Tuesday, July 1, 2014

Perjalanan Baduy Dalam III

foto: dulang777
Setelah tiba di ujung desa Cikeusik, kami mulai jalan kaki menuju ke desa Baduy dalam yang ingin kami tuju yaitu desa Cibeo. Nah, perjalanan ini juga menuai decak kagum sekaligus gerutu kelelahan. Kagum karena alam yang terbentang liar seolah menyadarkan betapa kecilnya manusia. Lelah karena jalanannya termasuk medan trekking yang lumayan berat, khususnya bagi yang sakit atau sepuh. Jalanan setapak memang sudah ada, tetapi jalanannya bergelimang lumpur/tanah kering saja. Jarang ada bebatuan. Terbayang setelah hujan yang kami rasakan adalah kewaspadaan tinggi karena mudah terpeleset. Saya yang pernah terkilir di mata kaki kiri merasa harus sangat extra hati-hati karena tidak ingin terkilir kedua kali dan justru merepotkan rombongan. Kehati-hatian ini berimbas karena pada akhirnya saya terpisah dari rombongan kawan dekat yang menyertai. Mereka ngotot berjalan terlebih dahulu guna mendapatkan obyek foto. Keduanya meninggalkan saya dibelakang bersama orang-orang lainnya. Tak mengapa! Inilah yang saya sebut perjalanan spiritual dengan justru mampu melihat pola laku orang lain terhadap kita. Ketika kesulitan menghadang lebih banyak orang yang meninggalkan daripada yang menemani. Ini realita kehidupan. Orang akan mendekat pada orang yang kuat, memiliki kekayaan atau memiliki kekuasaan. Horee, ...makna spiritualitas jadi ilmu yang mengejawantah. Tidak hanya teori tapi merasakan dan memberi respon yang tepat. Tetap gembira walau ditinggalkan oleh kawan dekat!

Saya justru menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan kawan - kawan baru. Seorang ibu dari Bekasi bahkan menjadi teman seperjalanan. Kami jalan bertiga ditemani dengan Pak Ralin salah seorang penduduk setempat. Satu hal yang sungguh saya herankan adalah dalam perjalanan trekking ini semua orang seolah terpecah dan tercerai-berai. Yang biasanya berjalan bersama, masing - masing menempuh jalannya sendiri. Ada yang ingin cepat sampai duluan, ada yang hati-hati, ada yang santai. Ada yang fokus dengan memperhatikan kawan lain. Ibu ini juga terpisah dari kawan-kawannya. Hal yang membuat saya salut ia cukup memperhatikan saya sebagai kawan baru seperjalanan. Terbukti ia sering menunggu saya dan bahkan meminta tolong Pak Ralin untuk membimbing saya juga. Pak Ralin sebagai penduduk asli Baduy sudah sangat terbiasa, jalan bolak-balik di jalanan desa ini. Caranya berjalan bagaikan pendekar dengan ilmu ginkang, meringankan tubuh. Ia hafal semua tikungan, kelokan, turunan. Ia mampu mencari pijakan dan memilih tanah untuk diinjak. Semua dilakukannya sejak kecil dan tanpa alas kaki! Ya, tanpa alas kaki! Kemudian yang paling mendebarkan adalah separuh perjalanan kami tempuh dalam kegelapan. Yup, dalam kegelapan! Karena kami kesorean tiba di penghujung desa sehingga di tengah perjalanan senja sudah turun. Tidak ada listrik, kami sempat melewati desa lain yang tertutup rapat. Ada penghuni, namun mereka sudah tidak keluar rumah begitu malam menyergap. Coba Anda bayangkan, aktivitas hidup Anda terhenti setiap jam 6 sore hingga fajar! Sanggup?

Perjalanan meliwati cerukan landai, tanjakan bukit, setapak di perbukitan, undakan buatan yang licin. Melewati pula aneka pepohonan besar dan kecil, jembatan gantung, batu-batu yang disusun seperti setapak, sungai kecil yang mengalir seperti parit. Pokoknya semua jenis medan trekking lumayan lengkap tersedia. Kami bahkan meliwati lumbung penduduk desa dan perumahan desa lain yang sudah sunyi senyap, seperti saya ungkapkan sebelumnya. Aneh, di perjalanan kami bertemu seorang gadis remaja yang jalan sendiri berlawanan arah menjelang gelap. Gadis ini disapa oleh Pak Ralin dan disebutkan sebagai gadis desa tetangga. Waduh, saya saja jalan bertiga merasa seram karena banyak bertemu pepohonan rimbun. Ini gadis remaja jalan sendirian! Akhirnya setelah menempuh separuh perjalanan dalam gulita, kami tiba di desa Cibeo, Baduy dalam. Lho, kok ramai sekali? Astaga ini rasanya separuh Jakarta pindah ke Baduy dalam! Rupanya menjelang puasa, banyak kelompok anak muda/wisata desa Baduy memaksimalkan kunjungan sebelum puasa. Walhasil desa Cibeo penuh dengan banyak orang. Sepertinya sebagian orang ini datang dari arah berlawanan yaitu desa Ciboleger wilayah Baduy luar. Memang tidak ada listrik, tapi saya yang tadinya berharap larut dalam peradaban kuno desa Baduy harus merasa bosan melihat kumpulan banyak orang yang duduk didepan rumah penduduk mengobrol dan berisik serta bercanda. Wah, kok kaya pusat kemping Cibubur?

Tiga orang kepala keluarga yang nantinya akan menjadi tuan rumah kami adalah Pak Ralin, Pak Sardi dan Pak Sardim. Nama mereka memang sederhana saja. Tidak ada yang bernama panjang atau nama yang berbau asing semacam Robert atau Christopher, He-he! Para mahasiswi Undip dan ibu-ibu Bekasi menetap di rumah Pak Sardi, para pria menetap di rumah Pak Ralin dan kami serta pemandu yaitu Ibu Iyeng dan Ibu Haslinda menetap di rumah Pak Sardim. Istri Pak Sardim yang kami panggil Ambu bernama Sani, sedangkan cucunya bernama Saniya, mengikut nama neneknya. Ambu ini masih berusia 44 tahun dan sudah memiliki cucu. Ambu Sani termasuk wanita desa Baduy yang tergolong cantik dan chic. Tapi jangan disandingkan dengan Dona Harun atau Okky Asokawati. Ambu adalah orang desa Baduy, tentu saja kecantikannya alami dan sesuai dengan kultur Baduy. Ia menggunakan kebaya tradisi Baduy warna putih, gelang dan kalung ikat yang bernuansa etnik. Sayangnya saya tidak bisa memotret Ambu. Ya, pada desa Baduy dalam sama sekali tidak diperbolehkan memotret. Ada sebuah jembatan yang membatasi, batas mana boleh memotret dan batas mana tidak boleh memotret. Untungnya saya sempat memotret senja di perbukitan Baduy dengan camera Hp. Cantik sekali bukan? 

Rencananya kami akan menginap dua malam di Baduy dalam. Bagaimana rasanya tinggal di desa Baduy? Apa penyesuaian yang harus kami lakukan? Simak kisah selanjutnya ....

2 comments:

  1. Tercekat di bagian, beginilah realita kehidupan. That's true. Aku solitaire dn hanya punya bbrp teman dekat saja. But I am happy, krnnyg sedikit itu aku yajin tak akan meninggalkan meski aku dlm keadaan sulit

    ReplyDelete
    Replies
    1. aminnn.. itu kekayaan sesungguhnya di kehidupan : teman-teman sejati hehehe...

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.