Dulu saya hanya membaca fiksi. Hanya fiksi. Tidak tertarik berita koran yang setiap harinya begitu penuh gejolak. Akhir-akhir ini jadi rajin membaca portal berita/news. Saya pikir berita news begitu memusingkan dan frustrating. Itu dulu ketika saya masih remaja dan tidak mau tahu tentang dunia. Sekarang dipikir lagi. Bagaimana kita akan menjalani hidup jika kita tidak perduli tentang kehidupan yang kita jalani dan di jaman apa kita hidup? Kita ini hidup asal numpang hidup atau ingin punya upaya untuk berkontribusi pada dunia dimana kita berada? Tapi mungkin juga karena setelah berkeluarga saya tidak punya banyak waktu untuk baca fiksi yang tebal dan berseri-seri sehingga untuk mengisi 'kekosongan' saya banyak melahap news. Bisa juga karena alasan itu. He-he,..
Mengobrol dengan teman yang bekerja di media massa membuka cakrawala baru, pandangan saya tentang menulis dan membaca. Jadi teman saya berkisah bahwa perusahaan konglomerasi tempatnya bekerja itu membuka ranah usaha dibidang-bidang pers bukannya tanpa tujuan. Bukan sekedar cari untung dengan berbisnis. Tetapi ternyata untuk 'make - up' bisnis lainnya. Wah? Keren! He-he... Pena itu bisa setajam pedang, lho! Misalkan gini, saya jual nasi uduk ya. Tapi saya punya saingan pedagang uduk lain disekitar saya. Dengan memiliki akses media atau penulisan, maka saya bisa promosi bahwa 'Nasi Uduk saya nomor 1 wangi dan gurihnya.' Kemudian kalau ada pedagang nasi uduk lain menjelekkan dagangan saya, maka saya akan tetap punya akses untuk menuliskan, 'Nasi uduk saya dibuat dari bahan terbaik berkualitas unggul. Yang menjelekkan adalah pedagang nasi uduk lain yang iri hati kepada saya.' Wouw! Sebegitu kuat ternyata pengaruh tulisan pada sebuah media. Medianya apa? Ya, bisa daun lontar bisa juga koran harian atau portal berita. He-he,...
Saya jadi berpikir, "Jangan percaya semua berita yang kamu baca!" Lha iyalah keabsahannya jadi dipertanyakan kalau selalu mengedepankan 'Nasi uduk buatan saya.' Saya pikir keahlian menuliskan dengan baik akan mampu 'menggiring' audience pada konklusi atau simpulan-simpulan yang memang diharapkan seperti itu, yaitu bahwa, 'Nasi uduk saya adalah nomor satu, tak terbantahkan.' Mungkin ini termasuk juga ilmu-ilmu kehumasan untuk menjernihkan berita atau justru meng-counter berita atau melawan hal-hal yang menyudutkan suatu pihak. Kalau digunakan untuk tujuan baik tidak apa. Tapi kalau kemudian dibelokkan dan dibuat untuk mengarah pada tujuan-tujuan yang tidak baik bagaimana? Bagaimana hati nurani si penulis itu sendiri akan berbicara? Mungkin ada yang sudah mati rasa, ada yang demi dapur ngebul, ada yang menurut pada perintah atasan. Whatever-lah dikembalikan pada si manusia masing-masing.
Saya cuma berpikir bahwa tidak hanya 'tulisan' saja yang harus disajikan dengan baik, tetapi kemampuan 'membaca' juga seharusnya terlatih dengan baik. Sehingga manusia tidak gampang dikibuli dan saling mengibuli. Ada masalah dengan sebuah tulisan? NGGAK! Cuman saya jadi makin sering 'to read between the lines.' Artinya melihat MAKNA yang terselubung dari sebuah tulisan. Tidak hanya sekedar membaca kata per kata. Dalam beberapa tulisan saya pikir memang penulisnya JENIUS. He-he,..mampu menggiring tanpa terdeteksi. Nah, kapan Anda jadi pembaca yang juga 'jenius'? So, jangan percaya semua yang Anda baca. Cermati baik-baik,.. apa kira-kira tujuannya?
kata orang sih, memang setelah menebangi pohon kita juga harus mengasah kapaknya... :)))
ReplyDeleteLanjutan tentang Surabaya. datanya valid.. jadi mungkin bisa jadi bahan fiksi ^_^
http://wp.me/p60Eiy-6l
Surabaya ngebahas apa sih Gung? Ibu Risma yaaa.... hehehe..
Delete