"Sudahlah Ma, kumpulkan saja barang-barang itu. Besok tukang loak akan datang mengambilnya. Alat-alat musik akan kucoba jual melalui internet." Suara Kevin menyentakkan lamunan, mata Meinar masih nanar memandang tumpukan barang yang menggunung di gudang.
Sekarung pakaian, diantaranya ada kemeja pria, celana panjang dan beberapa pakaian dalam. Disudut ada dua buah terompet, sebuah clarinet dan gitar yang tersandar di dinding.
Kedua anaknya tidak ada yang pandai bermain musik seperti bapaknya. Dua-duanya sudah mencoba mengikuti kursus musik, tapi satupun tak ada yang mampu menyelesaikan. Putus di tengah jalan. Yang sulung sekarang sudah menjadi pengacara dan Kevin putra bungsunya bekerja dibidang akunting.
Barry si sulung telah menikah dan pindah ke Semarang. Hanya Kevin yang masih menemani Meinar di rumah. Itupun dalam waktu tiga bulan lagi perhelatan pernikahannya dengan Santy akan segera digelar. Meinar termangu. Artinya ia akan benar-benar dipojokkan pada sebuah sudut. Ditinggal sendiri, untuk menyendiri, jadi tua, mengering, lalu mati.
Air mata mulai menggenang di sudut mata. Meinar tak mau Kevin melihat air matanya. Bukannya menghibur biasanya Kevin akan sedikit kesal dan menganggap Meinar cengeng.
Kedua anaknya lelaki. Barry sedikit lebih sabar dari adiknya tapi pada hakekatnya sama, mereka sering menganggap Meinar 'Mama Cengeng.' Hanya karena Meinar mudah menangis jika merasa sedih. Tentu saja Meinar cengeng dan seharusnya diperbolehkan cengeng, bukankah Meinar seorang perempuan?
"Bagaimana kalau bulan depan saja barang-barang ini diloakkan Kev? Jangan bulan ini?" Tanya Meinar mencoba menawar.
"Ma,... sudah dua tahun lebih, Mama masih saja menyimpan semua barang-barangnya. Untuk apa Ma? Kalau Mama tidak ingin menjual atau meloakkannya, setidaknya berikan pada orang yang masih membutuhkan barang-barang ini. Pakaian-pakaian Papa sudah mulai menguning dan bau tengik. Terlalu lama Mama menyimpan semua ini di karung. Belum lagi alat-alat musik Papa, begini banyak barang hanya teronggok tak berguna." Tangis Meinar langsung pecah.
Kevin diam. Ada kalanya ia tahu bahwa ia sudah keterlaluan. Ada kalanya Meinar menang tanpa perlu bicara dengan lelaki-lelaki yang ada di rumahnya. Cukup dengan menangis, lalu Meinar memenangkan semua pertarungan. Memang senjata yang sedikit licik, tapi masih ampun digunakan kaum hawa hingga kini.
Setengah jam Meinar menangis. Bukan karena ia marah pada Kevin tetapi karena ia menyadari bahwa ia sudah harus berhadapan dengan kenyataan. Meinar harus membuang semua barang-barang yang teronggok tak berguna. Semakin lama menyimpannya semakin sulit bagi Meinar untuk melepaskan semuanya.
"Ma, maafkan aku. Tapi tempat ini terlihat sangat penuh. Tidak ada salahnya kalau kita keluarkan barang-barang Papa dari gudang dan kita hibahkan pada orang lain bukan?"
"Lagipula aku tahu Mama sering bolak-balik ke kamar ini, melihat barang-barang Papa dan termenung. Aku takut Mama terlalu lama menanggung beban rasa kehilangan Papa. ... Tapi terserah Mama, kalau masih mau ditunda lagi untuk membereskan gudang ini tidak apa-apa juga,..."
Meinar mengangkat tangan, "Jangan! Kamu benar Kev, Mama terlalu lama menahan semua barang-barang ini digudang. Menjadi mubazir. Padahal orang lain masih dapat memanfaatkan barang-barang ini."
"Besok kamu atur saja supaya tukang loak datang dan mengambil semua barang-barang bekas milik Papa. Mama cuma minta satu terompet yang paling kecil ditinggalkan untuk Mama. Itu satu-satunya barang kenangan tentang Papamu yang ingin Mama simpan."
Kevin mengangguk lalu merangkul Meinar, "Kenapa Mama menyimpan semua barang-barang ini Ma? Terlalu lama Mama menyimpannya. Barang-barang ini sudah nyaris menjadi sampah yang tidak berguna, Ma."
Meinar terisak dalam pelukan putra bungsunya, "Mama takut lupa tentang Papa. Kalau Mama buang semua barang ini, Mama lambat laun akan melupakan Papa."
"Jangankan tentang Papamu yang sudah tiada, kejadian yang baru saja terjadi seminggu lalu Mama sudah mulai lupa. Mama mulai pikun Kev!" Lalu Meinar mulai terisak lagi. Sedih dan bingung.
Meinar benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa suami. Tanpa kedua anaknya. Barry sudah berkeluarga dan Kevin sebentar lagi juga akan menikah. Dengan menimbum barang-barang suaminya, Meinar masih merasakan kehadirannya, seolah ia tak merana sendiri saja di dunia ini.
"Ma, kenapa harus takut? Aku dan Barry nggak akan mungkin meninggalkan Mama. Kami akan selalu menjaga Mama. Dan Mama nggak usah khawatir, Mama bebas untuk memilih apakah tinggal bersama denganku atau tinggal bersama dengan Barry. Pokoknya kami berjanji, Mama nggak akan kesepian."
"Sungguh?" Meinar tersenyum dan harapan mulai muncul lagi dalam hatinya bahwa ternyata anak-anaknya tidak begitu saja melupakan dan menelantarkan dirinya. Mereka ternyata sangat memperhatikan dan menyayangi Meinar.
Tiba-tiba saja Santy muncul di pintu gudang, ia tersenyum lebar dan langsung memeluk Meinar, "Nah ya,.. pada ngumpul disini. Pantas dari tadi aku memanggil-manggil dari pintu depan tidak ada yang muncul. Ternyata kamu dan Mama ngumpet disini!"
Sudah sejak lama calon menantunya itu memanggil Meinar dengan sebutan Mama dan memang ia menjadi anak perempuan yang tak pernah dimiliki Meinar. Sikapnya selalu ceria, membuat hari yang paling mendungpun mendadak cerah.
Kadang Meinar heran, bagaimana Santy yang selalu ceria dapat bertahan dengan sikap Kevin yang kebanyakan serius, tegas dan lugas? Mungkinkah Santy yang banyak mengalah? Atau mungkin Kevin yang menyesuaikan diri dengan gaya Santy?
"Ayo Ma, kita ke dapur. Santy bawa jajanan, tadi beli beberapa kue kesukaan Mama. Ada kue cucur dan lemper ayam. Mama suka kan?" Bujuknya sambil mengajak Meinar keluar dari gudang.
Meinar tersenyum bahagia, melangkah keluar dari gudang, membiarkan dirinya dibimbing oleh Santy. Untuk apa lagi menyimpan semua barang rongsokan mendiang suaminya? Kevin benar, besok pagi semua barang-barang itu harus dibuang keluar dari gudang.
Kevin yang masih tertinggal sendiri di gudang melenguh, menarik nafas panjang ketika tiba-tiba saja telepon genggamnya berbunyi. Diliriknya sejenak. Ternyata nomor telepon Barry, kakaknya.
"Bagaimana keadaan Mama?" Kakaknya tanpa basa-basi langsung bertanya.
"Masih sama."
"Lalu bagaimana persiapan pernikahanmu?"
"Masih lancar dan sesuai rencana, tentu saja."
"Papa bagaimana?"
"Katanya sih dia akan datang ke pernikahan."
"Dengan siapa?"
"Tentu saja dengan Anindita. Dengan siapa lagi?"
Kali ini giliran suara di seberang sana yang melenguh panjang seolah ada beban berat yang menghimpit dada dan mecekik leher.
"Lalu bagaimana dengan Mama?" Tanya Barry lagi.
"Dia tidak akan ingat. Dia tidak ingat tentang Papa yang meninggalkannya untuk kawin lagi." Kevin menjawab pendek.
"Baiklah, minggu depan aku akan menilponmu lagi."
Ketika kakaknya mematikan telepon diseberang sana, hati Kevin merasa sangat sedih. Kasihan Mama, penyakit pikunnya makin parah. Tapi setidaknya yang terkubur dalam benak Mama adalah kenangan manis dan bukannya kenangan pahit.
Ini cerpen, tapi berhasil membuat saya ndak menyangka akhir dari ceritanya. Menyentuh..
ReplyDeletehastagah saya tuh dah lupa kalo pernah posting cerpen disinih..:D
Delete