, apapun yang terjadi be happy for who we are, what we have and what we got,.. 

4 comments:

  1. Pernah baca, saat perasaan kita gembira dan positif, hal tersebut berpengaruh pula terhadap respon sel-sel tubuh kita.. mungkin itu juga yang membuat bawah sadar kita merespon balik terhadap serangan kanker.

    Mungkin memang mesti sebisa mungkin kita selalu kembali mengingatkan diri sendiri untuk tetap menjaga kondisi perasaan dan kewarasan berpikir kita.. biar seimbang juga jadinya sama kondisi fisik.. as we know.. pikiran dan kondisi kesehatan itu berbanding lurus.. :)

    ReplyDelete
  2. Yes. Jadikan bahagia kebutuhan sehari-hari :)

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.