Tuesday, August 11, 2015

Piano II - Sekolah Masa Depan

Sebelumnya saya berkata bahwa: Hidup ini tidak bisa didesaign. Tapi tetap saja, saya berupaya mendesign hidup putri saya. Berupaya mengarahkan dirinya pada masa depan yang sekiranya bermanfaat. Ya eiyaaalah, orang tua (yang baik) pasti akan berusaha maksimal untuk masa depan anak-anaknya. Usaha masing-masing orang juga beda. Tergantung si orang-tua juga. Apa yang dianggapnya cocok bagi sang anak. Orang-tua seharusnya mengerti karakter anak-anaknya. Karena secara genetis sifat anak pasti mirip orang-tuanya. Bahkan secara fisik pun demikian.

Masalah muncul ketika sang anak masih sangat kekanakan. Tidak tahu apa yang diinginkan dan apa yang diharapkan bagi masa depannya. I know! Saya masih ingat ketika saya berusia 15 tahun dan 'mengambang'. Saya benar-benar tidak tahu. Mau jadi apa ya kelak? Saya pernah pengen jadi polwan. Mungkin karena saya agak galak dan judes, saya pikir saya cocok jadi polwan. Lalu pernah saya pikir saya ingin menjadi guru. Karena saya melihat sifat guru-guru saya semuanya sangat membimbing dan mengayomi. Saya jadi tersentuh dengan profesi guru. Sama sekali tidak terlintas ingin jadi wartawan, jurnalis atau novelis. Saya beranggapan, saya nggak bisa dan nggak akan bisa! Saya nggak bisa nulis dan kalaupun saya nulis, saya nggak pede orang akan suka membacanya. Waktu kecil saya cuma suka membaca, membaca dan terus membaca. Saya yakin saya tidak bisa menulis. Setelah dewasa seperti ini, ketika tidak menulis saya merasa resah. GALAU! Jadi hidup itu tidak bisa didesaign. Que sierra sierra whatever will be will be. The future not ours to see,...que sierra sierra,...

Jaman saya remaja dulu, sekolah kejuruan menjadi sekolah yang mungkin kurang diminati. Seolah, orang-tua tidak mampu lalu sebaiknya anak-anaknya dimasukkan sekolah kejuruan dan dibiarkan bekerja selepas SMA. Sekarang saya melihat sebaliknya. Saya pikir 'Sekolah Kejuruan' adalah jawaban dari galau-galau nggak penting masa remaja. Sekolah kejuruan adalah 'karir' yang dimulai sejak usia muda. Kita harus mulai menanamkan benih pada anak-anak, kamu siapa dan kamu akan menjadi apa lalu berkontribusi apa kelak pada dunia? Jadi saya suka ketika mendengar gagasan bahwa sekolah kejuruan sekarang justru banyak peminat. Khususnya perhotelan, komputer, ketrampilan kewanitaan (jahit), kulinari dan sebagainya. Anak-anak akan belajar: saya sudah makin dewasa dan saya harus mulai belajar berkarya. Bekerja sesuai dengan kepantasan usia, kepandaian otak dan mengelola emosi dalam berkarya. Ada masanya remaja mudah merajuk, kesal, mutung dan benci pada kawan tanpa alasan yang jelas. Hanya karena sedang ngambeg saja. Dengan belajar berkarir sejak dini, anak-anak akan lebih fokus ke masa depannya. 

Karena putri saya belajar piano, kami sekeluarga lalu mengunjungi SMM (sekolah menengah musik) atau disebut juga SMKM (sekolah menengah kejuruan musik) di wilayah Serpong. Ketika melihat sekolah itu mata saya dan suami berbinar-binar. Kami langsung menyukainya. Suami saya dulu pernah belajar bermain terompet pada masa remajanya. Saya memang tidak bermain instrumen tetapi saya suka mendengar musik dan bernyanyi (di kamar mandi). Jadi melihat sekolah kejuruan semacam itu seolah mimpi-mimpi masa lalu kami akan segera terwujud dalam diri putri kami. Kesannya mulai agak memaksa dan mengindoktrinasi agar putri kami melanjutkan SMA kesitu. Muridnya tidak banyak. Hanya sekitar 50orang. Ekskulnya adalah tari tradisional dan bermain gamelan. Setiap hari yang ada hanyalah bermain musik minimal menguasai dua alat musik. Dan yang pasti : BEBAS FISIKA, KIMIA dan BIOLOGY, yeay! 

Ketika kami datang. Kami melihat anak-anak berada dimana-mana sambil menggenggam alat musiknya masing-masing. Kebanyakan membawa biola di tangan. Yang lain ribut sendiri main drum atau piano di dalam kelas. Pemandangan yang unik dan tidak biasa! Putri saya juga tampak tertarik dengan sekolah itu. Tetapi hatinya masih bertengger di sekolahnya yang sekarang. Pindah ke SMA musik otomatis akan memisahkan dirinya dengan sahabat-sahabat dan teman-teman yang kini dimiliki. Bahkan ketika kami tiba di tempat itu, kami sudah terpukau ketika seorang anak yang sepertinya 'istimewa' mengetuk kaca mobil dan memaksa memainkan sebuah lagu dengan biolanya. Suami sempat heran dan bingung karena anak itu mengetuk agak keras. Saya lalu memberitahunya bahwa sepertinya gadis itu sedikit menderita autisme. Ketika ia selesai memainkan lagu dengan biola, kami bertepuk dengan kagum. 

Namun ada satu harga yang dibayar ketika masuk ke sekolah kejuruan. Pendidikan tinggi selanjutnya yang hendak diambil tentu saja sebaiknya selaras dengan SMA kejuruannya. Kalau lulus SMA Musik tidak mungkin melanjutkan ke S1 kedokteran. Mana bisa? Putri saya masih belum bisa memutuskan apakah ia akan melanjutkan ke SMA musik atau bertahan di sekolahnya yang sekarang. Saya cuma mengatakan pada dirinya. Apapun yang kamu inginkan, lakukan yang terbaik dan raih prestasi yang tertinggi. Sekarang sudah jelas, kamu malas belajar fisika dan biologi. Tapi kamu ngotot ingin masuk IPA. Silahkan saja! Upaya untuk masuk kesitu harus dilakukan oleh diri sendiri dan bertanggung-jawab untuk pilihan yang diambil. Saya lalu mengemukakan bahwa musik sudah dipelajarinya sejak dini. Dan saya bahkan menunjukkan ada beberapa poin yang bisa diraih seandainya dia serius berprestasi dan mampu mendapatkan beasiswa musik. Seandainya saja. Bu, nggak kepengen bea siswa kedokteran? Yang kepengen bejibun kali cuy,...Nggak lah, terima kasih! Udah putus-asa duluan,...

Tapi begitulah anak-anak sekarang. Serbanya acuh, santai dan egepe. Emang gue pikirin. Bagaimana bisa anak-anak ditanya tentang masa depannya. Besok mau jadi apa? Jika ditanya : nanti malem mau makan apa? Jawabannya juga : nggak tahuuu...? Saya cuma memaparkan fakta-fakta yang ada. Pilihan dikembalikan lagi pada sang anak. Yang saya lakukan adalah memotivasi putri saya. Cukup memotivasi. Saya selalu ingat puisi Gibran. Bahwa anak-anak adalah anak panah yang melesat, orang-tua hanyalah busur yang bertugas melentingkannya. Semoga terlempar jauh menembus angan dan cita yang diharapkan. Idealnya begitu. Pidato tentang masa depan saya akhiri dengan kata-kata, "Mami cuma kasih tahu fakta dan data. Lalu rencana yang cocok untuk masa depan bagaimana. Silahkan. Kalau kamu abaikan dan kamu merasa punya keputusan sendiri yang lebih baik juga silahkan. Pokoknya kalau besok kamu end-up dagang nasi uduk di pasar, jangan salahkan Mami. Jangan dikata Mami tidak memberikan arahan,..." Bu, pedagang nasi uduk juga banyak yang hepi, kaya, makmur! I know,.. Makanya hidup itu nggak bisa didesaign. Usahakan jangan ada penyesalan. Itu saja,...Rite?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.