Monday, September 1, 2014

Ruang Kerja Idaman

Sejak dulu saya TIDAK PERNAH punya RUANG KERJA sendiri. Selalu disatukan ruangannya dengan orang lain. Diletakkan di area terbuka bersama-sama dengan orang-orang lain. Perasaan saya bekerja di area terbuka seperti tumpukan kerupuk kering yang dijemur bersama-sama kerupuk lainnya. He-he. Nggak enaklah, tidak ada privacy. Memangnya saya robot? Saya manusia, punya perasaan. Pernah sedih, pernah kecewa, pernah sangat gembira, pernah sangat menderita. Saya tidak diijinkan punya perasaan dengan dipajang bersama seperti itu. Ada seribu satu kepernahan perasaan yang terpaksa saya sembunyikan dan saya seragamkan dengan kerupuk-kerupuk lain. Bagaimana akan menjadi istimewa jika kita semua hanya dianggap manusia kiloan atau lusinan?

Saya sering mengkhayalkan memiliki ruang kerja tersendiri. Sayangnya hingga limabelas tahun lebih, SAMA SEKALI tidak ada satu perusahaan pun yang mengapresiasi saya dengan satu ruangan tersendiri. Oh ya, saya lalu mengapresiasi diri saya sendiri dengan satu ruangan tersendiri. Gila? Mungkin saja. Narsis? Bisa jadi. Tetapi ruangan kerja ini milik saya sendiri, didedikasikan untuk saya dan saya yang pontang-panting bekerja menghasilkan karya juga saya apresiasi sendiri. Seandainya kemudian karya saya mendapat pengakuan tingkat RT, kelurahan, kota, propinsi, negara atau bahkan dunia. Saya akan merasa sangat bangga. Karena sejak awal saya sudah menghargai diri saya sendiri sehingga orang lain melakukan hal yang sama.

Manusia tidak banyak yang menghargai pekerjaan orang lain, apalagi jika profesi itu kecil dan mudah terlupakan. Entah janitor penjaga kakus atau guru di sekolah dasar. Seolah dianggap angin lalu yang mudah hilang dan pupus dimakan waktu. Padahal jasa mereka tak kalah besar dengan jasa CEO atau direktur yang duduk di kursi singgahsana kerajaannya. Manusia dengan profesi besar atau profesi kecil sebaiknya dilihat dengan kaca pembesar akhlak. Dilihat kepantasannya dihargai bukan karena profesinya tetapi karena ketelatenannya dan tanggung-jawab pada apa yang tengah dilakukannya. 

Kecewa? Ya, saya pernah sangat-sangat-sangat kecewa ketika bekerja sekian tahun, sama sekali tidak ada apresiasi apapun juga. Saya merasa diperlakukan seperti tissue kamar mandi. Sekali dipergunakan lalu dibuang ke tempat sampah. Mungkin tidak sedrastis itu sih, tetapi saya menyesali waktu yang terbuang habis untuk menunggu apresiasi yang tak kunjung tiba. Hingga akhirnya, saya mampu mengapresiasi diri saya sendiri. Bagi saya kini 'move on' adalah langkah yang sangat berarti untuk mencapai arti kehidupan. Bukan mencapai puncak kenikmatan tetapi mencapai puncak prestasi. Anda harus mulai menghargai diri Anda sendiri. Bukan dengan cara sombong dan tinggi hati, tetapi dengan rasa sepantasnya Anda dianggap sebagai seorang manusia yang berkarya. Move on!

1 comment:

  1. Jadi teringat, salah satu pekerja dengan tidak memiliki ruang kerja sendiri yang saya menghargai sekali kontribusinya adalah pemilik dan seluruh pekerja Warteg, warung nasi Tegal. Makanannya mungkin seragam, meski ada beberapa yang memang bisa dibilang lezat. Sering terbayang waktu mereka bangun pagi, belanja, masak dan tetap tersenyum ramah bersahabat pada pelanggan. Mereka melayani banyak yang membutuhkan makan, dari yang hanya sekedar nasi penuh-minim lauk-dibatasi kesederhanaan asal kenyang sampai yang membeli makan dengan lauk-lauk terbaik mereka. Saya merasa mereka ada dan benar-benar dibayar karena dibutuhkan, bukan dibayar karena yang membayar mampu membayar berapapun harga.

    Hehehe.. maaf Mbak Win, ndak nyambung sama tulisane Mbak Win, tapi tiba-tiba keinget itu.. :D

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.