Sudah diceritakan dalam bagian sebelumnya bahwa kami liwat jalur Lido - Sukabumi. Hati-hati liwat pasar Cicurug Lido, sering macet total disitu. Kalau bisa cari jalur alternatif (hindari jalanan yang liwat depan pasar Cicurug). Dari Cibubur kami berangkat pukul 14.30 siang. Setelah masuk wilayah Cikidang dan deg-degan dengan jalanannya yang sangat menantang, sekitar pukul 19.00 kami tiba di pelabuhan ratu, tapi teman kami menyarankan untuk menginap di wilayah 'Cikahuripan'. Pelabuhan Ratu sonoan dikit, masih termasuk daerah Cisolok. As I said ini adalah wilayah surfing jadi hotel banyak yang menyiapkan jasanya untuk melayani para surfer. Model penginapannya siap menampung rombongan besar.
|
Phopho Cafe Resto |
Untuk makan malam, tadinya bingung ingin kemana. Ternyata tak jauh dari situ (balik menuju ke arah pelabuhan Ratu) ada resto cafe besar bernama phopho. Tempatnya luas, apik dengan hiasan aneka lampu. Night life banget! Bahkan ada dua panggung musik. Yang satu untuk menyanyi dangdut karaoke dan lainnya menyetel house music. Justru musiknya itu agak mengganggu. Karena speaker disetel sangat kencang membuat gendang telinga berdentang-dentang. Tadinya putri saya ingin tampil menghibur dengan permainan keyboard lagu ' River flows in You' by Yiruma supaya memberikan sentuhan musik yang berbeda. Eh, abis kami makan udah bubar semua, bahkan lampu-lampu dimatikan. Jam 10 malam cafe-nya sudah tutup. Tapi masakannya enak-enak, ada bihun, cumi cabe garam, nasi goreng. Harganya ya memang harga cafe. It's okay yang penting juru masaknya memang cukup handal. Bangunan apik dan eksotik dengan kolam ikan berisi ribuan benih ikan kecil. Sayang pengunjung kurang ramai! Kemungkinan orang-orang lebih banyak berkunjung ke cafe resto yang di Pelabuhan Ratu.
|
Penginapan Lagoon Pari |
Tadinya kami ingin menginap di Hotel Ocean Queen sayangnya kamar full. Yang tersisa adalah kamar dengan harga extra mahal. Akhirnya mencari ke 'tetangga' yaitu Hotel Lagoon Pari. Namanya sudah eksotis mengingatkan pada film Return to The Blue Lagoon. Yah rejeki, pengelolanya Pak Anton memberikan kamar dengan harga reasonable. Sewa kamar adalah Rp. 600.000 (negotiable on the spot) dan harga Agoda Rp. 520.000. Kamar ini besar dan bisa diisi beberapa orang sekaligus. Disediakan pula kasur tambahan (free of charge). Ada dapur dan kamar mandi dalam. Kamarnya bagus, dengan design atap rumbia dan eternit menggunakan anyaman. Jendela kaca besar dimana-mana. Bangun tidur bisa langsung memandang lepas keluar kamar. Walaupun hanya sedetik, kami bisa merasakan dan memahami kehidupan para surfer yang bebas lepas. Hidup hanya untuk 'basah-basahan' bergelut dengan ombak. Pulang ke hotel hanya untuk shower-mandi, makan dan tidur. Kind of free spirit.
|
Pantai di Sekitar Hotel Lagoon Pari |
Lagoon Pari tidak punya pantai pribadi namun tersambung dengan pantai umum yang ada disamping dan dibelakangnya. Bisa ditempuh hanya dengan jalan kaki, sekitar 30 meter saja jaraknya dari hotel. Pagi-pagi kami bangun tidur dan langsung menikmati sunrise dari Gazebo yang menghadap pantai berkarang, namun tetap menyenangkan untuk jalan-jalan diantara karang-karang tersebut. dan pemandangannya memang lepas ke kejauhan. Di Gazebo kami sempat minum kopi/teh dan makan roti bakar. Rasanya merupakan kemewahan tersendiri, sarapan dengan memandang matahari terbit dari laut. Setelah selesai sarapan sederhana, kami lanjut ke pantai berpasir yang ada di belakang. Rupanya pantai ini milik tetangga yang semalam kami datangi. Yaitu hotel Ocean Queen. Ocean Queen memiliki kamar-kamar yang menghadap laut lepas dan beberapa Gazebo tempat bersantai sambil memandang laut. Pantainya relatif sepi dan nyaman sekali untuk dinikmati. Tidak banyak orang yang terlihat. Mungkin juga karena hari masih agak pagi sekitar jam 08.00.
Jam sembilan kami melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Sawarna. Masih sekitar satu jam kami memanjat bukit memotong perbatasan Jawa Barat dan Banten. Lalu tibalah kami di tekape. Pertama bengong. Lho, kok kayak gini? Jalanannya sempit banget dan mobil berjajar-jajar semua sembarangan parkir di segala sudut. Pokoknya asal ada spot kosong, pasti ada mobil yang ingin parkir disitu. Yang namanya pengendara motor banyak sekali. Ternyata anak-anak muda banyak yang memilih berwisata dengan naik motor rame-rame/konvoy. Padahal kami saja yang naik kendaraan roda empat was-was sepanjang perjalanan menuju ke Sawarna. Jalanannya itu lho, benar-benar butuh keahlian tinggi untuk menyupir menuju kesana. Tanjakan dan tikungannya gak main-main. Resiko masuk jurang!
|
Penginapan di Sawarna & Suasana Persawahan |
Desa Sawarna benar-benar desa dengan rumah-rumah penduduk yang dialih-fungsikan menjadi guest house/ petakan penginapan. Dan kondisi tempat yang kami tinggali beda dengan hotel Lagoon Pari yang lebih terawat. Ini asli rumah penduduk dengan kamar mandi sempit, ember dan gayung. Pintu kamar mandi juga jebol/bolong, tapi masih bisa di tutup. Tidur juga di lantai dengan kasur busa yang dijajarkan disitu. Di depan ada Aqua galon dengan air panas dan air dingin. Juga disediakan teh celup. Yang keren AC/pendingin udara di 'petakan' yang kami sewa moncer banget! Dinginnya maknyus! Tarifnya Rp. 500.000,- untuk berempat. Yang ada hanya ini, alasannya : semua tempat lain penuh. Ya sudah, daripada repot. Saya memang bertekad 'menikmati alam' sight seeing, jadi akomodasi tidak jadi masalah. Kalau saya ingin menginap with style like Lady Diana, ya nanti nginep di Hotel Padma Bandung sajah! Setibanya di penginapan penduduk itu kita bingung mau ngapain lagi? Nggak punya itinerary. Berdasarkan percakapan dengan owner/ pengelola penginapan muncullah gagasan untuk keliling aneka pantai - coast to coast Sawarna. -- Go to Part III --
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.