1995
Sri Surbekti heran dengan kawan sekelasnya, Wulandari. Belum genap berusia lima belas tahun tapi sudah asyik bergandengan tangan dengan kekasihnya, Nurcahyo.
"Kok tidak tahu malu ya?" Tanyanya bergosip pada kawannya, Surtini.
Keduanya mengamati Wulan dan Cahyo dari kejauhan yang asyik bercengkrama. Cubit-cubitan dan saling mengumbar senyum mesra satu sama lain. Mata mereka berkedip-kedip saling memandang, merindukan. Padahal berdiri berhadap-hadapan.
"Namanya juga lagi jatuh cinta, ya wajar! Dunia milik berdua, yang lain mengontrak saja,..." Sahut Surtini acuh.
Sementara Sri Surbekti masih saja terheran-heran. Baginya usia lima-belas tahun masih baru saja berangkat dewasa. Baru lepas dari bau susu ibunya. Dan sekarang salah satu temannya sudah asyik merajut cinta layaknya orang dewasa, lalu akan segera menikah? Usia berapa? Delapan belas? Kalau menunggu usia dua puluh lima tahun, apa sanggup menahan rasa? Gila aja, ...itu artinya sepuluh tahun dari sekarang.
"Biarin saja,... namanya juga hati bertaut." Surtini menimpali ketika dilihatnya Sri Surbekti masih melotot melihat gaya hot kedua temannya.
"Atau kamu yang cemburu dan iri hati?" Tanya Surtini lagi.
Tentu saja Sri Surbekti gengsi didakwa cemburu dan iri hati, "Maaf, Nurcahyo bukan tipeku! Pilihanku kalo nggak Toni tentu saja Roby."
Ganti Surtini yang tertawa mencemooh, "Sri,... kamu naksir Toni dan Roby? Punya cermin?"
Sri Surbekti buru-buru meletakkan telunjuk dibibir, "Shhhh...jangan keras-keras! Nanti kedengaran orang lain."
Sri Surbekti mendelik kesal pada Surtini yang dianggapnya terlalu banyak berkomentar. "Nggak usah sok alim. Selama kita belum punya cowok, sah saja naksir cowok yang ganteng dan populer seperti Toni dan Roby. Naksir kan bebas! Hak tiap orang. Jangan munafik, aku sering melihatmu diam-diam memandang Roby,.."
Surtini memeletkan lidahnya. Bersilat kata dengan Sri Surbekti memang melelahkan. Omongannya selalu benar dan alasannya juga tepat. "Tapi kan pasti kamu rasa kepengen juga, punya pacar setia seperti Wulan? Kemana-mana berdua dengan Cahyo. Persis kayak Rembulan dan cahayanya."
Sri Surbekti memasang senyum meledek, "Maksudmu seperti kereta dengan kudanya? Dimplak-dimpluk kemana-mana berdua? Nggak. Terima kasih! Aku lebih suka sendiri bagaikan wonder woman. Daripada kemana-mana berduaan dan terjebak dalam cerita yang salah. Seharusnya aku bisa berfokus pada pencapaianku, daripada memikirkan kereta gandeng. Masa depan kita masih panjang!"
"Iya, tapi kalau namanya cinta sudah menyergap. Kamu lihat sendirikan?..."
Sekali lagi keduanya memandang Wulandari dan Nurcahyo yang kini asyik saling menyuapkan makanan ke mulut masing-masing. Entah apa yang dijejalkan itu.
"Hiyy...Brrrrh..." Sri Surbekti mendadak bergidik geli sementara Surtini tertawa kecil.
2015
"Sri, ..kamu diundang juga ke acara pelantikan ini?" Wulandari menyapa terkejut, didapatinya Sri Surbekti ada diantara banyak orang yang tak dikenalinya.
"Eh, Wulan! Lama sekali kita tidak berjumpa! Sekitar dua puluh tahun ya?" Sri Surbekti tak kalah terkejut ketika dilihatnya Wulan bekas teman SMP nya juga hadir di acara pelantikan Bupati Klaten.
"Benar. Kurang lebih dua puluh tahun." Sahut Wulan tersenyum mengenang tahun-tahun yang berlalu sangat cepat, bagaikan minggu-minggu saja layaknya.
"Wuah, ... anakmu dan Cahyo sudah berapa?" Tanya Sri dengan nada ingin tahu.
Wulandari sejenak tersentak ketika pertanyaan yang tak diduganya itu muncul, "Eh, anakku ada dua. Ehm,...tapi bapaknya bukan Nurchayo."
"Loh?...." Sri Surbekti mendadak terbengong.
Seingatnya gaya pacaran Wulandari dan Nurcahyo ketika itu begitu lekat dan kuat, bagai iklan lem anti copot. Seolah janur kuning pasti akan dilengkungkan untuk menaungi keduanya. Dulu dunia milik mereka berdua, yang lain mengontrak saja.
"Aku menikah duluan dan punya dua anak. Cahyo menikah beberapa tahun setelahku dan punya tiga anak."
"Owh,... jadi kalian putus?" Tanya Sri Surbekti dengan perlahan.
"Tentu saja putus!" Sahut Wulan sedikit ketus, "Kejadian itu tahun kuda! Dan sekarang tahun berapa?"
Sri terdiam dan sadar kelancangannya seperti biasa membuahkan hasil ketersinggungan salah satu temannya. "Lalu bagaimana kabar Cahyo?" Tanyanya mencoba menetralisir suasana namun lidahnya mengkhianati. Dengan lagi-lagi mengajukan pertanyaan yang salah.
Wulan hanya mengangkat bahu, "Mana aku tahu? Sudah lama sekali kami tak saling kontak sejak putus."
Sri jadi bingung tak tahu harus bicara apa dengan Wulan. Rupanya temannya itu juga tak enak hati karena pertemuan yang baru terjadi setelah sekian lama harus diisi dengan ketegangan. Wulan lalu mencoba melempar tanya, "Bagaimana kamu bisa datang ke acara ini?"
"Oh anakku satu sekolah dengan anaknya Surtini. Maka boleh dikata aku sering berjumpa dengannya di ajang pertemuan orang tua murid," Ujar Sri. "Pelantikan dirinya menjadi bupati Klaten ini sudah lama diidamkan oleh Surtini. Sesuai dengan cita-citanya sejak remaja dulu, menjadi abdi masyarakat."
"Memang sejak dulu Surtini selalu teguh mengejar cita-citanya," Wulan terdiam setelah berkomentar pendek. Lalu untuk mengisi waktu diajukannya sebuah pertanyaan lagi, "Kamu kenal dengan suaminya Surtini, Sri?"
"Suami Surtini? Tentu saja! Dia juga tokoh masyarakat disini, pernah menjadi anggota DPR. Kabarnya sedang mencalonkan diri menjadi ketua partai politik. Namanya Partono SH. Lucu bukan? Surtini SE, menikah dengan Partono SH. Setidaknya mereka benar-benar sejodoh seperti Romi dan Yuli." Setelah menjelaskan panjang lebar, Sri Surbekti lalu tertawa sendiri. Merasa geli dengan leluconnya.
Untuk makin mengakrabkan diri dengan bekas teman lamanya di sekolah itu, Sri Surbekti lalu melempar tanya yang sama, "Kamu sendiri kok bisa datang ke acara ini Wulan? Ketemu dengan Surtini dimana?"
Wulan tersenyum hambar, "Aku ketemu Wulan di Bandara. Sudah lama sekali kami juga tak berjumpa. Tentu saja kaget dan saling berpelukan dengan gembira. Bersyukur karena hari ini kita masih dipertemukan."
"Wuah,.. kamu baru pulang jalan-jalan dari mana Wulan? Asyik sekali kalian bisa berjumpa tak disengaja di Bandara!"
"Aku baru pulang dari Malaysia, Sri. Sudah beberapa tahun aku bekerja disana sebagai TKW. Karena aku ini seorang janda dan harus menghidupi kedua anakku."
Kali ini Sri Surbekti benar-benar mati kutu. Ia tak tahu harus berkomentar bagaimana. Ia teringat ketika dirinya dan Surtini mencela-cela Wulan yang pacaran diusia belia. Padahal mungkin hanya saat itulah saat-saat bahagianya. Saat ia menjadi Rembulan yang bercahaya,...
Tanpa Wulan tahu, nanti ia akan mendiskusikannya lagi dengan Surtini SE. Membicarakan bagaimana takdir terkadang kejam terhadap manusia.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.