Saturday, August 29, 2015

Jadi Rakyat Bukan Jadi Wakilnya

Tadi itu ada semacam acara perayaan di lingkungan kami. Ada keramaian pesta rakyat. Pastinya ada makan-makan dan minum-minum gratis. Ketika menghadiri acara itu niatan saya dan suami adalah menonton atraksi atau pertunjukannya. Tetapi karena jam-nya memang bersamaan dengan jam makan malam dan tidak ada penjual makanan kami terpaksa 'antri ransum'. Semua makanan dan minuman sederhana disediakan gratis. Sebenernya males ngantri gratisan. Bukannya sok kaya, tapi males berdesakan diantara sejuta umat. Saya paling nggak suka berdesakan kayak jaman Jepang menerima 'jatah beras'. Katanya udah merdeka? Nggak biasa 'jadi rakyat' padahal juga bukan 'wakil rakyat.' Kami orang biasa saja. Tapi perut lapar nih? Kalau pulang dulu atau beli makanan malas balik lagi ke tekape. Ya udah deh saya dan suami ngantri minta makanan gratisan!

Ngantrinya paling akhir, menanti histeria kerumunan bubar. Karena serba gratis memang orang - orang berdatangan dan merangsek masuk dalam antrian pesta rakyat tersebut. Ketika akhirnya saya dan suami mencoba 'berburu makanan.' Dengan susah payah kami memperoleh dua nasi bungkus daun pisang. Diikat dengan karet. Nah, selain makan tentu butuh minum juga kan? Pergilah kami ke sebuah meja yang sepertinya menyediakan semacam es buah gratis. Masih ada beberapa gelas yang terletak di nampan. Baru saja kami memandangi gelas-gelas itu, seorang bapak tiba-tiba muncul dan berteriak seolah kami tuli, "Bu disini makanannya sudah habis Bu! Sudah habis! Sudah nggak ada apa-apa. Silahkan sana ke bagian belakang sana. Disana masih ada!" Terus saya memperlihatkan bahwa kami sudah mendapatkan nasi bungkus, eh Bapak tadi berteriak lagi dengan gegap gempita, "Makanannya sama saja semua! Semuanya nasi bungkus seperti itu. Tidak ada makanan jenis lain! Disini sudah habis!" Ngomong sudah habis itu diulang-ulang seolah saya budeg TOTAL. Dalam hati jengkel tapi saya hanya menjawab, "Pak, saya mau minta minum. Makanan sudah dapat, tapi minumannya yang tidak ada." Bapak itu masih setia dengan misinya mengusir rakyat jelata, "IYA! Minuman juga sudah habis! Tidak ada apa-apa lagi disini. Ibu silahkan ke belakang saja, minta dibelakang sana!"

Dalam hati gondok berat. Karena semalam kami sekeluarga baru saja makan masakan Korea di mall. Beli sendiri dan bayar sendiri lumayan mahal, putri saya berulang-tahun. Ini sekalinya cuma 'nebeng' cari makanan buat ganjel perut ditereakin kaya sekumpulan orang berpenyakit kusta yang mengganggu pemandangan. Apa susahnya sih berlaku sopan? Maaf Bu, sudah habis. Silahkan mengantri dibagian lain. Dengarkan dulu orang cuma butuh minum kok diusir-usir kaya butuh pinjeman lima juta rupiah saat itu juga. Dasar Bapak sempok! Untungnya dalam pesta rakyat itu saya menikmati pertunjukan yang disajikan dan bertemu beberapa tetangga. Kami melepas rindu dengan bercakap-cakap akrab dengan teman-teman itu. Semua berpendapat sama. Pesta rakyat itu tujuannya baik, tetapi dikemas dengan cara yang tidak menarik dan kurang simpatik. Suami lalu berbisik, "Itu tadi ada yang bawa tas plastik kresek! Jadi minta makanan nasi bungkus dan macem-macem itu bisa aja bolak-balik ngantri. Sehingga dapat banyak dan dimasukkan ke dalam tasnya!" HASTAGAH NAGAH BONAR. Pantes yang lain ngga kebagian? Pantesan si Bapak sempok itu galak banget! Ngusir saya dan suami udah kayak pesakitan. Jadi berpikir sendiri. 70 tahun setelah Indonesia merdeka kok orang masih saja rebutan nasi kuning bungkus, teh botol dan es cincau hitam. HANYA KARENA GRATIS? Udah merdeka apa belum sih? Cape juga jadi rakyat, jadi wakil juga nggak pernah. Me, always be : rakyat jelata?

Note: catatan pesta nama paroki

2 comments:

  1. Sih bingung: dah dapet nasi, kok masih diteriakin dah habis, ki maksud'e opoooo... :D >,<

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.