Friday, June 5, 2015

It's not you, it's me

Sudah lama Damar tidak bicara lagi kepadanya. Sudah lama mereka tidak bertukar kabar. Mungkin sudah setahun sejak terakhir mereka bercengkrama. 

Hubungannya dengan Damar memang aneh. Orang lain akan menganggapnya tak lazim. Tapi ia sering berpikir bahwa dirinya istimewa maka dari itu ia memang tidak menyukai kelaziman. Ia suka yang berbeda, unik dan kalau memungkinkan yang luar biasa. Maka ia menganggap pertemanannya dengan Damar adalah sesuatu yang tidak akan dimiliki dan dimengerti oleh orang lain. Baguslah! Ceritanya bersama Damar adalah miliknya dan milik Damar. 

Dulu mereka teman sekolah, pernah dekat. Dan memang pernah ada rasa dalam dirinya pada Damar. Tetapi kekuatan takdir menahan hubungan mereka hanya sebatas saling bertukar pandang dan tersenyum malu dari balik pintu kelas. 

Satu kali Damar mengiriminya sepucuk kertas bertuliskan kata 'Hello'. Ia merasa gemetar. Hanya karena sepotong kata. Dulu segala sesuatu menjadi aib yang memalukan jika perilaku tak terjaga. 

Jaman sekarang semua diumbar saja. Anak SMP juga sudah tahu seks itu apa dan bagaimana mempermainkannya. Tetapi ia tidak mau berpikiran tentang dulu dan sekarang, tokh tak ada gunanya. Karena hari ini adalah sekarang dan dulu sudah jadi kenangan.

Tiga puluh tahun kemudian ia dan Damar menjadi sahabat. Hubungan mereka simple sekaligus tak wajar tapi ia tidak memperdulikannya. Baginya sepanjang ia berjalan dalam koridor kebenaran tidak ada yang boleh mempertanyakan kedekatannya dengan Damar. Tidak juga suami tercintanya. 

Damar adalah masa lalu yang pernah dicintainya. Dan masa lalu itu bagaimanapun juga takkan kembali padanya atau pada Damar. Ketika teman-temannya berkata CLBK, ia berkomentar pendek 'Tolol sekali.' Lalu tersenyum geli seolah kisah itu adalah bagian dari seri komedi The Three Stooges. 

Baginya dan Damar ada persahabatan yang takkan dimengerti oleh orang lain. Ada cinta yang tak selalu dimanifestasikan dengan menghabiskan waktu bersama, saling bertatap mata atau menggenggam jemari sahaja. Bagaimanapun juga tiga puluh tahun sudah berlalu.

"Jika tak ada gugatan balik. Dalam tiga minggu ini aku akan menjadi duda tua." Demikian Damar menyapanya di suatu kesempatan dengan kata-kata bak petir menyambar di siang bolong.

"Maksud kamu?" Ia merasa sangat terkejut dan mendadak khawatir. 

"Kami akan bercerai."

Reaksi pertamanya, "Kamu sudah gila? Pernikahanmu sudah lebih dari sepuluh tahun usianya."

Damar diam.

"Bagaimana dengan anak-anak?"

"Mereka semua akan ikut ibunya."

Dia ikut-ikutan terdiam tak tahu harus bereaksi bagaimana. 

Ada beberapa kali ia sangat membenci suaminya sendiri dan ingin menghantam kepalanya dengan palu godam. Tapi entah mengapa Tuhan selalu menyelamatkannya. Atau menyelamatkan suaminya? Entahlah. Yang pasti kata cerai tidak menjadi sesuatu yang berakhir pada ketukan palu di pengadilan bagi dirinya.

Sebanyak ia seringkali merasa benci pada suaminya, sebanyak itu pula ia membenci perceraian. Ayahnya kabur puluhan tahun silam. Dan ketika ditemukannya kembali puluhan tahun berikutnya, ayahnya sudah menjadi ayah dari anak-anak lain dan menjadi lelaki yang baginya tidak berguna sama sekali.


Apa sebenarnya tujuan penciptaan dirimu ke dunia Papa? Pernah ia bertanya sendiri dalam hatinya. Menjadi orang tololkah? Tapi sebaliknya, sebagai sebuah realita ia mencoba bermuka datar pada ayahnya, "Semua baik-baik saja Papa. Aku dan Mama baik-baik saja." 

Padahal tidak ada yang baik-baik saja bagi orang yang tidak pernah melihat ayahnya selama tiga puluh tahun. Tentu saja sangat tidak baik dan bizarre! Aneh! Ia tak mau Damar seperti itu. Menjadi lelaki yang tak berguna seperti ayahnya. 

Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya lagi, "Aku tidak bermaksud ikut campur, tetapi apa yang sebenarnya terjadi?"

"Dia memiliki lelaki lain dalam hidupnya," Damar menjawab dengan suara menyalahkan yang penuh kebencian. Lalu ditambahkannya, "Sudah lama mereka menjalin hubungan."

Ia diam lagi. 

Lalu apa arti hubungannya dengan Damar? Bukankah mereka juga menjalin hubungan? Tapi ia malas bertanya, ia tahu para lelaki besar sekali egonya. Kalau mereka yang mendua jadi hal biasa. Kalau perempuannya yang mendua itu akan jadi malapetaka. Ia tak mau turun dalam perdebatan panjang seperti itu. Konyol. I'm not stupid. Bisiknya dalam hati.

Akhirnya ia hanya berkata, "Kamu punya lima anak. Kamu akan menyakiti hati mereka semua." 

Ia tahu kata-kata itu juga takkan mempan karena lelaki seperti Damar akan berjanji. Aku tetap akan jadi ayah yang baik. Aku tetap akan meluangkan banyak waktu untuk mereka. Padahal tidak akan bisa seperti itu, tidak mungkin. Waktunya akan sangat terbatas. Sudah pasti pula Damar akan menemukan perempuan baru dalam hidupnya. Lelaki takkan berhenti tanpa terhadang impotensi dan ia tahu benar masalah itu. 

Damar masih tak merespon perkataannya tentang anak-anak. Akhirnya ia mencoba menakut-nakuti sahabat yang pernah menjadi cinta pertamanya itu. 

"Dengar, kamu benar. Kamu akan menjadi duda tua,..."

"Jika kamu menikah lagi, lalu punya anak-anak lagi, kamu harus starting all over from the beginning."

"Kamu akan punya bayi lagi dan mengulang lagi masa-masa yang seharusnya sudah khatam kamu lewati. Tidakkah kamu akan merasa lelah?"

"Pikirkan lagi. Perceraian bukan jawaban dari semua persoalan. Lebur egomu!"

Damar menggeram marah, "Kamu pikirkan saja! Bertahun-tahun ini aku hidup dalam dendam dan amarah yang luar biasa kepada istriku."

"Tidak! Tidak ada kata maaf! Dan aku tidak akan kembali padanya."

Perempuan lain mungkin akan masa bodoh dengan urusan Damar, tapi ia mencoba berlaku adil.

"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan dirinya. Aku tidak bisa memutuskan salah dan benar."

"Tapi jika kamu bisa, maafkanlah dirinya. Demi anak-anakmu,..."

Damar masih tak mau berkomentar lagi. 

Tampaknya dendam kesumat dalam diri Damar telah menyambar dan membakar habis semua momen indah yang terjadi dalam rumah tangganya. Momen kebersamaan dengan istri dan kelima anak mereka. Foto-foto yang terpajang dalam pigura di ruang tamu. Di kolam renang. Di lomba gerak jalan keluarga. Di acara ambil rapot sekolah. Di pesta kantor. Semua kenangan itu musnah tersapu oleh tsunami hati. Hilang tak berbekas.

Ia meneguk ludah, merasa sedih bahwa lima anak lagi akan tercetak seperti dirinya. Jadi manusia aneh yang insting dan respon sensitifnya terlalu kuat. Down dan depresi. 

Atau mungkin juga hal ini akan baik bagi mereka? Bagi anak-anak itu? Bahwa biasanya tantangan hidup, perceraian orang-tua di usia muda akan menjadi booster, semacam obat yang ampuh bagi kreativitas? Entahlah,.... 

Ia hanya menyayangkan perceraian Damar yang dianggapnya sebagai kabar bak halilintar menyambar.

Pertanyaan terakhir lalu dilemparkannya pada lelaki yang masih terlihat tampan di matanya itu.

"Atau,... barangkali kamu yang bertemu dengan seseorang yang baru dalam hidupmu?"

Damar tak menjawab. 

Dalam banyak perceraian memang ada banyak tanya yang tak terjawab, bahkan ada banyak tanya yang sama sekali tak terucap. Untuk itu ia angkat tangan. Ia pernah jadi korban. Enggan, campur tangan dalam peristiwa yang jamak terjadi, "It's not you,.. it's me,..."

(bukan kamu yang salah tetapi aku. bukan kamu yang berubah tetapi aku)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.